Sebagian masyarakat Kedungharjo, khususnya yang tinggal di sekitaran Masjid Jami’ Ad-Dimyathi merupakan penganut tarekat masyhur yang tersebar di Nusantara. Masjid Jami’ Ad-Dimyathi, didirikan oleh Kiai Dimyathi pada kisaran tahun 1920-an, seusia dengan Nahdlatul Ulama–didirikan Hadlratussyaikh KH Hasyim Asyari pada 31 Januari 1926. Tarekat yang dianut oleh sebagian masyarakat sekitar masjid Ad-Dimyathi adalah tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah.
Pertama kali diperkenalkan oleh Syekh Muhammad bin Muhammad Baha’ al-Din al-Uwaisi al-Bukhari al-Naqsyabandi, yang lahir pada 1318 di Bukhara. Tarekat ini mengalami pergantian nama sesuai periode dan pemimpin tarekatnya, dan pada periode Syekh Khalid Kurdi Al-Utsmani tarekat ini dinamakan Al-Naqsyabandiyah Al-Khalidiyah.
Di Jawa sendiri, pondok yang terkenal mengajarkan tarekat ini adalah Pondok Pesantren Al-Manshur, Popongan, Klaten di tangan Kiai Muhammad Manshur. Jika ditelusur, maka rantai tarekat yang dianut oleh masyarakat sekitar Masjid Ad-Dimyathi merujuk ke Kiai Muhammad Manshur, Popongan.
Baca juga: Tarekat Sebagai Tameng Ideologi Pancasila |
Ada cerita menarik yang menjadi rahasia umum masyarakat Kedungharjo. Adalah cerita perjalanan Kiai Dimyathi dari rumah menuju masjid Popongan, Klaten dengan berjalan kaki. Pesan kepada putranya, beliau hendak salat zuhur di Masjid Popongan. Saat itu, waktu salat zuhur sudah hampir masuk. Sementara jarak antara Kedungharjo Klaten paling cepat ditempuh selama 2 jam. Apalagi hanya dengan jalan kaki. Wallahu a’lam.
Sampai sekarang, haul beliau selalu diperingati tiap tahun di Masjid Ad-Dimyathi dan makam beliau tiap bulan diziarahi setelah sebelumnya dilakukan semaan Al-Qur’an juz 1 hingga 30.
Langgar Pondok
Selain masjid, di desa Kedungharjo juga terdapat bangunan petilasan pondok pesantren tradisional peninggalan Kiai Syakur. Namun entah sejak kapan pondok pesantren ini tidak lagi beroprasional. Namun seingat penulis, 6 tahun lalu, masih tertancap kokoh papan nama pondok tersebut di pinggir jalan Mantingan-Sine berbalut cat hijau, khas NU, tertulis Raudlatus Shalihin. Dari beberapa bangunan pondok pesantren itu, hanya langgar beserta tempat wudu yang sampai sekarang masih digunakan oleh warga sekitar.
Berbeda dengan musala, langgar atau masjid lainnya, langgar ini berdiri tanpa nama dan masih tetap dengan bangunan lamanya. Tak ada pemugaran atau perbaikan pada langgar tersebut, sehingga sebilah pagar keropos dimakan rayap. Semua bangunan langgar ini menggunakan material kayu, mulai dari dinding, tiang dan atapnya. Tidak ada satu sisi pun yang dibangun dengan material bata atau beton.
Baca juga: Meratapi Langgarku yang Kian Rapuh (Sebuah Refleksi Akhir Tahun) |
Orang-orang menyebutnya: langgar pondok saja, atau dinisbatkan kepada sang imam langgar, Kiai Kawit yang memiliki nama asli Hanafi. Ada cerita unik tentang muasal panggilan beliau itu. Konon setiap ibu beliau melahirkan putra, atas kehendak Allah selalu meninggal. Hanya beliau yang hidup dan tumbuh menua. Walhasil orang-orang menyebutnya Kawit yang berasal dari Kawitan (yang tersisa).
Bagi masyarakat Kedungharjo, langgar pondok merupakan tempat yang dipilih kawula muda saat melakukan peribadatan. Terlebih ketika bulan Ramadan. Langgar ini dipenuhi kawula muda yang didominasi laki-laki, dari RT sekitar, bahkan dari luar desa Kedungharjo pun ada. Entah daya tarik apa yang membuat para kawula muda ini untuk datang, melaksanakan salat, atau hanya sekedar rokokan di teras langgar pondok ini.
Setelah penulis amati, yang membuat mereka datang adalah, karena memang sejak dulu langgar tersebut diisi oleh para santri–menjadi tradisi. Para santri tersebut tak hanya dari luar kampung, tetapi juga warga kampung sendiri. Lalu setelah para santri dari luar boyong, dan jumlahnya lebih banyak dari santri kampung, sehingga santri kampunglah yang masih nguri-nguri langgar tersebut.
Dari Komunitas Rebana menjadi Jamiyyah Salawat
Seiring berjalannya waktu, lahirlah komunitas musik religi rebana yang masyhur sampai tingkat provinsi Jawa Timur. Kejayaan tersebut berlangsung selama bertahun-tahun membawa nama desa Kedungharjo ke berbagai desa bahkan kota. Hingga pada akhirnya komunitas itu vakum seiring keluarnya personil satu persatu sebab suatu alasan yang takbisa ditolak, seperti menikah lalu berpindah tempat tinggal. Akan tetapi kevakuman itu segera diatasi.
Melantunkan pepujian dan mengiringinya dengan tabuhan seakan menjadi ruh para santri ini. Mereka tak bisa berlama-lama tanpanya. Akhirnya, dibentuklah jam’iyyah salawat bernama Jamaah Muji Nabi, kemudian orang-orang menyebutnya JAMUNA.
Baca juga: Shalawat Tasbih Hadiningrat |
Mulanya, jam’iyyah ini mengadakan majelis salawat hanya dalam lingkup desa Kedungharjo. Ternyata agenda salawatan yang diadakan dari satu masjid ke masjid lain ini menarik antusias masyarakat luar untuk turut serta mengundangnya. Akhirnya jamiyyah ini mengulang kejayaannya yang dahulu.
Sekarang majelis tersebut diadakan rutin sebulan sekali di Masjid Ad-Dimyathi dan namanya beralih kembali menjadi Raudlatus Shalihin, nama pondok dahulu. Meski sempat dihentikan sementara karena ada instruksi PSBB di semua wilayah zona merah. Di masa pandemi ini, rutinan tetap berjalan sebagai semestinya dengan mematuhi protokol kesehatan.
Salawat Tolak Wabah
Adalah untaian selawat Nabi anggitan Maulana al-Arif bilLah Sayyidi al-Syekh Khalid al-Naqsyabandi. Selawat ini penulis temukan dalam kitab Majmu’at Shalawat al-Mukhtasharat hal. 42 karya K.H. Muhammad Idris, seorang mursyid tarekat Syadziliyah Kacangan, Andong, Boyolali. Berikut redaksi selawat tersebut,
اللهم صل على سيدنا محمد و على أل سيدنا محمد بعدد كل داء و دواء. و بارك و سلم عليه و عليهم كثيرا كثيرا. و صل و سلم على جميع الأنبياء و المرسلين و أل كل و صحب كل أجمعين و الحمد لله رب العالمين
Allahumma shalli ala Sayyidina Muhammad wa ‘ala aali Sayyidina Muhammad bi’adadi kulli daa`in wa dawaa`. Wa baarik wa sallim ‘alaihi wa ‘alaihim katsiiran katsiiran. Wa shalli wa sallim ‘ala jamii’il-anbiyaa`i wal mursaliin wa `aali kullin wa shahbi kullin ajma’iin.
Kemudian keterangan di bawahnya tertulis dalam bahasa arab yang artinya: salawat ini merupakan anggitan Maulana al-Arif bilLah Sayyidi al-Syekh Khalid al-Naqsyabandi, seorang pembaharu Tarekat Naqsyabandiyah, yang dimakamkan di Syam, semoga Allah meridainya. Para ulama menuturkan bahwa salawat ini merupakan penangkal yang ampuh untuk tolak wabah, dan syekh Khalid memerintahkan untuk membacanya tiga kali tiap selepas salat lima waktu di masa wabah.
Ya. Semenjak pandemi, Kiai Zaini mengajak jamaah langgar untuk membaca salawat di atas sebagai upaya menyelamatkan diri dari wabah. Sama dengan M. Endy Saputro ketika mengulas salawat Thibbil Qulub, kosa kata yang dipakai dalam redaksi salawat tersebut menunjukkan adanya kata-kata penyakit dan obat. Juga disebut kata Nabi Muhammad Saw, keluarga, para nabi-rasul dan sahabat. Sebuah pola yang disebut tawasul: memohon kepada Allah dengan perantara kekasih-Nya (Rahayu Nir Sambikala, 2020).
Bagi masyarakat santri, apalagi penganut tarekat, tawasul adalah cara ampuh yang dilakukan ketika meminta sesuatu kepada Allah. Lazimnya mereka bertawasul kepada syekh-syekh tarekat seperti syekh Abdul Qadir al-Jilani, Syekh Baha’uddin al-Naqsyabandi, Syekh Abil Hasan al-Syazili dan lain sebagainya. Tidak lupa disebut Nabi Muhammad Saw sebagai perantara utama. Semoga kita selalu diberi keselamatan dan penjagaan oleh Allah SWT. Amin..
Editor: Andika Setiawan
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂
Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
0 Comments