Istilah Tafsir Maqashidi merupakan istilah yang relatif baru, –untuk tidak menyebut baru sama sekali–, mengingat sebelumnya sudah ada istilah, maqâshid al-syari’ah (the aims of the Islamic law) yang merupakan salah satu tema dalam kajian Ushul Fiqh.
Akan tetapi, kemudian dalam diskursus kajian Islam kontemporer dewasa ini, teori Maqashid al-Syariah menjadi satu disiplin ilmu tersendiri (`ilm mustaqill) terpisah dari Ushul Fiqh, sebagaimana dinyatakan oleh Jasser Audah Maqashid al-Syari’ah as Philosophy of Islamic Law A System Approach (London: The International of Islamic Thaought 2008).
Bahkan juga sering dijadikan pisau bedah dalam menganalisis isu-isu aktual-kontemporer. Salah satunya oleh Prof. KH. Drs. Yudian Wahyudi, MA. PhD, rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam bukunya Maqashid al-Syari`ah dalam Pergumulan Politik: Berfilsafat Hukum dari Harfard ke Sunan Kalijaga (Yogyakarta: Pesantren Nawesea, 2007.
Dalam hal ini, saya mencoba mengembangkan teori maqashid dalam diskursus kajian tafsir, sehingga penulis menggunakan istilah Tafsir Maqashidi. Hal ini berangkat dari satu asumsi bahwa maqashid syari’ah sebagai sebuah teori, merupakan konstruksi pemikiran manusia (human construction) yang tentu dapat dikembangkan, bukan hanya dari sisi ontologis, tetapi juga dari sisi epistemologis, yang dapat dipakai sebagai basis epistemik pengembangan moderasi Islam.
Sisi lain, teori maqashid sebenarnya juga bisa dikembangkan, bukan hanya untuk menafsirkan ayat-ayat hukum, –sebagaimana diperkenalkan para ulama–, tetapi juga untuk menafsirkan ayat-ayat kisah, amtsâl dan teologis. Asumsinya bahwa al-Qur’an sebagai sebuah aksi komunikasi (communication act) Tuhan, tentu berada dalam sebuah konteks dan mengandung maksud tertentu.
Tafsir Maqashidi penting sebagai alternasi dalam meretas kebuntuan epistemologi penafsiran al-Qur’an yang terlalu tekstual di satu sisi dan liberal di sisi lain. Tidak berlebihan jika Syeikh Thahir Ibn `Asyûr, salah seorang pakar maqashid menegaskan –sebagaimana dikutip Dr. Abdurrahman al-Kailani—dalam Qawaid al-Maqashid inda al-Syathibi bahwa mengabaikan aspek maqâshid menjadi penyebab stagnasi, bukan saja pada pemikiran para ahli fikih, tetapi juga di kalangan para mufassir dan umat Islam.
Pernyataan tersebut, hemat penulis tidak berlebihan, sebab Tafsir Maqashidi dapat didudukkan sebagai ‘falsafah tafsîr (as philosophy) dalam mendinamiskan penafsiran al-Qur’an. Karena proses penafsiran yang mengabaikan dimensi ‘maqâshid’ (tujuan, sesuatu yang dimaksud teks), tetapi kadang tak terkatakan oleh teks (al-maskût `anh) sama dengan memperlakukan teks al-Qur’an sebagai teks yang mati, tanpa ruh (spirit). Sebab teks selalu terbentuk dalam ruang-ruang sosial dan diskursus-wacana (khithâb) yang kompleks.
Tugas penafsir bukan hanya mampu manggali makna harfiyah teks, tetapi mampu menangkap ‘maksud’ yang melampaui apa yang dikatakan teks (al-mathûq bih). Maka dengan menggali dimensi maqashid, penafsiran al-Qur’an akan menjadi lebih hidup, produktif dan dinamis, sehingga tidak terkungkung dalam bingkai tekstualisme.
Jargon al-Qur’an sebagai kitab yang shalih likulli zaman wa makan (cocok untuk setiap waktu dan tempat), menuntut kreativitas penafsir untuk melakukan pembaharuan pemahaman agama dalam menghadapi tantangan perubahan, melalui proses ijtihad kreatif. Sebab menurut Abdul Karim Sorous, sikap mengabaikan kriteria rasional dan kebutuhan terhadap keselarasan antara pemahaman keagamaan dan kesimpulan rasional merupakan pelanggaran terhadap tanggung jawab agama.
Masalahnya adalah bagaimana seorang mufassir dapat menjaga sikap moderasi dalam menafsirkan teks? antara yang terlalu kaku dalam memahami bingkai teks, hingga nyaris menjadi ‘penyembah teks’ (ya’bud al-nash), dan terlalu bebas keluar dari bingkai teks, hingga yu`ath-thil al-nash (men-desakralisasi) teks al-Qur’an. Di sinilah Tafsir Maqashidi akan menemukan relefansinya.
Tafsir Maqashdi secara sederhana dapat diartikan sebagai model pendekatan penafsiran al-Qur’an yang memberikan penekanan (aksentuasi) terhadap dimensi maqashid al-Qur’an dan maqashid al-Syariah. Tafsir maqashidi, tidak hanya terpaku pada penjelasan makna literal teks yang eksplisit (al-manthûq bih), melainkan mencoba menelisik maksud di balik teks yang implisit, yang tak terucapkan (al-maskût `anh), apa sebenarnya maqashid (tujuan, signifikansi, ideal moral) dalam setiap perintah atau larangan Allah dalam al-Qur’an.
Jika objek penafsirannya ayat-ayat kisah, maka Tafsir Maqashidi akan menelisik lebih dalam apa sebenarnya maqâshid terdalam dari narasi kisah al-Qur’an tersebut. Misalnya, kisah Nabi Nuh a.s (Q.S. Hûd: 40 dan al-Mu`minûn: 27) yang disuruh mengangkut semua jenis hewan sepasang-sepasang ke dalam kapalnya, dapat dipahami sebagai pesan ekologi untuk merawat populasi hewan.
Demikian halnya, dengan ayat-ayat amtsâl dan majâz (Q.S al-Baqarah [2]: 187), terkait dengan relasi suami-istri yang digambarkan sebagai libâs (pakaian). Hal itu mengandung maksud untuk meneguhkan dimensi kesetaraan (al-musawah; equality) dan ketersalingan untuk sama-sama menutupi ‘aurat’ kekurangan suami-istri.
Demikian juga hubungan seksual suami-istri (Q.S. al-Nisâ’: 43 dan al-Ma`idah: 6) yang diungkap dengan term aw lâ mastum al-nisâ’….” (Artinya, atau kamu ‘menyentuh’ perempuan…), itu mengandung pesan keniscayaan untuk memperlakukan kaum perempuan dengan kelembutan. Bukankah sentuhan itu isyarat tentang sikap kelembutan? []
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Bagaimana pendapat Anda tentang artikel ini? Apakah Anda menyukainya atau sebaliknya? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom bawah ya!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
3 Comments