Ujaran Kebencian, Dari Manakah Asalnya?

“..Secara psikologis, ujaran kebencian disebabkan oleh ketidaksiapan mental seseorang terhadap perbedaan..”3 min


4
19 shares, 4 points
Sumber foto: myanmar-responsiblebusiness.org

Merebahnya ujaran kebencian di medsos adalah salah satu dampak dari teknologi informasi yang semakin mudah diakses oleh masyarakat umum. Semua kalangan secara bebas mengomentari secara ‘serampangan’ fenomena yang sedang terjadi. Entah persoalan yang berhubungan dengan problem sosial, keagamaan, politik dan isu-isu lainnya dalam diskursus percaturan nasional.

Uajaran kebencian yang saya maksud di sini adalah kata-kata kasar yang menunjukkan kebencian terhadap seseorang, kelompok, golongan atau lembaga tertentu yang dianggap bersalah. Ujaran ini biasanya provokatif dan memicu tindakan anarkis baik secara pisik maupun psikis kepada pihak-pihak lain dengan disertai dengan pelabelan-pelabelan negatif.

Ujaran kebencian paling santer tersebar melalui diskusi-diskusi di komentar facebook, WhatsApp,dan Instagram dkk baik dengan narasi-narasi yang menggiring para pembaca ke dalam ideologi tertentu atau dalam bentuk meme-meme singkat yang mudah dipahami oleh para audiens. Gejala ini sebenarnya terjadi tidak hanya di Indonesia saja tetapi sudah menjadi peersoalan serius di belahan negara-negara lain.

Dalam konteks keindonesiaan, ujaran kebencian seringkali dihubungkan dengan teks-teks keagamaan yang dipahami secara literal tanpa memandang konteksnya, terlebih lagi jika persoalan tersebut terkait dengan isu hubungan antara muslim dengan non-muslim, muslim sunni dengan muslim Syi’ah dan lain sebagainya.

Salah satu contoh misalnya, ayat yang paling sering digunakan sebagai dasar ujaran kebencian adalah Q.S al-Fath:29 yang artinya, Muhammad Rasulullah dan orang-orang yang bersamanya bersikap keras dengan orang-orang kafir dan lemah lembut diantara mereka.

Ayat ini secara literal bisa dipahami sebagai pengabsahan sikap keras baik secara fisik maupun non-fisik terhadap orang yang berbeda keyakinan, seperti ujaran kebencian misalnya. Lebih parah lagi, jika ayat ini diberlakukan kepada sesama muslim yang notabene berbeda pemahaman dan dianggap sesat dan kafir. Padahal, konteks ayat ini diturunkan dalam situasi ketegangan antara umat Islam dengan non-muslim saat itu.

Jika dalam kondisi damai dan normal, maka ada banyak pesan-pesan damai dalam ayat lainnya terkait dengan relasi sosial kemasyarakatn secara umum termasuk dengan non-muslim seperti dalam Q.S al-Mumtahan:8, Q.S Lukman:15, Q.S al-An’am: 108 dan lain sebagainya. selain itu, dalam fakta sejarah Nabi melarang bersikap keras kepada sesama tak terkecuali dengan yang berbeda keyakinan.

Secara psikologis, ujaran kebencian disebabkan oleh ketidaksiapan mental seseorang terhadap perbedaan. Setiap orang yang berbeda dengannya dianggap sesuatu yang tidak baik. Dia selalu memandang segala sesuatu dengan perspektif dirinya tanpa memandang perspektif orang lain.

Akhirnya, setiap berinteraksi dengan orang yang berbeda dengan dirinya, ia akan apatis dan menutup ruang dialog sehingga terjadi disharmoni dalam hubungan sosialnya. Hubungan yang tidak harmonis ini pada akhirnya akan menimbulkan kebencian yang berdampak pada tindakan-tindakan yang anarkis baik secara pisik maupun non-fisik, seperti ujaran kebencian.

Ujaran kebencian juga disebabkan oleh minimnya kompetensi seseorang dalam memahami realitas baik realitas keagamaan maupun realitas kehidupan. Semisal memahami al-Quran hanya berdasarkan terjemahan saja tanpa melibatkan keilmuan al-Quran seperti ulumul Quran dan Tafsir.

Pemahaman yang tidak utuh terhadap realitas kehidupan juga seringkali menimbulkan reaksi yang tidak pas dengan konteks permasalahan yang sebenarnya terjadi. Seperti reaksi berlebihan terhadap berita-berita yang beredar di media sosial yang belum jelas kebenarannya. Informasi yang tersebar di media massa yang dipotong konteksnya akan berdampak pada kesalahpahaman dalam memahami persoalan yang sebenarnya.

Selain itu, ujaran kebencian itu disebabkan oleh sifat dasariyah manusia yang memiliki sifat ghadab (marah). Sifat marah yang dimiliki setiap manusia ini banyak faktornya, di antanya adalah melihat sesuatu yang tidak disukai atau bertentangan dengan pola fikirnya, bisa juga disebabkan oleh sifat iri hati (hasad) dan prasangka buruk (su’udzdzann) terhadap fenomena atau orang lain.

Sifat ghadabiyyah yang tidak bisa diatur akan mudah menyebabkan seseorang bertindak dan berkata kasar. Oleh karenanya, Nabi mengajarkan agar mengelola sifat marah, salah satunya dengan berwudhu’. Orang yang bisa mengelola sifat marah ini oleh Nabi dijanjikan sorga, la tahghdab wa lakal Jannah, jangan suka marah, bagimu surga.

Untuk menghindari dan mengkounter ujaran kebencian yang tersebar utamanya di media sosial kita harus selektif dalam menilai sesuatu serta menyuarakan nilai-nilai Islam yang yang santun dan toleran.

Penting juga untuk mendengarkan pesan Gusmus dalam sebuah sarasehan nasional, beliau berkata “Sing waras ojo ngalah!” Jika disederhanakan, bahasa Gusmus ini bisa diartikan, “Orang yang pintar jangan hanya diam dan membiarkan orang-orang bodoh berkata-kata tanpa ilmu sehingga banyak meresahkan masyarakat”.

Selama ini, ujaran kebencian tersebar dengan cepat tanpa adanya kounter yang berimbang dari kalangan ulama/ilmuan dikarenakan penyebaran ujaran kebencian ini dilakukan melalui media sosial yang ‘belum begitu familiar’ bagi kalangan ulama’/ilmuan.

Oleh karenanya, pesan Gusmus ini menemukan momentumnya bahwa orang yang berilmu harus turun gunung dalam lembah media sosial untuk mengurai dan mengkounter ujaran-ujaran kebencian yang sudah tersebar sedemikian banyaknya. Wallahu A’lam!

Baca tulisan-tulisan Abd. Halim lainnya: Kumpulan Tulisan Abd. Halim, S.Th.I., M.Hum.


Like it? Share with your friends!

4
19 shares, 4 points

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
3
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
5
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
2
Wooow
Keren Keren
3
Keren
Terkejut Terkejut
1
Terkejut
Abd. Halim

Master

Abd. Halim, STh.I., M.Hum. adalah dosen di IAIN Surakarta dan IIQ An-Nur Yogyakarta. Ia merupakan penulis Buku "Problem Solving ala Nabi, Belajar dari Kearifan Nabi Muhammad dalam Memecahkan Masalah".

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals