Kajian Living Qur’an telah berhasil memberi nuansa baru dalam kajian Al-Qur’an di Indonesia, yang semula hanya berkutat pada kajian teks. Namun, kajian awal mula kemunculan dan pembentukan Living Qur’an masih terbilang luput dari pengamatan pengkajinya. Karena itu, artikel ini akan membahas secara ringkas sejarah kemunculan kajian Living Qur’an di Indonesia, dengan tujuan agar pengkaji Living Qur’an mengetahui konteks sosial-historis terciptanya kajian Living Qur’an.
Dalam tulisannya, Hamam Faizin menyebut Ahmad Rafiq, Muhammad Mansur, dan namanya sebagai sarjana yang pertama kali memunculkan gagasan Living Qur’an, gagasan ini muncul dalam acara kongres Forum Komunikasi Mahasiswa Tafsir Hadis se-Indonesia (FKMTHI) yang bertemakan Living Qur’an: Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari tahun 2005.
Hamam Faizin menindak lanjuti gagasan tersebut, dengan menulis sebuah artikel yang berjudul Living Qur’an: Sebuah Tawaran, terbit pada 10 Januari 2005 di kolom Kajian Utan Kayu Harian Jawa Pos. Hanya berkisar seminggu, 16 Januari 2005, artikel tersebut mendapat respon dari sarjana Al-Qur’an lain, Islah Gusmian hadir dengan judul artikelnya Al-Qur’an dalam Pergumulan Muslim Indonesia yang juga dimuat di kolom yang sama. Namun, dalam penelusuran penulis, tulisan Islah Gusmian tersebut telah terbit pada tahun 2004 dalam Tashwirul Afkar.
Boleh jadi kemunculan tulisan Islah Gusmian setelah gagasan Living Qur’an oleh Hamam, dimunculkan (kembali) karena bahasan subtansinya serupa dengan gagasan Living Qur’an. Artinya dapat dipahami bahwa tulisan Islah ini tidak terekam dalam jejak awal kemunculan wacana Living Qur’an oleh Hamam. Hal ini berbeda dengan Ahmad Rafiq, ia disebut penggagas Living Qur’an oleh Hamam pada tahun 2005, dan telah memunculkan diskusi living Al-Qur’an, Pembacaan yang Atomistik terhadap al-Qur’an: antara Penyimpangan dan Fungsi, pada tahun 2004 –sezaman dengan tulisan Islah Gusmian.
Meskpiun istilah Living Qur’an dalam dua karya tahun 2004 di atas belum disebutkan (diverbalkan), akan tetapi baik Ahmad Rafiq maupun Islah Gusmian telah menampilkan diskusi Living Qur’an secara subtansial. Ahmad Rafiq, dalam diskusi Pembacaan atomistik-nya, mengatakan bahwa ada aspek lain dari interaksi umat Islam dengan Al-Qur’an yang meski kurang atau tidak memahami kandungannya, tetapi kerap kali ditemui umat Islam lebih efektif berinteraksi secara atomistik terhadap Al-Qur’an dalam beberapa keadaan. Menurut Ahmad Rafiq, pembacaan model ini perlu mendapat perhatian lebih jauh.
Senada dengan Ahmad Rafiq, Islah Gusmian menyatakan bahwa selain kajian exegesis, umat Islam telah menempatkan Al-Qur’an di luar dari fungsi utamanya: fungsi-fungsi fundamental dan teologis. Lebih jauh, aspek antropologi, budaya, dan magis menjadi faktor penting terjadinya fenomena baru tersebut. Sampai di sini, Ahmad Rafiq dan Islah Gusmian mencoba membuka kajian Al-Qur’an di luar kajian teks. Dari sinilah kemudian awal mula munculnya kajian Living Qur’an.
Tulisan Hamam Faizin di atas, yang dipublish pada tahun 2005, penulis temukan kembali di blogs Abid-Is-Me, Kata adalah Peristiwa (2008) dengan judul yang sama. Hamam Faizin sendiri menyatakan bahwa artikel tersebut kemudian dibahas lagi pada International Seminar and Qur’anic Conference II 2012 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 24 Februari 2012. Hamam Faizin secara terang telah menggunakan istilah Living Qur’an, Hamam Faizin mengatakan bahwa “Jadi, yang dibidik dalam kajian Living Qur’an adalah fenomena di mana Al-Qur’an ‘hidup’ dalam masyarakat”.
Penjelasan Hamam ini memperjelas dan menguatkan pemaparan Ahmad Rafiq dan Islah Gusmian sebelumnya. Selanjutnya, tahun 2006, pihak jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran UIN Sunan Kalijaga mengadakan workshop Metodologi Living Qur’an dan Hadis; Buku Metodologi Living al-Qur’an dan Hadis (2007) lahir dari kegiatan workshop tersebut. Dalam buku ini, muncul Muhammad Mansur, yang juga salah satu penggagas Living Qur’an, dengan tulisannya yang berjudul “Living Qur’an dalam Lintas Sejarah Studi Qur’an”. Di tangan Muhammad Mansur-lah agaknya definisi Living Qur’an pertama kali muncul, ia mengatakan:
“Living Qur’an yang sebenarnya bermula dari fenomena Qur’an in Everyday Life, yakni makna dan fungsi Al-Qur’an yang riil dipahami dan dialami masyarakat muslim,…”
Sampai di sini keadaan di atas memunculkan satu persoalan, yakni apakah kemunculan definisi Muhammad Mansur di atas merupakan upaya memberi ‘warna’ Living Qur’an versi dia? Atau sedang memverbalkan (baca: membakukan) Living Qur’an yang oleh Ahmad Rafiq, Hamam Faizin, dan Islah Gusmian, masih bersifat subtansial?
Untuk menyelesaikan persoalan tersebut dapat dilihat subtansi atas definisi Muhammad Mansur yang masih sejalan dengan pandangan awal Living Qur’an versi penggagas lainnya: Hamam Faizin, Ahmad Rafiq (juga Islah Gusmian). Sebab definisi Muhammad Mansur masih berkisar fakta awal, yakni ada fenomena al-Qur’an dalam kehidupan manusia.
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂
Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
0 Comments