Keserakahan dalam Al-Quran: Tafsir Abdullah Yusuf Ali atas QS At-Takatsur

Prinsip hidup berkemajuan ialah bahwa hari ini lebih baik daripada kemarin dan hari esok lebih baik daripada hari ini. 3 min


1
1 point

Surat ke-102 dalam Al-Quran itu terdiri atas 8 ayat. Surat tersebut mengandung teguran kepada orang-orang yang hidup bermegah-megah sehingga ibadahnya kepada Allah terlalaikan.

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan latar belakang turun ayat pertama dan kedua surat tersebut dari Ibnu Buraidah sebagai berikut. Dua kabilah Anshar, yakni Bani Haritsah dan Bani Al-Harits, saling menyombongkan diri dengan kekayaan dan keturunannya. Mereka saling menyombongkan diri dengan kedudukan dan kekayaan orang-orang yang masih hidup dan saling mengajak pergi ke kuburan untuk menyombongkan kepahlawanan golongannya yang sudah gugur dengan menunjukkan kuburannya; “Apakah kalian mempunyai pahlawan segagah dan secekatan Fulan?”

Ibnu Jarir meriwayatkan dari sumber lain bahwa Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Pada mulanya kami sangsi tentang siksa kubur. Setelah turun ayat 1-4 surat At-Takatsur ini hilanglah kesangsian itu.”

Alhakumut-takatsur (1)

Menimbun kekayaan (di duia ini) telah membuat kamu lalai (dari hal penting lainnya).

Keserakahan, yakni kecintaan mengejar bertambahnya kekayaan, kedudukan, jumlah peenganut, pengikut atau pendukung, produksi besar-besaran dan organisasi, mungkin sedemikian rupa memengaruhi orang atau mungkin memengaruhi seluruh masyarakat dan bangsa. Pencerminan atau persaingan dari orang lain dalam hal semacam ini dapat membuat keadaan lebih parah lagi.

Sampai pada batas tertentu mungkin itu masih baik dan perlu. Akan tetapi, jika itu sudah melampaui batas dan menyita perhatian lebih banyak, waktu yang tersisa untuk hal-hal yang lebih luhur sudah tak ada lagi dalam hidup ini. Di sini peringatan itu diimbau dari segi rohani. Mungkin manusia sudah begitu hanyut ke dalam hal-hal serupa itu, sampai pada waktu maut sudah mendekatinya, dan menengok ke belakang, ke dalam soal yang lebih luhur dalam hidupnya yang disia-siakan.

Hatta zurtumul-maqabir (2)

Sampai kamu mengunjungi kuburan.

Kecenderungan untuk mengejar bertambahnya kekayaan dan lain-lain itu akan berlanjut sampai tiba waktunya kamu harus berbaring dalam kuburan dan meninggalkan kemegahan serta segala kekayaan harta benda di dunia yang hampa ini. Hakikat yang sebenarnya kemudian akan tampak di hadapanmu. Mengapa tidak mencoba berusaha memahami sedikit saja hakikat itu selama ini di dunia ini juga?

Kalla saufa ta’lamun (3)

Tetapi tidak, kamu segera akan tahu (kenyataan itu).

Waspadalah, kamu akan segera tahu kenyataan yang tak terelakkan itu.

Tsumma kalla saufa ta’lamun (4)

Sekali lagi tidak, segera kamu akan tahu!

Sekali lagi camkan baik-baik, kamu akan segera tahu kenyataan yang tak terhindarkan itu.

Kalla lau ta’lamuna ‘ilmal-yaqin (5)

Tidak, sekiranya kamu tahu dengan dengan pikiran yang pasti (kamu sadar!).

Kebenaran itu sendiri sudah pasti. Akan tetapi, sesudah diterima orang dan dimengerti sesuai dengan psikologi manusia, kepastian itu punya tingkatan-tingkatan tertentu. Ada yang masih dalam kemungkinan atau sudah merupakan kepastian, yang timbul karena manusia menggunakan kemampuannya untu menilai dan penilaiannya itu didasarkan pada bukti.

Ada tiga macam yaqin. Pertama, ‘ilmul-yaqin, kepastian dengan pembuktian atau dengan cara mengambil kesimpulan. Pikiran dan pengetahuan yang pasti karena kita mendengar dari seseorang atau kita mengambil kesimpulan dari sesuatu yang kita ketahui. Setiap Muslim tahu dengan yakin bahwa Ka’bah Baitullah berada di tengah-tengah Masjidil Haram.

Kedua, ‘ainul-yaqin, kepastian dengan melihat sesuatu melalui mata kita sendiri; “Percaya sesudah melihat,” yakni kepastian dengan memeriksa sendiri. Dengan memasuki kawasan Masjidil Haram Muslim menyaksikan Ka’bah dengan mata-kepala sendiri yang mengantarkannya mencapai ‘ainul-yaqin tentang Ka’bah.

Ketiga, haqqul-yaqin, yakni kebenaran mutlak, tanpa ada kemungkinan atau kesalahan penilaian atau kesalahan mata melihat, karena kita mengalaminya sendiri. Siapa yang menghampiri, mengitari, dan menyentuh Ka’bah, bahkan mencium Hajar Aswad, ia mencapai haqqul-yaqin.

Latarawunnal jahim (6)

Niscaya kamu akan melihat api jahanam!

Kelak di akhirat kita akan melihat api jahanam tanpa sesuatu pun yang menghalangi.

Tsumma latarawunnaha ‘ainal-yaqin (7)

Kemudian, pasti kamu melihatnya dengan penglihatan yang pasti!

Pada saatnya kita akan melihat api jahanam itu dengan mata-kepala sendiri tanpa keraguan sedikit pun.

Tsumma latus`alunna yaumaidzin ‘aninna’im (8)

Kemudian, pasti kamu ditanya hari itu tentang kenikmatan (yang kamu perturutkan)! 

Kita akan ditanya, yakni kita akan bertanggung jawab atas setiap kesenangan yang kita perturutkan, baik itu kebanggaan palsu, kesenangan yang tak berharga atau hal-hal yang membawa dosa, ataukah kesenangan yang memang dapat dibenarkan; yang terakhir untuk mengetahui apakah kita masih dalam batas-batas kewajaran.

Prinsip hidup berkemajuan ialah bahwa hari ini lebih baik daripada kemarin dan hari esok lebih baik daripada hari ini.

Apakah hari ini kita telah melakukan perubahan agar hidup kita menjadi lebih baik?

RAKUS
Aku manusia rakus.
Seluruh kekayaan bumi kuanggap bukan milik Tuhan,
melainkan fasilitas alam untu kerakusanku.

Aku mau kekayaan Sembilan Naga kuambil alih.
Tapi itu konyol dan dungu:
Aku hanya perlu makan dua piring sehari,
tidur cukup dengan satu kasur.

Keserakahan tidak terletak di jabatan dan kekayaan,
melainkan berupa kanker ganas di dalam kalbu.

Aku orang yang sangat rakus,
tetapi kerakusan tidak bisa diaplikasi,
kecuali membakar hidupku dengan api
dari dalam jiwaku sendiri.

Maka kuputuskan menjadi ‘abdan ‘abdiyya saja
menjadi rakyat kecil dan orang biasa
yang hidup cukup dengan satu pekerjaan:
mengabdi, menyayangi, mengamankan, dan menggembirakan.
(Emha Ainun Nadjib)


Like it? Share with your friends!

1
1 point

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
1
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
6
Suka
Ngakak Ngakak
1
Ngakak
Wooow Wooow
2
Wooow
Keren Keren
2
Keren
Terkejut Terkejut
0
Terkejut
Muhammad Chirzin
Prof. Dr. H. Muhammad Chirzin, M.Ag. adalah guru besar Tafsir Al-Qur'an UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Anggota Tim Revisi Terjemah al-Qur'an (Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur'an) Badan Litbang Kementrian Agama RI.

One Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals