Dalam kehidupan di Indonesia peran dan kata “Habib atau Habaib” sudah tidak asing lagi di masyarakat. Sebutan Habib sendiri merupakan bagian dari elite keagamaan yang disematkan para pencintanya sebagai salah satu bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad saw.
Di beberapa negara, sebutan untuk para ahlulbait atau dzurriyat (keturunan) Rasulullah saw ini berbeda-beda. Di Maroko mereka lebih dikenal dengan sebutan syarif, di daerah Hijaz mereka dikenal dengan sebutan sayyid, sedangkan di Nusantara ini umumnya mereka dikenal dengan sebutan habib.
Namun, perlu diketahui sebelumnya bahwa orang Arab yang bermukim dan hadir di Nusantara dalam sejarah perkembangannya sebagian besar berasal dari Hadhramaut (Yaman) atau yang kemudian dinamakan sebagai kaum Hadhrami. Dan bukan berasal dari Arab Saudi seperti yang dibayangkan sebagian masyarakat Indonesia.
Di kalangan penduduk Hadhrami di Indonesia sendiri, istilah “Hadhrami” memang masih jarang digunakan. Hanya anggota terkemuka dan berpendidikan tinggi yang menggunakannya dalam konteks tertentu.
Para kaum Hadhrami sendiri yang disebut dengan sayyid atau habib dalam struktur masyarakat merupakan kelas tertinggi yang mendaku sebagai keturunan Nabi Muhammad saw melalui cucunya, Husein. Mereka biasanya juga disebut sebagai Ba-‘Alawi atau Alawi, sebutan yang diambil dari Alawi, cucu leluhur klan mereka, Ahmad bin Isa, yang lebih dari 1.000 tahun yang lalu pindah ke Hadhramaut dari Basrah ke Irak (Jonge, 2019).
Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia yang panjang, peran para Habaib ini tidak dapat dipandang sebelah mata. Bahkan jauh sebelum Indonesia berdiri sebagai sebuah bangsa yang modern, sekitar abad 9 H, para Habaib ini mulai hijrah dari tanah asalnya Hadhramaut dan menyebar ke seluruh belahan dunia hingga sampai ke Nusantara ini.
Adapun para pendatang Hadhrami yang meninggalkan jazirah Arab Selatan memiliki beberapa motivasi sebagaimana dikatakan oleh Zeffry Alkatiri adalah mencari kehidupan lebih baik, menyingkir karena adanya pertikaian, peperangan,misi dakwah menyebarkan agama Islam serta berdagang dan alasan lainnya (Jonge, 2019).
Sedangkan faktor yang memfasilitasi kaum Sayyid Hadhramaut ini memilih bermukim di banyak kawasan di Nusantara. Sebagaimana yang dikatakan oleh Habib Ismail Fajrie Alatas dalam buku “Orang Arab di Nusantara” (Berg, 2010) adalah:
1) Kemampuan berpergian mereka yang dimudahkan oleh jaringan perdagangan.
2) Hubungan intelektual mereka dengan jaringan ulama yang menjadikan mereka bagian dari sebuah komunitas intelektual internasional, sehingga kadar keulamaan mereka mudah dikenali. Dalam hal ini faktor terpenting adalah keanggotaan mereka dalam mazhab Imam Syafi’i yang mendominasi kawasan Nusantara.
3) Penguasaan terhadap bahasa dan sastra Arab menjamin penghormatan para penguasa kepada mereka.
4) Karakter kosmopolitan dari lokalitas tempat mereka berimigrasi memudahkan mereka berintegrasi dengan masyarakat tanpa harus dicap sebagai golongan asing. Laut Nusantara contohnya, adalah sebuah ranah apa yang disebut sebagai “pluralisme cair”.
Namun, dari semua faktor yang memfasilitasi integrasi kaum sayyid Hadhrami serta peranannya yang tidak dapat dianggap sebelah mata di kawasan Nusantara, adalah keilmuan dan silsilah mereka. Yang secara serta merta diterima dengan tangan terbuka oleh para penguasa lokal dan masyarakat di Nusantara karena dianggap sebagai keturunan dan pewaris Nabi saw. Silsilah merupakan hal yang sangat penting bagi para penguasa Nusantara, sebagai bagian dari justifikasi kekuasaan (Berg, 2010).
Dan salah satu tokoh sayyid dari Hadharami generasi pertama yang memiliki peran penting berkat kemahirannya yang akomodatif terhadap tradisi lokal dalam proses penyebaran Islam di masa transisi dari kerajaan Majapahit yang Hindu-Buddha ke Kerajaan Pajang dan Mataram Islam, adalah Al-Imam Jamaluddin Husain al-Akbar atau yang lebih dikenal dengan nama “Syekh Jumadil Kubro” (leluhur para Walisongo). Orang pertama dari keluarga Adzamatkhan (salah satu marga Hadhrami) yang datang dan menetap di Indonesia.
Beliau merupakan putra dari Ahmad Jalal Syah (lahir dan wafat di India) bin Abdullah Khan bin Abdul Malik (wafat di India) bin Alwi (wafat di Tarim, Hadhramaut) bin Muhammad (Shahib Marbath) dan sampai pada Imam al-Muhajir.
Jamaluddin yang lahir pada pertengahan abad ke-13 dan datang ke Nusantara dengan membawa tiga orang putranya, yaitu: 1) Ibrahim Zainuddin al-Akbar alias Ibrahim Asmoro yang wafat di Tuban, yang menurunkan Maulana Ishaq (ayah Sunan Giri), Sunan Bonang, dan Sunan Kudus. 2) Ali Nur Alam yang menurunkan Sunan Gunung Djati. 3) Zainal Alam Barakat yang menurunkan Maulana Malik Ibrahim Gresik (Al-Haddad, 2017).
Para keturunan Syekh Jumadil Kubro dan Walisongo inilah yang kemudian menyebar ke berbagai daerah di Pulau Jawa untuk mendakwahkan Islam. Dan diketahui selalu memerankan diri seperti pribumi di tempat mana pun. Misalnya, yang tinggal di Tanah Jawa berasimilasi dengan penduduk lokal sehingga kemudian tidak bisa dibedakan lagi dengan suku “Jawa asli”. Maka tidak heran jika pendekatan para Walisongo ketika berdakwah menggunakan pendekatan-pendekatan lokal seperti dengan wayang dan gamelan.
Keistimewaan yang dimiliki para sayyid dari Hadhrami yang berbasis pada keilmuan dan silsilah yang prestisius karena menyambung kepada Nabi saw. Memungkinkan para sayyid untuk mendekati para penguasa dengan jalinan kekerabatan melalui proses perkawinan.
Sebagaimana dikisahkan oleh Musa Kazhim, bahwa pada tahun 1700-1824, empat ulama sayyid berdiaspora ke Nusantara setelah menamatkan pendidikan agama mereka di Hadhramaut. Empat ulama ini kemudian berdakwah ke Nusantara dan dijadikan mantu oleh penguasa setempat.
Dua di antaranya, yakni: 1) Sayyid Utsman bin Abdurrahman bin Syihab, yang tinggal di Siak dan menikah dengan putri Raja Alam dan 2) Sayyid Husayn bin Ahmad Al-Qadri yang bermukim di Matan, Sulawesi, menikah dengan dengan putri Sultan setempat. Kedua ulama ini pun kemudian dikenal sebagai penurun sultan-sultan sayyid di kedua tempat tersebut (Kazhim, 2018).
Bahkan, putra dari Sayyid Husayn bin Ahmad, Abdurrahman, dikenal sebagai pendiri trah Al-Qadri Kesultanan Pontianak. Adapun dua orang lain para sayyid tadi, Sayyid Muhammad bin Karaisha menjadi dai di Kasultanan Trengganu dan Sayyid Aydrus bin Abdurrahman Al-Alaydrus dikenal sebagai penemu kota Kubu di Kalimantan Tengah, sementara di Aceh dikenal dengan julukan Tuan Besar Aceh (Kazhim, 2018).
Di Jawa sendiri khususnya di lingkungan Mataram pada zaman Sinuhun Amangkurat IV Kartasura dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Peran para sayyid ini juga tidak bisa dipandang sebelah mata. Bahkan lebih jauh bisa dibilang telah seperti bagian dari saudara dan keluarga besar Mataram itu sendiri.
Hal ini bisa dilihat misalnya dari salah satu kompleks makam Haji, Laweyan Surakarta yang terdapat tiga makam sayyid, terdiri dari: 1) Kanjeng Pangeran Syarif Husein bin Ibrahim Al-Haddad. 2) Kanjeng Tumenggung Syarif Hasyim bin Ibrahim Al-Haddad. 3) Kanjeng Tumenggung Syarif Alwi bin Ibrahim Al-Haddad. Ketiganya diyakini pada saat itu berperan sebagai guru spiritual dari Sinuhun Amangkurat IV Kartasura.
Sedangkan pada masa Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Siti Hidayati Amal dari Universitas Indonesia yang menelusuri kehidupan Arab-Jawa di Yogyakarta. Mencatat berdasarkan hasil penelitiannya bahwa dahulu ada seorang sayyid bernama Alwi Ba’Abud (1724-1815) yang datang ke Jawa melalui jalur perdagangan Jepara dan Demak. Datang ketika Pangeran Mangkubumi (1717-1792) atau yang kelak bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono I dinobatkan sebagai Raja Yogyakarta.
Selain kedatangannya sebagai saudagar kuda, Sayyid Alwi Ba’Abud dikenal juga sebagai ulama dan tabib. Bahkan kelak kemudian berbesan dengan sultan dan diangkat menjadi penasehat agama di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat (Amal, 2005).
Adapun jalinan kekerabatan yang dibangun oleh Kraton Yogyakarta dengan Sayyid Alwi Ba’Abud melalui proses perkawinan dimulai ketika Bendoro Raden Ayu (BRA) Samparwadi (1775-1797) salah satu putri dari Gusti Raden Mas (GRM) Sundoro (1750-1828) putra dari Sri Sultan Hamengkubuwono I, yang kemudian naik tahta di tahun 1792 dan bergelar Sri Sultan Hemengkubuwono II sedang mengalami sakit.
GRM Sundoro pun kemudian melakukan sayembara barangsiapa yang dapat menyembuhkan putrinya, apabila dia seorang laki-laki akan dijodohkan dengan putrinya. Dan barangsiapa perempuan akan diangkat menjadi saudara BRA Samparwadi.
Orang yang berhasil menyebuhkan putri dari GRM Sundoro ternyata Sayyid Alwi Ba’Abud. Namun, dikarenakan faktor usia yang pada saat itu Sayyid Alwi telah berusia 65 tahun, Sayyid Alwi merasa tidak pantas untuk menikahi seorang putri yang baru berusia 14 tahun. Maka, Samparwadi putri GRM Sundoro pun dinikahkan dengan anak laki-laki Sayyid Alwi Ba’Abud, yakni Kasan (Hasan) al-Munadi atau Kanjeng Raden Tumenggung Kasan Munadi (1764-1830) yang berusia 25 tahun (Amal, 2005).
Dari pernikahan tersebut, lahirlah empat orang anak. Dua laki-laki dan dua perempuan. Anak pertama, laki-laki oleh kakeknya Sayyid Alwi Ba’abud diberi nama Ibrahim, sedangkan oleh Sultan Sepuh diberi nama Raden Mas Haryo (RMH) Madiokusumo. Kepadanya Sultan Sepuh pun memberikan sebidang tanah yang sekarang letaknya di dalam kota Purworejo Jawa Tengah, bernama ‘Madiokusuman’.
Sejak kecil Raden Mas Haryo Ibrahim Ba’abud Madiokusumo ini pun diasuh oleh Gusti Kanjeng Ratu Ageng permaisuri Sri Sultan Hamengkubuwono I di Tegal Rejo bersama-sama dengan Pangeran Diponegoro. Keduannya pun kemudian diasuh dan dididik untuk mengenali budaya dan adat istiadat tata krama Jawa kraton dan agama Islam serta bergaul dengan rakyat (kawula alit)(Amal, 2005).
Ketika dewasa pada saat pecah Perang Jawa, RMH Ibrahim pun mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro bersama-sama melawan Belanda. Dan diberi nama Pekih (penghulu kiai haji) Ibrahim yang bertugas sebagai juru runding dengan Kolonel Cleerens untuk membicarakan suatu pertemuan dengan pihak Belanda tanggal 28 Maret 1830 di Magelang (Amal, 2005).
Bahkan hubungan para sayyid dengan kraton-kraton Jawa bagian Selatan ini tidak berhenti sampai di sini. Hal itu terlihat dari adanya kisah perjalanan seorang Habib bernama Al-Habib Hasan bin Toha bin Yahya atau Kanjeng Raden Tumenggung Sumodiningrat/Kyai Khasan/Syekh Kramat Jati, sebagaimana yang diceritakan dalam manaqibnya oleh Majelis Taklim Darul Hasyimi Yogyakarta (Hasyimi, 2018), yang mengisahkan bahwa setelah Habib Hasan bin Yahya setelah mendapatkan izin dan ijazah dari gurunya di Hadhramaut. Beliau pun kemudian melakukan dakwah di wilayah Nusantara, khususnya ke daerah Pekalongan.
Di Pekalongan beliau pun mendirikan pesantren dan masjid di Desa Keputran. Namun, karena pesantren tersebut dibumihangkuskan oleh penjajah Belanda. Habib Hasan bin Yahya pun hijrah ke Yogyakarta. Sejak sekitar tahun 1790-an beliau berjuang melawan penjajah dan mengamankan daerah sekitar perbatasan Jawa Tengah dan Yogyakarta, yang dahulu masuk ke dalam wilayah Mataram.
Oleh sebab itu, beliau pun disegani dan ditakuti oleh pihak penjajah. Mendengar ada seorang yang alim, luas ilmunya dan disegani oleh lawan-lawannya membuat kagum GRM Sundoro atau Sri Sultan Hamengkubuwono II. Kekaguman tersebut kemudian membuat Habib Hasan bin Yahya diangkat menjadi menantu oleh Sultan Hemengkubuwono II dengan Gusti Kanjeng Ratu Bendoro atau yang sering disebut Ratu Kedaton dari Garwo Padmi Hamengkubuwono II bernama Bendoro Mas Ayu Rantam Sari (Hasyimi, 2018).
Habib Hasan bin Toha bin Yahya jika ditinjau dari hubungan kekerabatan merupakan menantu ke-3 setelah menantu ke-2 Raden Ronggo Prawirodirjo III, yang merupakan ayah dari Sentot Prawirodirjo. Sehingga dalam hal ini Habib Hasan bin Yahya merupakan paman dari Pangeran Diponegoro dan ipar dari Sultan Hamengkubuwono III (ayah Pangeran Diponegoro).
Adapun tugas dari Habib Hasan bin Yahya atau Raden Tumenggung Sumodiningrat dalam Kraton Yogyakarta adalah perannya dalam utusan khusus Hemengkubuwono II bertemu dengan perwakilan dari Pakubuwono V tentang rencana perlawanan terhadap Inggris pada tahun 1810 di daerah Wedi-Klaten. Dan panglima besar dalam mempertahankan Plengkung Gading atau pintu utama Kraton Yogyakarta sisi Selatan, dari serangan Inggris (Hasyimi, 2018).
Dari beberapa penjelasan di atas terlihat bahwa sistem kekerabatan yang lazim digunakan di Nusantara pada saat itu telah membentuk suatu asimilasi para sayyid Hadharami menjalin hubungan persaudaraan melalui proses perkawinan. Dari proses perkawinan inilah yang kemudian menandakan keberhasilan para sayyid berintegrasi dengan jaringan persaudaraan lokal.
Bersama dengan komunitas Jawa dan Melayu, komunitas Hadhrami secara tidak langsung telah membentuk jalinan kultural hibrida di Nusantara. Sehingga pada akhir abad ke-18, komunitas Hadhrami di Nusantara tidak lagi mengidentifikasi diri mereka sebagai bangsa Arab. Melainkan telah berhasil menjadi bagian dari Jawa, Melayu, dan lain sebagainya. Dengan mengadopsi cara-cara lokal mereka berhasil membangun hubungan kekerabatan yang sangat kuat menjadikan mereka tidak terlihat sebagai orang asing, namun telah menjadi bagian dari Nusantara yang sangat pluralis.
Daftar Pustaka
Al-Haddad, S. A. (2017). Tasawuf Kebahagiaan. Jakarta: Penerbit Mizan.
Amal, S. H. (2005). Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa di Luar Tembok Kraton Yogyakarta. Antropologi Indonesia .
Berg, V. D. (2010). Orang Arab di Nusantara. Jakarta: Komunitas Bambu.
Hasyimi. (2018). Manaqib Habib Hasan bin Thaha Bin Yahya. Retrieved from Majelis Taklim Darul Hasyimi Yogyakarta: https://darulhasyimijogja.org/manaqib-habib-hasan-bin-thaha-bin-yahya-syaikh-kramatjati-singobarong/
Jonge, H. D. (2019). Mencari Identitas: Orang Arab Hadhrami di Indonesia (1900-1950). Jakarta : Pustaka Gramedia.
Kazhim, M. (2018). Studi Kiprah Keturunan Arab Meracik NKRI. Retrieved from Gana Islamika:
0 Comments