Remaja merupakan golongan usia yang cukup muda untuk membicarakan hal-hal serius seperti pernikahan, kehidupan berkeluarga, membesarkan anak, mendidik anak dan lain-lain. Namun tidak di era milenial saat ini yang akrab dengan sebutan melek teknologi, remaja sepertinya mengalami pergeseran pola pikir sehingga menilai dirinya sudah cukup pantas membicarakan hal-hal berbau semacam di atas. Sebagai remaja dengan kondisi psikis yang labil, remaja membutuhkan ruang-ruang untuk mengekspresikan apa yang ia rasakan.
Dalam hal ini, tentu saja mereka membutuhkan atensi-atensi semacam dikenal dan didengarkan. Era ini tepat sekali dimanfaatkan untuk pengadaan ruang-ruang ekspresi itu, seperti platform berkomunikasi Facebook, Twitter, Instagram, Whatsapp dan lain-lain. Media sosial yang diciptakan dalam perkembangannya sudah beralih fungsi, semula diciptakan sebagai ruang-ruang komunikasi melintasi ruang dan jarak menjadi ajang pamer bagi remaja untuk memamerkan kebahagiaan, kesedihan dan ekspresi lainnya yang mereka rasakan.
Bagi kalangan remaja Muslim sendiri, term “nikah muda” menjamur berwujud postingan yang umumnya video-video dalam berbagai versi, dimulai dari video kartun perempuan berjilbab (biasanya memakai penutup wajah; berupa niqab/cadar) dengan seorang lelaki yang tampil dengan ekspresi senyum lalu biasanya dihias dengan membawa bunga atau payung, atau bersepeda berdua atau menggenggam tangan satu sama lain.
Video-video itu tidak kalah menarik karena dilengkapi dengan berbagai kepsyen Islami berupa hadis-hadis nabi, dan interpretasi ayat Al-Qur’an juga tidak jarang ditemukan salah satunya Q.S.Al-Isra’:32. Entah dari mana asal-muasalnya, term “penantian jodoh”, “jomblo sampai halal”, “singlelillah”, “pacaran setelah menikah” dan semacamnya menjadi trend di media sosial seiring bersama perihal nikah muda.
Lebih mengherankan lagi, ketika para remaja merasa mulai “Islami” atau dikenal dengan istilah “hijrah”, dengan mengenakan pakaian yang dinilai lebih islami seperti gamis, jilbab lebar dan lainnya kerap kali membagikan term nikah muda di atas.
Disatu sisi “hijrah” itu mungkin berdampak positif karena para remaja menunjukkan identitas Muslim mereka dengan menutup aurat. Tetapi disisi lain, terlihat miris karena menikah dipandang seolah merupakan pencapaian dari kesempurnaan beragama.
Tidak diketahui latar belakang munculnya fenomena ini, mungkinkah bermula ketika anak seorang ustadz kondang Indonesia memilih melepas masa remajanya dengan menikah diusia 17 tahun? Ataukah ceramah-ceramah bertajuk cinta “islami” yang digaungkan oleh ustadz milenial perangkai kata sedemikian indah dan enak didengar? Atau gerakan ustadz mualaf dengan tagarnya #udahputusinaja.
Bahkan ada sepasang suami-isteri (youtuber sekaligus selebgram) yang kerap memamerkan kehidupan pernikahan mereka di media sosial mengaku secara bersahaja untuk mengampanyekan nikah muda dengan alasan sebagai dakwah Islam untuk mengatasi perbuatan zina. Postingan yang dianggap sebagai dakwah itu dikemas dalam bentuk gambar dan video.
Karena orientasinya adalah dakwah indah dan bahagianya kehidupan pasangan “Islami” yang menikah tanpa berpacaran sekaligus sebagai bentuk ibadah, maka yang ditampilkan hanya sekadar “kulit luar” dari pernikahan itu dan tidak menyinggung warna persoalan yang ada didalamnya baik persoalan fisik, psikis, ekonomi, alih-alih sekadar permasalahan seperti menyatukan perbedaan karakter masing-masing, atau penyelesaian masalah ketika terjadi konflik.
Video-video “Islami” ini dikonsumsi bahkan dijadikan motivasi oleh kalangan remaja. Dengan interpretasi ayat Q.S. Al-Isra’ : 32 yang artinya : “Dan Janganlah kalian mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk” menjadikan anjuran nikah muda oleh ustadz-ustadz medsos tersebut eksis dan tidak jarang dijadikan motivasi untuk segera melangsungkan pernikahan dengan alasan takut melakukan perzinahan terhadap lawan jenis.
Lantas, mengapa ayat tentang menjauhi zina dikaitkan dengan segera melangsungkan pernikahan? Apakah setelah menikah dapat dipastikan tidak melakukan perzinahan lagi?
Diceritakan dalam tafsir Ibnu Katsir, adapun asbabun nuzul turunnya Q.S.Al-Isra’: 32 adalah karena seorang pemuda yang datang kepada nabi dan mengutarakan niatnya untuk berzina. Lalu Rasullullah menanyakan kepada laki-laki tersebut apakah ia suka bila hal yang sama dilakukan terhadap saudara perempuannya atau bibi-bibinya. Laki-laki tersebut menjawab dengan bersumpah atas nama Allah bahwa tentu saja ia tidak mau.
Rasullullah pun memberi pemahaman kepada laki-laki tersebut bahwa orang lain juga tidak mau jika saudara perempuan atau bibinya dizinahi oleh laki-laki tersebut. Lalu nabi mendoakan laki-laki itu agar Allah memberi pengampunan dosa, pembersihan hati dan memelihara farjinya.
Dari riwayat ini, sangat gamblang kita pahami bahwa ayat tersebut turun karena adanya keinginan berzina seorang pemuda waktu itu, dan penyelesaian hal tersebut tidak dengan melakukan pernikahan melainkan memberi interpretasi kepada pemuda tersebut betapa tidak terpujinya perbuatan zina. Dalam ayat yang terpisah, secara cermat Allah sudah memberi perlindungan kepada laki-laki dan perempuan agar terhindar dari perbuatan zina, yakni dengan menjaga pandangan bagi laki-laki dan menutup aurat bagi perempuan.
Dari analisa ini, sama sekali tidak ada ayat Al-Qur’an yang mengarahkan nikah muda merupakan solusi untuk mengatasi atau meminimalisir perbuatan zina.
Sepertinya kita perlu memahami kembali, bahwa Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad bermaksud untuk dijadikan pedoman bagi umat manusia, terkhusus Islam agar mencapai kehidupan yang damai dan sejahtera.
Dengan kata lain, Al-Qur’an mengutamakan kemaslahatan umat manusia. Jika dilihat dari dalam berbagai aspek terutama kondisi fisik dan psikisnya, nikah muda bagi remaja tidaklah membawa dampak yang baik, melainkan dampak buruk. Kondisi fisik yang terganggu utamanya pada organ reproduksi, karena organ reproduksi seorang remaja masih dalam tahap penyempurnaan. Tentu ini sangat berpengaruh terhadap kesehatan ibu dan anak. Selain itu juga beresiko penyakit menular seksual diantaranya HIV.
Dalam kondisi psikis sendiri, labilnya seorang remaja tentu saja sangat berpengaruh terhadap kedewasaan berpikir dalam pengambilan keputusan, penyelesaian masalah dan lain-lain. Selain itu, remaja sangat mudah mengalami trauma karena beberapa sebab. Mungkin edukasi dalam rumah tangga dapat diberikan, ekonomi tercukupi, dan lainnya. Tetapi kondisi psikis sangat mempengaruhi seluruh aspek-aspek tersebut.
Video-video kampanye nikah muda tidaklah semudah dan seindah seperti yang terlihat. Pernikahan bukan hanya sekadar “will you marry me?” dan “yes, i will”. Lebih dari itu, mampukah kita memenuhi hak dan kewajiban sebagai suami/isteri dan sebagai orang tua yang mendidik dan membesarkan anak nantinya?
Jika nikah muda dipandang sebagai solusi mencegah perbuatan zina, dalam konteks sekarang sepertinya banyak solusi yang lebih efektif dari pada itu. Ditambah saat ini dengan kemajuan teknologi, tentunya remaja memiliki potensi besar untuk berkarya. Jika remaja lebih produktif dengan kegiatan-kegiatan yang berorientasi meningkatkan kreativitas dan berkontribusi terhadap kehidupan sosial disekitarnya, tentu saja mereka memiliki peluang kecil untuk “berbuat zina” bahkan tidak akan memikirkan hal-hal demikian.
Manntulllll👍👍. Spertinya kalok di tambah penjelasan mengenai sikap2nya, bisa di tambahi dengan referensi dari para ahli psikolog 2, biar tidak terlalu hambar rasanya.
Semangat berkarya dik sukma, biar lebih kredibel dan akurat, implikasi atau pengaruh nikah muda mungkin bisa di muat di tulisan, mulai dari pengaruh negatif dan positif. Biar pembaca juga bisa mengamati lebih dalam terkait fenomena nikah muda pada saat ini.