Filosofi Perdebatan Para Mufassir

"..perbedaan para mufassir boleh jadi disebabkan karena pengalaman, kemampuan dan ilmu yang Allah berikan kepada mereka untuk memahami Al-Qur'an..."2 min


4
Allah swt menjadikan laut (bahr) sebagai perbandingan atas Al-Qur'an. Sumber: pixabay.com

Allah swt menjadikan laut (bahr) sebagai perbandingan atas Al-Qur’an. Hal itu bukan berarti sebandingnya laut dengan Al-Qur’an, tetapi boleh jadi karena manusia sering mengibaratkan  laut sebagai sesuatu yang dalam, luas dan sulit diekspresikan dasar dan kandungannya secara menyeluruh, baik itu kehidupan alam bawah laut, jumlah hewannya,  benda-benda laut dan berapa kadar air laut itu sendiri.

Manusia hanya tahu bahwa laut itu dalam dan tidak pernah habis airnya. Maka Allah swt berfirman “qul Law kâna al-bahru midâdan likalimâti rabbî lanafida al-bahru qabla an tanfada kalimâtu rabbî walau ji’nâ bi mitslihî madada” (katakanlah seandainya laut di menjadi tinta untuk menulis kalimat-kalimat Tuhanku, maka pasti habislah laut itu sebelum selesai [penulisan] kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun kami datangkan tambahan sebanyak [laut] itu pula). QS. Al-Kahfi : 109.

Setiap orang memiliki cara berbeda dalam mengekspresikan dan mendeskripsikan laut. Hal itu karena perbedaan pengalaman mereka di laut. Ada yang datang ke laut hanya untuk berlayar dengan sampan di atasnya, sesekali menyentuh air laut itu dengan tangan dari atas sampannya.

Mungkin orang seperti ini akan mengatakan, bahwa laut tak lebih dari hamparan air dan ombak, tidak ada ikan sama sekali, kalaupun ada hanya satu dua saja. Ia mengatakan itu karena ia hanya bermain di permukaan laut, perkataan itu tidak keliru, karena memang begitulah laut tampak dari permukaan, tetapi pendapat itu juga tidak sepenuhnya benar.

Lain halnya dengan orang yang menyelam ke dalam laut, mungkin hingga kedalaman 100 meter. Lalu ia katakan, “oh ternyata di laut itu banyak sekali ikan salmonnya, tapi sepertinya ikan di laut itu kecil-kecil, tak ada yang lebih besar dari salmon”. Pendapat ini pun tidak keliru, karena memang dengan kedalaman itu seorang penyelam baru bisa melihat salmon, tapi pendapat ini juga belum mewakili deskripsi laut sebenarnya.

Ada pula yang menyelam hingga kedalaman 500 meter ke bawah laut, lalu dia mengatakan, “oh ternyata di dalam laut bukan hanya ada salmon, tetapi banyak sekali ikan-ikan dengan ukuran besar seperti hiu dan paus”. Lalu saat orang-orang ini berkumpul, masing-masing akan menceritakan pengalamannya.

Orang pertama yang hanya berlayar di permukaan laut mungkin tidak percaya bahwa di laut ada ikannya. Orang keduapun mungkin akan menyangkal bahwa di laut ada ikan raksasa, dan mengatakan bahwa itu “bid’ah” (mengada-ada), sementara orang yang pernah menyelam lebih dalam memahami kenapa dua orang di atas tidak percaya, karena keduanya belum memiliki pengalaman seperti dirinya. perdebatan ini karena keterbatasan dan perbedaan pengalaman di laut.

Ketiga orang di atas, meskipun dua diantaranya sudah menyelam, pun mereka hanya menyelam di satu sisi laut itu saja, keduanya belum menyelami seluruh sisi laut yang sangat luas itu, belum juga orang yang menyelam itu sampai ke dasar laut.

Mungkin jika ia sampai ke dasar nya ia akan mengatakan, ternyata laut itu tenang, sunyi, dan indah. Boleh jadi pula ada yang menemukan dasar laut itu, selain menemukan mutiara ia menemukan bahwa di bawah laut terkandung sumber daya alam minyak bumi. Mutiara dan minyak yang terkandung di bawah laut tidak akan bisa dijangkau oleh mereka yang hanya bermain di permukaan saja.

Al-Qur’an lebih dalam dari laut, dan memiliki rahasia yang tak terbatas. Cukuplah bagi kita mengerti, bahwa kita tidak bisa menjangkau keseluruhan laut, padahal laut dengan keseluruhannya yang luas itu tidak bisa menjelaskan keseluruhan Al-Qur’an. Jadi, antara kita dan Al-Qur’an memiliki perbandingan yang sangat jauh.

Jadi, perbedaan para mufassir boleh jadi disebabkan karena pengalaman, kemampuan dan ilmu yang Allah berikan kepada mereka untuk memahami Al-Qur’an. Mungkin bukan salah atau benar, tetapi lebih kepada tafsir ini benar dari sisi ini, tafsir lain benar dari sisi yang lain pula. Selama tafsir itu ditempuh dengan metode yang bisa dipertanggung jawabkan, tidak ada salahnya kita menghormati perbedaan tafsir yang ada. Meski menghormati bukan berarti menerima.

Baca tulisan-tulisan Mukhrij Shidqy lainnya: Kumpulan tulisan Muhhrij Shidqy


Like it? Share with your friends!

4
Dr. Mukhrij Sidqy, MA.
Dr. Mukhrij Sidqy, MA. adalah doktor di bidang Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan dosen di STIQ Baitul Qur'an, Kelapa Dua, Depok. Ia menjabat sebagai Ketua Ikatan Da'i Muda Indonesia Depok, Wakil Pengasuh PP. Al-Wutsqo Depok, dan Pembina Tahfidz LPTQ Al-Muhajirin BPI Depok.

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals