Hujan yang Turun di Sebuah Kisah

“Suatu saat nanti aku tidak mau punya istri, karena itu bisa merubah aku dan ibuku jadi orang yang menakutkan.” Kata Herman. 8 min


4
4 points

Hujan baru saja turun di penghujung akhir tahun ini, Minggu pagi menjadi lembab, beraroma daun dan tanah basah. Seperti biasa Herman pamit pada neneknya, bahwa ia akan bermain. Herman keluar dari rumah, sementara teman-teman sudah banyak yang menunggu di depan rumahnya. Herman mengajak teman-temannya untuk menjemput teman barunya, tetangga yang baru saja pindah dari luar kota.

Pukul 8 pagi mereka bersama-sama pergi bermain, mandi hujan, dan berjalan-jalan menyusuri kampung di sekitar komplek tempat tinggal mereka. Kadang mereka membawa jaring, benang untuk memancing, dan kail pancing. Herman, Merah, dan 5 temannya yang lain kadang bersama-sama mencari ikan dan belut, di lubang-lubang kecil, dan kubangan-kubangan air di sawah sekitar perkampungan dekat komplek tempat tinggal mereka. Jika tidak hujan biasanya mereka bersama-sama bersepada menyusuri jalanan di sekitar persawahan itu, melihat padi menguning, dan punggung ibu bapak petani yang kuat, juga melihat matahari terbenam ketika sore hari.

Sekarang mereka sudah tidak bisa melihat semuanya, sawahnya sudah jadi ruko dan beberapa rumah untuk komplek baru. Itu semua mereka nikmati di tahun -tahun lalu, sekarang mereka tidak bisa mencari ikan dan belut lagi, tempat mencarinya sudah tidak ada, dan kalaulah ada itu jauh dari rumah mereka.

Hujan deras perlahan berubah menjadi rintik-rintik kecil sedikit demi sedikit. Menjelang siang hujan reda, mereka semua bersama-sama pulang ke rumah masing-masing. Herman dan Merah berjalan bersama pulang menuju kompleknya. Mereka berdua adalah tetangga sekomplek. Sepanjang perjalanan Herman bercerita bahwa esok lusa adalah hari ulang tahunnya, dan ia tidak sabar melihat hadiah yang akan diberikan oleh ayahnya untuknya.

Ayah Herman adalah seorang dosen di sebuah perguruan tinggi negeri di kota ini, dan ibunya adalah guru di salah satu sekolah SMP swasta. Herman juga bercerita kepada Merah jika ia tinggal di rumah bersama kakek, ayah, ibu, dan kakak perempuannya yang cerewet.

“Besok lusa adalah hari ulang tahunku, Rah, besok kamu datang main ke rumahku ya?”

“Serius?”

“Ya serius…, ya sudah besok aku jemput jam 3 sore di rumahmu, aku akan minta izin ke bundaku.”

“Kalau begitu aku juga minta izin ibuku.”

“Tapi kamu harus tahan nanti jika di rumahku ada perempuan cerewet, yang pasti akan ngajak ngobrol kamu.”

“Siapa dia?”

“Dia kakakku, dia cerewet dan suka mencubit pipiku.”

“Aahahahaha…. secerewet apa kakakmu?” Tanya Merah dengan tertawa.

“Kamu pernah melihat keledai betina yang merintih ketika sedang sakit perut belum?”

“Ahahahhahaha… belum pernah, di mana kamu melihatnya?” Merah tertawa sambil bertanya.

“Kapan-kapan kamu harus melihatnya di Nat Geo Channel, aku dan ayah suka melihatnya di TV.”

Merah adalah teman baru Herman, gadis kecil yang baru saja pindah ke kota ini, baru 3 bulan. Begitu juga dengan Merah, ia juga bercerita tentang keluarganya, ia tinggal di rumah bersama dengan ayah ibunya, ia punya kakak laki-laki yang sedang kuliah di luar kota. Sebulan sekali, kakaknya selalu mengiriminya kartu pos bergambar, dan buku-buku dongeng. Ayah Merah adalah seorang pengacara yang sering membantu orang-orang ketika mereka terkena kasus hukum, tapi tidak punya uang untuk menyewa pengacara, ibu Merah menjaga toko sembako milik keluarga di rumah.

 


Like it? Share with your friends!

4
4 points

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
1
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
3
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
1
Wooow
Keren Keren
2
Keren
Terkejut Terkejut
0
Terkejut
Faridmerah

Master

Buruh kedai kopi, yang mempunyai kesempatan istimewa, yakni kuliah untuk belajar agama - agama di dunia. seorang lelaki yang menangis, dan bercita - cita menjadi ibu yang baik bagi anak - anaknya.

2 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals