Beda Paham, Kafirkah?

Perbedaan di antara manusia bukanlah sebagai untuk memisahkan satu sama lain melainkan untuk mengenal satu sama lainnya.3 min


15

Islam sebagai agama rahmatan lil alamin, kasih sayang bagi seluruh alam. Akhir-akhir ini perlu dikaji ulang bagaimana penerapan ajaran agama Islam dipahami oleh khayalak umat Islam. Ajaran kasih sayang yang sedikit demi sedikit seolah memudar dalam tubuh muslim belakangan ini. Isu-isu agama seringkali dibenturkan dengan konflik, bagaimana agama yang mengajarkan kasih sayang dan perdamaian malah dijadikan sebagai sekat-sekat antara satu golongan dengan golongan lainnya.

Baru-baru ini, seorang tokoh agama terkemuka dengan pengikut yang tidak sedikit pula, melontarkan kata yang tidak pantas kepada orang lain bahkan orang yang dituju itu adalah orang penting di negara ini dan disampaikan secara terang-terangan ketika menyampaikan dakwah keagamaan di hadapan pengikutnya. Terlebih itu disampaikan ketika warga Indonesia sedang hangat-hangatnya membicarakan kontestasi politik. Ajaran ini jelas tak sejalan dengan pembawa kedamaian berupa agama Islam yaitu Nabi Muhammad.

Perbedaan golongan dan paham dalam tubuh Islam kini malah membuat resah kalangan beragama. Perbedaan yang diajarkan dalam Al-Qur’an kini tak dianggap sebagai rahmat untuk saling mengenal satu sama lain, seperti tertuang dalam Qur’an surat al-Hujarat : 13 “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-sukusupaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling takwa. Sesunggguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (Q.S al-Hujurat [49] : 13).

Dalam ayat tersebut jelas diterangkan bahwa perbedaan di antara manusia bukanlah sebagai untuk memisahkan satu sama lain melainkan untuk mereka saling mengenal dan karena manusia di hadapan Allah itu sama saja derajatnya.

Penggolongan Islam satu dengan yang lain yang kini semakin merusak dan malah semakin banyak pula golongan Islam yang baru.Term-term yang berkembang dalam golongan Islam itu beragam pula, tidak hanya islam rahmatan lil alamin, ada juga term, kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, Islam moderat, Islam Berkemajuan, dan masih banyak lagi term yang diangkat oleh golongan Islam saat ini.

Namun yang menarik dari bahasan ini, yaitu ketika satu golongan dengan golongan lainnya menganggap sebagai Islam yang paling benar dan menyalahkan golongan lainnya bahkan tak hanya menyalahkan, kafir-mengkafirkan pun kini malah semakin disemarakkan. Ini semakin mengherankan sekali karena bagaimana Islam bisa menjadi agama kasih sayang bagi seluruh alam jika di dalam tubuh Islam sendiri satu sama lainnya tidak dapat bersatu padu? Bahkan kafir-mengkafirkan semakin menegaskan bahwa perpecahan di tubuh malah semakin menjadi-jadi.

Kata kafir atau dalam kata awal bahasa dikenal dengan bahasa kufr, merupakan bahasa yang polisemi yaitu memiliki makna lebihdari satu. Kata kufr ini disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 525 kali, maka tak heran bila banyak sekali makna dari kufr ini. Dari segi bahasa kufr itu memiliki arti menutupi, namun secara terminologi para ulama banyak berbeda pendapat tentang makna kufr. Jika dikaitkannya dengan iman sebagai pembenaran maka kufr diartikan sebagai pendustaan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kafir diartikan sebagai orang yang mengingkari Allah dan rasul Nya. Kafir juga terbagi menjadi tiga, yaitu pertama : kafir harbi  yaitu kafir yang boleh diperangi karena mengganggu keselamatan Islam; kedua : kafir muahid, yaitu kafir yang telah melakukan perjanjian dengan muslim bahwa mereka tidak akan memerang Islam selama perjanjian masih berlaku; dan ketiga : kafir zimmi  yaitu kafir yang patuh terhadap kepemimpinan dan membayar pajak.

Dalam Al-Qur’an kata kufr ini memilik empat makna. Pertama: kaffara-yukaffaru-takfir  yang berarti menghapuskan atau menghilangkan; Kedua:  kaffarat  yang berarti penebus dosa; Ketiga: kafur  yang berarti mata air atau air yang ada di surga; Keempat: kuffar yaitu bentuk jama’ dari kata kafir yang dalam surat al-Hadid : 20 diartikan sebagai petani. (Harifuddin Cawidu, 1991 : 31)

Sejarah takfiri di Indonesia sendiri telah terjadi pada masa Indonesia klasik atau Nusantara. Pada saat awal Islam masuk di Indonesia sangat kental sekali dengan ajaran tasawuf falsafi. Dalam hal ini golongan Islam pada saat itu dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu golongan Islam ortodok dan Islam heterodoks. Islam ortodoks yaitu kelompok mayoritas yang mempraktikan ajaran dan ritual Islam yang diyakini benar. Sedangkan golongan Islam heterodoks yaitu golongan yang yang menyimpang dengan kebenaran yang diyakini oleh kelompok mayoritas.

Isu-isu yang menjadikan perpecahan di antara kedua golongan tersebut yaitu perbedaan penafsiran tawasuf-filosofis di antara tokoh dan pemeluk agama, mengingat ajaran awal Islam yang masuk di Indonesia adalah ajaran tasawuf. (Oman Faturahman, 2011 : 448)

Di Jawa ada salah satu karya yang ditulis oleh Raden Ngabehi Yasadipura I, seorang pujangga Kraton Surakarta, ia menulis salah satu karya yaitu Serat Cabolek yang menceritakan tentang peristiwa pengkafiran ajaran mistik Islam. Teks ini menceritkan tentang seorang sufi yaitu Haji Ahmad Mutamakin yang hidup di Desa Cabolek, Tuban, Jawa Timur. Ia diceritakan sebagai orang yang menyebarkan ajaran ilmu hakikat yang menyeleweng dengan ilmu syariat.

Ketib Anom Kudus, tokoh ulama Tuban yang paling menentang ajaran ilmu hakikat yang dibawa oleh Haji Ahmad Mutamakin, salah satu yang kontroversial yang dilakukan oleh Haji Ahmad Mutamakin yaitu memberi nama dua anjing peliharaannya dengan nama Abdul Qahhar dan Kamaruddin. Ketib Anom Kudus sebagai ulama ortodoks dan juga menguasai tradisi Jawa mengusulkan supaya Haji Ahmad Mutamakin diberi hukuman mati namun usulan itu tidak terealisasikan karena pada saat itu Sunan Mangkurat IV wafat.

Cerita lain tentang pengkafiran juga dialami oleh Syaikh Siti Jenar yang harus berakhir dengan hukuman pancung karena menganggap tiada yang lain didunia ini selain Tuhan. (Oman Faturahman, 2011 : 468)

Bicara tentang kafir mengkafirkan sepertinya harus ditelaah kembali. Fenomena yang belakangan ramai ini karena hanya perbedaan paham dan pendapat di antara golongan langsung dapat memvonis golongan lain dengan ‘kafir’.

Memang sungguh miris ketika hanya perbedaan kecil dapat meletupkan perpecahan besar padahal Islam sendiri mengajarkan untuk menghargai perbedaan dan pendapat orang lain. Maka term kafir itu harus ditinjau kembali supaya tidak asal tuduh dan tidak salah menempatkan klaim tersebut kepada orang lain.

 

_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]

Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂

Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!

Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!

[zombify_post]


Like it? Share with your friends!

15
Teguh Ridho Nugraha
Teguh Ridho Nugraha, mahasiswa aktif jurusan Sosiologi Agama di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta dan juga menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta.

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.