Berbicara shalawat bagi umat Islam merupakan sesuatu yang menjadi amalan penting dalam setiap ibadahnya. Bahkan dalam sebagian besar ritual Islam, penggunaan shalawat menjadi suatu kewajiban. Kewajiban-kewajiban itu antara lain terdapat dalam setiap ritual ibadah yang sifatnya mahdlah seperti, shalat, khotbah Jum’at, doa, dan lain sebagainya.
Membaca shalawat bagi umat Islam bukan saja telah menjadi tradisi, akan tetapi telah menjadi perintah atau anjuran sebagaimana firman Allah SWT, “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya” (Al-Ahzaab: 56).
Dari ayat di atas dapat dilihat bahwasannya antara keimanan dan kehambaan kepada Tuhan, berkaitan erat dengan kecintaan kita terhadap utusannya yakni, Nabi Muhammad Saw. Karena selain kecintaan kita kepada Nabi Muhammad, di dalam bershalawat pun kita tidak lepas dari mengingat akan kebesaran Allah atau berdzikir.
Sebagaimana menurut Mahmud Yunus dalam kamus Arab-Indonesia yang menyatakan bahwa, ‘shalawat berasal dari kata shalat dan bentuk jamaknya menjadi shalawat yang berarti doa untuk mengingat Allah secara terus-menerus’. Maka tidak heran jika di Indonesia banyak shalawat terwujud dalam bentuk varian dan fungsinya.
Bahkan dalam aktivitas yang terlihat profan sehari-hari, kegiatan pembacaan shalawat telah menjadi tradisi tersendiri seperti, bekerja di ladang, menunggu dagangan, relaksasi, dan menidurkan bayi, untuk aktivitas menidurkan bayi ini pun memiliki shalawat sendiri yang telah lama dikenal seperti, shalawat indung-indung.
Selain itu, tradisi membaca shalawat juga telah ditetapkan pada saat-saat yang ditentukan. Ketetapan ini pun sekarang cakupannya meluas seperti, pada saat menunggu waktu adzan dan iqomat, dengan lafadz bacaan shalawat, baik dengan bahasa Arab maupun bahasa Jawa atau (singiran), yakni shalawat yang berisi makna bahasa Jawa.
Salah satu shalawat berbahasa Jawa yang memuat prinsip-prinsip keimanan dalam Islam, kalimat tahlil serta shalawat nabi dan masih sering dibaca menjelang shalat Shubuh, khususnya di masjid-masjid yang berada di daerah Yogyakarta dan pesantren-pesantren di Jawa Tengah dan Timur adalah shalawat Tasbih Hadiningrat. Sebuah bacaan tasbih yang tercantum dalam manuskrip Serat Waosan Puji Kraton Yogyakarta Hadiningrat.
Serat Waosan Puji sendiri mulai ditulis pada hari Selasa Kliwon, 25 Jumadilakir 1781, yang menurut beberapa penelitian mengandung ajaran-ajaran Islam seperti, rukun iman, rukun Islam, surat-surat dalam Qur’an, dan ukhuwah Islamiyyah. Pun demikian, terdapat pula konsep-konsep Jawa Islam seperti, astabratha, nitipraja, ajaran kearifan orang Jawa, serta tradisi orang Jawa berupa slametan.
Dengan teks yang sarat akan pesan-pesan moral Islam ini, maka isi Serat Waosan Puji pun dibingkai dalam tembang-tembang tasbih atau shalawat. Adapun kalimat yang menjadi bacaan dari Tasbih Hadiningrat ini adalah sebagai berikut:
“Niyat ingsun ngimanaken, ngimanaken Gusti Allah
Kaping pindho ngimanaken, ngimanaken moloikate Allah
Kaping telu ngimanaken, ngimanaken kitabe Allah
Kaping papat ngimanaken, ngimanaken utusane Allah
Kaping lima ngimanaken, ngimanaken dina kang akhir
Kaping nenem ngimanaken, ngimanaken pesthene Allah
Pesthen becik pesthen ala, kabeh iku sangking Allah
Pesthen becik iman lan tho’at, pesthen ala kufur ma’shiyat
Tanbihun eling-eling, padha ngajiyo sira
Ngajiyo kalimat Arab, kanggo sangu ning akherat
Tanbihun eling-eling, padha ngajiyo sira
Ngajiyo lafal makna, kanggo sangu ning suwarga”
Dari Shalawat Tasbih Hadiningrat di atas, dapat dilihat bahwa makna yang dibingkai dalam tembang shalawat terkandung unsur-unsur keimanan. Iman seorang hamba kepada Allah dan Nabi-Nya.
One Comment