Sumpah Nabi atas Tiga Fenomena Sosial

Bertambahlah kemuliaan seseorang karena memaafkan orang yang telah menzoliminya.6 min


4
4 points

Suatu ketika Nabi Muhammad pernah bersumpah atas tiga fenomena yang bisa dialami siapa saja dalam hidup:

قال رسول الله – صلى الله عليه وسلم – (ثلاث أقسم عليهن، ما نقص مال قط من صدقة فتصدقوا، ولا عفا رجل عن مظلمة ظلمها إلا زاده الله تعالى بها عزاً فاعفوا يزدكم الله عزاً، ولا فتح رجل على نفسه باب مسألة يسأل الناس إلا فتح الله عليه باب فقر) صحيح أحمد والبزار.

Rasulullah Saw bersabda:“Aku bersumpah demi tiga perkara: harta tidak akan berkurang karena sedekah, maka bersedekahlah kamu. Seseorang yang memaafkan orang lain karena suatu perbuatan zalim, maka Allah pasti memuliakannya. Maka maafkanlah (orang yang berbuat zalim), maka Allah pasti menambahkan kemuliaan. Seseorang yang meminta-minta kepada orang lain, maka Allah pasti akan membukakan pintu kefakiran kepadanya”. (HR. Ahmad dan al-Bazzar).

Hadis ini mengemukakan tentang sabda Nabi yang menyerukan tiga perkara, yaitu tentang sedekah, memaafkan orang yang zalim dan tidak meminta-minta. Saya mengambil hadis ini karena esensi dari hadis ini adalah bagaimana kita menupayakan diri kita untuk menjadi pribadi yang dermawan, lapang dada dan giat berusaha.

Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa ada tiga perkara. Saya akan membahasnya satu persatu dengan penjelasan berdasar pendapat saya.

Pertama, “harta tidak akan berkurang karena sedekah, maka bersedekahlah kamu”. Pada perkara pertama yakni adanya perintah bersedekah. Bersedekah tidak akan mengurangi harta maupun rezeki kita, karena Allah telah menjamin rezeki manusia.

Banyak orang yang menyepelekan sedekah, tidak mau bersedekah dan takut rugi serta merasa hartanya berkurang. Namun kenyataannya tidak sama sekali, justru dari harta yang kita sedekahkan itu Allah akan melipatgandakan harta kita. Ada juga orang yang bersedekah namun bukan niat tulus sedekah melainkan disertai dengan unsur riya’ di dalamnya, seperti dengan maksud ingin dikenal orang atas kedermawanannya, dll. Hal ini perlu diluruskan mengenai niat sedekah yang diselewengkan.

Mengenai manfaat sedekah yang mana Allah telah menjamin tidak akan berkurang harta orang yang bersedekah itu benar-benar terjadi dan Allah tidak akan pernah ingkar atas apa yang telah dijanjikan-Nya.

Saya menceritakan pengalaman saya tentang sedekah, ketika saya mengeluarkan uang untuk bersedekah, ada nikmat tersendiri ketika kita memberikanya kepada orang yang membutuhkan. Seolah-olah seperti mendapat beribu kebaikan dan ada perasaan tenang sebagaimana rasa tenangya kita setelah segala kewajiban telah tertunaikan. Terlebih ketika sudah bersedekah, rezeki orangtua saya semakin lancar dan alhamdulillah cukup memenuhi kebutuhan hidup sekeluarga.

Hal ini benar-benar membuktikan bahwasanya sedekah bukan mengurangi harta, namun selain ibadah juga akan melipatgandakan harta. Ketika kita memberi, juga akan timbul rasa syukur terhadap nikmat Allah yang mana kita masih diberi kesempatan untuk menerima rezeki-Nya. Ini berimplikasi pada kadar keimanan kita, sedekah membuat kita bersyukur yang otomatis akan memperkuat iman di dalam hati kita. Kita sering lupa bahwa ada hak orang lain pada diri kita, kita juga diperintahkan untuk saling tolong menolong satu sama lain.

Sikap dermawan juga telah dicontohkan oleh Baginda Rasul sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Jarir dari Sahl bin Sa’ad mengenai kisah salah seorang sahabat yang menginginkan mantel yang digunakan Rasul yang juga pada saat itu Rasul juga membutuhkan mantel tersebut. Namun Rasul memenuhi permintaan tersebut dan memberikannya mantel nan indah tersebut kepada sahabat. Dari kisah tersebut dapat kita simpulkan bahwa Rasulullah adalah orang yang sangat dermawan sampai-sampai merelakan kepentingan diri sendiri demi orang lain.

Hikmah lainnya berdasarkan kisah tersebut adalah kita tidak perlu punya apa-apa (kaya) dulu untuk bisa memberi sedekah kepada orang lain. Tidak perlu menunggu kaya untuk bersedekah, bersedekahlah meski hanya sebuah senyuman. Begitu mulianya Rasulullah yang selalu mendahulukan kepentingan umat daripada beliau sendiri. Kita yang sebagai manusia biasa sering kali egois mementingkan diri sendiri dan tidak peduli sekitar. Jadi, kita sebagai umat Rasulullah sepatutnya untuk meneladani sikap dan perbuatan beliau.

Kedua, “Seseorang yang memaafkan orang lain karena suatu perbuatan zalim, maka Allah pasti memuliakannya. Maka maafkanlah (orang yang berbuat zalim), maka Allah pasti menambahkan kemuliaan”.

Dalam poin kedua ini yaitu perintah tentang memaafkan sesama manusia. Memang sulit sekali memaafkan dengan tulus dan ikhlas, namun besar ganjarannya dari Allah apabila kita bisa memaafkannya. Terlebih ketika kita dizalimi, seolah hati kita tidak terima dan menolak keras untuk memaafkan bahkan jika yang parah bisa menjadi bibit dendam dalam hati.

Dalam kutipan diatas, orang yang memaafkan atas perbuata zalim yang menimpanya, niscaya akan dan pasti dimuliakan oleh Allah. Praktek ini sederhananya yakni dalam dunia pertemanan yang dimana ada kalanya kita dizalimi teman kita sendiri atau yang sering kita kenal sebagai bullying. Ketidakterimaan hati diejek, dihina dan disakiti ini membuat pintu maaf dalam hati kita menjadi tertutup rapat-rapat. Namun apabila jika kita menahan dan mencoba untuk mengikhlaskan atas perbuatan zalim yang menimpa kita, Allah akan membalasnya dengan balasan yang setimpal.

Memang sulit bagi kita sebagai manusia biasa untuk memaafkan ketika terlalu terjadi perbuatan zalim yang menurut kita itu merupakan hal yang tidak adil. Lain halnya Rasulullah yang berhati mulia, apapun yang menimpa beliau dan sepahit apapun itu beliau sangat mudah memaafkan dan melupakannya.

Kita dapat berkaca pada kisah Rasulullah yang dalam proses dakwah beliau yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Dalam proses dakwahnya, tidak sedikit orang-orang membenci Rasulullah, mencemooh bahkan melempari Rasulullah dengan batu. Lantas apa yang beliau lakukan atas perbuatan zalim yang menimpa beliau ? Beliau tetap memaafkan dan mengasihi orang yang menyakiti beliau.

Sebagaimana kisah Rasulullah yang mana setiap beliau pulang dari masjid, beliau diludahi oleh seorang kafir. Hingga pada suatu hari orang kafir yang meludahi Rasulullah tersebut tidak ada dan sakit. Rasulullah yang mendengar hal itu lantas bergegas pergi untuk menjenguk orang tersebut. Begitu mudahnya beliau yang diperlakukan seperti itu namun tetap memaafkan bahkan tetap memberikan kebaikan kepada orang tersebut.

Apa yang telah Rasulullah lakukan merupakan teladan yang baik yang sudah sepatutnya kita sebagai umatnya untuk meneladaninya. Anehnya manusia, kadang hal sepele yang tidak penting justru dibesar-besarkan hingga menjadi permasalahan yang rumit dan sulit.

Dari itu perlahan-lahan kita belajar untuk saling memaafkan satu sama lain, tidak ada rasa dendam dan tetap menjaga tali silaturrahmi antar saudara.

Ketiga, ”Seseorang yang meminta-minta kepada orang lain, maka Allah pasti akan membukakan pintu kefakiran kepadanya”. Dalam poin ini yakni larangan untuk meminta-minta, yang mana balasan dari orang yang meminta-minta adalah ditutupnya pintu rezeki dan Allah membukakan pintu kefakiran kepadanya.

Ketika pintu kefakiran dibuka, otomatis Allah juga menyempitkan rezeki kita. Kita diberi kesempurnaan lahir dan batin namun tidak memaksimalkan apa yang telah dianugerahkan kepada kita itu sama halnya tidak mensyukurinya. Sama halnya kaitannya dengan meminta-minta, hal itu berarti kita tidak menggunakan aset yang telah Allah berikan dengan baik. Ketika seharusnya dua tangan, kaki, dan anggota tubuh lainnya kita gunakan untuk beribadah, bekerja, dan mencari ilmu, malah dipergunakan untuk hal yang tidak baik seperti halnya meminta-minta.

Di Indonesia, kebanyakan di kota-kota besar banyak terdapat orang yang meminta-minta atau sering kita sebut dengan pengemis, yang mana mereka meminta-minta yang mana fisik dan mentalnya masih sehat dan layak untuk berkerja. Bahkan tidak jarang mereka menjadikan mengemis ini adalh suatu pekerjaan utama untuk menghidupi keluarga.

Poin ketiga dari tiga perkara yang disebutkan oleh Rasulullah pada hadis di atas yaitu dengan perbuatan meminta-minta bukannya kita akan mendapatkan rezeki dari meminta-minta. Namun Allah akan membukakan pintu kefakiran kepada orang-orang yang meminta-minta. Kita dianjurkan untuk saling memberi daripada saling meminta. Allah juga telah menjamin rezeki manusia, maka tidak sepantasnya bagi kita untuk bemalas-malasan dalam mendapatakan rezeki dari-Nya.

Dalam QS Al-Ra’d 13:11 yang artinya “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang ada pada sesuatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri”. 

Sudah tertulis jelas bahwasanya Allah memberi kesempatan kepada manusia untuk mencari dan mencapai rezeki yang Allah berikan. Jika hanya berdiam tanpa ada usaha yang konkret, rezeki yang mestinya sudah Allah jamin maka akan hilang begitu saja. Hal ini adalah bentuk dari implikasi ayat di atas. Seperti halnya ketika kita meminta-minta, bukankah hal itu termasuk tidakan yang mana kita tidak ingin berusaha, ya sederhanya hanya ingin enaknya saja.

Realitanya dalam masyarakat kita, masih sangat banyak orang yang berprofesi sebagai pengemis yang kerjanya hanya meminta-minta saja. Yang sangat disayangkan yakni mereka masih sehat wal afiat bahkan tanpa cacat juga mengemis. Bukannya telah dianjurkan bahwa tangan di atas lebih baik dari pada tangan dibawah. Jika kita hanya mengandalkan pemberian orang lain itu berarti tidak ada ikhtiar dan berusaha untuk mendapatkan rezeki dari Allah.

Meskipun dilihat perspektif orang yang tangan di bawah, meminta merupakan cara praktis mendapatkan uang dengan instan. Dengan hanya modal memelas dan meminta iba kepada orang-orang sekitar, dengan mudahnya uang akan didapatkan daripada harus bekerja keras. Hal sepele yang dilupakan oleh oknum-oknum ini adalah bekerja ataupun mencari nafkah untuk keluarga juga termasuk ibadah. Setiap usaha yang dilakukan seorang yang bekerja juga dihitung pahala.

Poin ketiga ini memiliki korelasi pada poin pertama, yaitu memberi dan meminta. Memberi yang dalam Islam kita sebut sedekah adalah hal sangat dianjurkan oleh Rasulullah dan sudah merupakan janji yang mutlak mengenai ganjarannya yang akan diberikan oleh Allah.

Tiga perkara di atas merupakan hal yang sepatutnya kita lakukan sebagai muslim. Mulai dari sedekah, memaafkan atas perbuatan zalim dan tidak meminta-minta. Saya mengambil hadis ini karena poin-poin dalam hadis ini sangat patut diaplikasikan oleh muslim khususnya saya. Mungkin saya sering melalaikan tiga poin itu, dan mencoba untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan saya.

Yang saya garis bawahi di sini adalah tentang sedekah. Sebelumnya saya tidak pernah mengetahui hikmah dan manfaat dari sedekah bisa sebesar itu. Karena saya belum memiliki penghasilan, jadi saya tidak ada kepikiran untuk memberi ke sesama.

Dulu saya berpikir bahwa bersedekah harus harta hasil kerja sendiri. Namun nyatanya tidak, sebagaimana yang saya tulis diatas bahwasanya bersedekah tidak harus menunggu kaya. Nyatanya,setelah mengetahui faedah dan hikmah dari sedekah, saya ingin membuat kegiatan rutinan untuk bersedekah. Saya merasa perkembangan rezeki orangtua saya cukup untuk memenuhi kebutuhan saya yang semakin lama semakin banyak.

Ketika ada keraguan untuk memberi sesama, misal: saya sebagai mahasiswa yang dengan budget secukupnya alias pas-pasan ada perasaan ragu untuk bersedekah. Pikir saya, jika saya memberikan jatah saya kelak saya akan kekurangan di akhir bulan. Namun kenyataannya tidak sama sekali, justru keuangan saya seolah lebih terkendali ketika ada rutinan bersedekah.

Meskipun sedekah bukan merupakan ibadah yang wajib, namun saya berusaha mewajibkannya untuk diri saya. Setiap bulannya saya berusaha untuk menyisihkan sedikit uang yang khusus untuk bersedekah. Dan harapan saya kedepannya bisa istiqomah. Aamiin.

Poin kedua, yakni memaafkan atas perbuatan zalim itu masih sangat sulit saya terapkan dalam diri saya. Karena terkadang kata maaf itu sulit diterima oleh hati. Meskipun lisan sudah menyatakan maaf, namun tidak di hati. Seiring bertambahnya umur membuat saya berfikir bagaimana untuk menyikapi hal ini. Logikanya, bagaimana mungkin saya yang sudah berumur bersikap hal seperti itu.

Mari kita berkaca pada anak kecil, mereka berkelahi, ngambek, saling bermusuhan, namun tidak sampai sehari sudah berbaikan dan saling memaafkan satu sama lain. Lantas bagaimana dengan saya yang sudah dikategorikan sebagai orang berumur namun sikapnya masih seperti kekanak-kanakan.

Apabila kita telah bisa memaafkan, maka sikap-sikap yang lainnya akan timbul pada diri kita seperti, sabar, ikhlas, dan berlapang dada. Ketika hati kita tersakiti, kita berarti diberi ujian berupa cobaan melawan hawa nafsu amarah kita. Bagaimana kita mengendalikan amarah serta melatih kesabaran pada diri serta menanamkan rasa ikhlas dalam hati.

Sebagaimana dalam QS Al-Baqarah ayat 287 “Allah tidak akan membebani seseorang  kecuali yang sesuai dengan kemampuannya”. 

Apabila kita mendapati perbuatan yang tidak baik pada diri kita, itu merupakan ujian bagi kita. Sekejam-kejamnya ujian hidup, Allah telah memberikan cobaan berdasarkan kemampuan seseorang. Kita menerima, ikhlas dan berlapang dada atas apa yang menimpa kita. Apakah kita akan membalasnya dengan perbuatan yang sama ? atau sebaliknya ? Itu kembali kepada diri kita sendiri. Apakah kita bisa memaafkan atau tidak, itu kembali pada diri kita sendiri.

Hadis ini patut kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal sepele namun berimplikasi besar bagi kita. Sekian pendapat yang saya kemukakan dalam tulisan saya, terimakasih.


Like it? Share with your friends!

4
4 points

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
1
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
4
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
3
Wooow
Keren Keren
2
Keren
Terkejut Terkejut
0
Terkejut
Hani

Warrior

Student of Islamic State University Maulana Malik Ibrahim Malang. Business Law Major.

One Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals