Ustadz Abdul Somad (UAS) merupakan sosok da’i yang cemerlang. Saya termasuk orang yang sering menonton ceramah-ceramahnya via youtube. Materi-materi ceramahnya berisi, argumentatif, jelas, dan secara umum merepresentasikan wajah Islam yang lebih moderat. Ini cukup menunjukkan UAS memiliki ilmu dan wawasan keagamaan yang sangat baik. Humor-humor yang diselipkan dalam ceramahnya juga segar dan menyegarkan 🙂
Kontroversi komentarnya tentang “pesek” itu, sebenarnya, tidak sulit dipahami konteksnya: bercanda. Bagi yang sering mengikuti ceramah-ceramah UAS, pola candaan semacam itu tidak akan terasa asing, bahkan tidak jarang sang Ustadz menggunakan dirinya sendiri sebagai objeknya: pengalaman hidup pribadinya hingga fisiknya sendiri yang kurus lah, wajah pas-pasan lah, hidung mundur lah, dll.
Sayangnya, dari semua komentar UAS tentang polemik salah seorang artis Ibukota (RN) di video tersebut, sebagian orang hanya fokus pada konten candaan itu, dan mengabaikan pernyataan-pernyataan dan pesan-pesan setelahnya yang sesungguhnya -menurut saya- merupakan komentar intinya terkait masalah tersebut. Sehingga, candaan sang Ustadz dijadikan inti, sebaliknya yang menjadi inti pesannya justru diabaikan. Inilah pangkal “kegaduhan” -yang, kalau diperhatikan- sebenarnya sudah melebihi porsi yang seharusnya.
Di sisi lain, saya juga setuju bahwa kali ini -dalam ceramahnya tersebut- UAS memang “kepleset”. Candaannya yang menyinggung terkait fisik orang lain, dalam hal ini adalah RN yang beberapa waktu lalu memutuskan melepas hijabnya. Sebagai seorang da’i, UAS seharusnya cukup fokus menyoroti perilaku atau tindakan, bukan fisik. Dengan kata lain, kalaupun tindakan RN itu dianggap keliru, itu tidak ada hubungannya dengan fisiknya. Karenanya, pernyataan UAS tentang “pesek, tidak cantik, jelek”, tersebut sama sekali tidak ada relevansinya, meskipun jika memang dimaksudkan untuk bahan bercanda.
RN atau siapapun mungkin tidak akan kembali menjadi sadar-bahkan untuk berpikir ulang saja mungkin juga tidak- kalau yang diingatkan bukan cara berpikir atau tindakannya, tapi justru diolok-olok fisiknya. Cara seperti ini tentu tidak fair untuk RN, hampir sama tidak fairnya dengan mereka yang hendak mengingatkan kekeliruan RN dengan hujatan, bukan dengan nasehat secara baik. Tidak seperti nasehat, hujatan tidak pernah bisa benar-benar memperbaiki perilaku seseorang.
Begitu juga sebaliknya terhadap UAS. Sangat tidak adil jika “kepleset”nya yang manusiawi itu dijadikan pintu masuk untuk menghujatnya hingga pada level seakan-akan beliau telah melakukan dosa besar dan tidak punya kontribusi apa-apa dalam menambah wawasan keagamaan masayaarakat. Suka atau tidak suka, melalui ceramah-ceramahnya yang tersebar luas, hampir kita semua tahu apa usaha dan sumbangan UAS terhadap masayaarakat, khususnya umat Islam, belakangan ini. Setidaknya, UAS telah berkontribusi dalam membuka dan menambah wawasan-wawasan pada aspek praktis beberapa ajaran Islam. Hal tersebut saya kira sangat jelas. So, saya tidak melihat ada alasan yang penting untuk mem-“persona non-grata”-kan sosok UAS hanya karena kasus ini.
Memang, karena “kepleset” itu, sebagian orang menyarankan UAS untuk menyatakan pemintaan maaf. Ini sangat baik. Mulia sekali jika UAS berkenan melakukannya. Orang yang memberi maupun meminta maaf tidak akan menjadi hina. Justru Allah akan tambahkan kemuliaannya-begitu kata hadis Nabi Saw. Tp jika tidak pun, sebenarnya pilihan UAS masih dapat dipahami. Dari video dan meme klarifikasi yang beredar, tampaknya UAS punya perspektif sendiri tentang kasus RN. UAS merasa telah melakukan hal yang benar dan seharusnya terhadap orang yang dipandangnya mempermainkan ajaran-ajaran agama. Sebagai seorang da’i, wajar jika UAS merespon tegas orang atau pihak yang dianggapnya merendahkan ajaran-ajaran agama, yang siang-malam didakwahkannya. Meskipun begitu, hal tersebut tentu tetap harus diberi catatan: selanjutnya hendaknya sang Ustadz tidak lagi “main fisik” (istilah generasi jaman now 😀 )
Ala kulli hal, dakwah UAS, menurut saya, perlu untuk terus didukung. Di tengah situasi masyarakat yang rawan ter-“disitegrasi” karena pemahaman-pemahaman keagamaan yang oleh sebagian kalangan cenderung dibuat “membeku” seperti sekarang ini, UAS merupakan salah satu alternatif yang baik untuk mencairkannya kembali.
Bahwa kemudian ada yang tidak suka dengan gaya UAS dalam menyampaikan ceramahnya, itu biasa. Tidak setuju arah pemikiran-pemikirannya, itu lumrah. Atau menemui kelemahan-kelemahannya setelah sekian waktu “ngefans”, itu wajar saja. Tapi Mbokyo jangan fokus pada kekurangan-kekurangannya. Kita dukung kelebihan-kelebihannya. Sementara kekurangan-kekurangannya, itu tugas kita semua untuk menutupi dan melengkapinya dengan ikut andil untuk turun ke lapangan. Saling melengkapi dan bersinergi untuk kebaikan masyarakat, bangsa dan Negara kita Indonesia tercinta.
0 Comments