Berbicara tentang HAM, Prof. Musdah mengawali pembahasan dengan hal yang paling mendasar tentang HAM itu sendiri. Menurutnya, HAM merupakan suatu konsep etika politik modern dan sejatinya merupakan tuntunan moral tentang bagaimana seharusnya manusia memperlakukan sesamanya. Tuntutan moral ini sejatinya juga merupakan inti ajaran dari semua agama. Semua agama mengajarkan pentingnya penghargaan, penghormatan terhadap manusia dan kemanusiaan.
Tuntutan moral itu diperlukan untuk melindungi seseorang atau kelompok yang lemah dari kezaliman mereka yang kuat, baik karena ras, suku bangsa, warna kulit, jenis kelamin, kedudukan dan lainnya. Esensi dari konsep HAM adalah penghormatan terhadap martabat kemanusiaan seseorang tanpa kecuali dan tanpa ada diskriminasi berdasarkan apa pun dan demi alasan apa pun.
Prof. Musdah menyinggung soal Deklarasi Universal HAM (DUHAM) yang diproklamasikan oleh PBB pada tahun 1948. Naskah ini disusun berdasarkan masukan semua negara yang terdaftar di PBB, juga dari para pemimpin agama di semua negara. Setiap orang tanpa terkecuali berhak atas HAM dan kebebasan fundamental. Namun pada kenyataannya, dalam realitas sosiologis di masyarakat dijumpai begitu banyak pelanggaran.
Setelah DUHAM, kemudian diinisiasi dengan membentuk CEDAW (Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women), sebuah konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Hingga kini masih menjadi instrumen hukum yang paling komprehensif berkenaan dengan penguatan hak-hak perempuan dan merupakan dasar untuk menjamin persamaan hak perempuan dan laki-laki di negara yang meratifikasinya, termasuk Indonesia.
Prof. Musdah menjelaskan bahwa dalam CEDAW ini, dijabarkan definisi diskriminasi dan kriterianya sehingga negara-negara yang setuju diharapkan membuat segala kebijakan yang perlu untuk menghilangkan diskriminasi. Memusatkan perhatian pada penghapusan diskriminasi dalam kehidupan politik dan soal-soal umum serta masalah kewarganegaraan.
Setelah CEDAW, dilanjutkan dengan Konferensi HAM PBB di Wina, Austria. Dalam konferensi ini menjelaskan hak asasi perempuan. Ada tiga program aksi yang dideklarasikan dalam konferensi ini yaitu, pertama, hak asasi perempuan dan anak perempuan merupakan bagian yang takterpisahkan dari HAM secara menyeluruh. Kedua, partisipasi penuh dan setara bagi perempuan dalam kehidupan politik, sipil, ekonomi, sosial dan budaya pada tingkat nasioal hingga internasional.
Selanjutnya, adanya kekerasan gender dan segala bentuknya tidak sesuai dengan martabat dan harga diri manusia dan harus dihapuskan.
Dalam ICPD yaitu konferensi internasional kependudukan dan pembangunan yang dilaksanakan di Kairo tahun 1994, pembahasan mengenai perempuan menjadi fokus utama. Mulai dari hak-hak perempuan sebagai istri, pentingnya hak reproduksi perempuan, kesehatan reproduksi perempuan. Hal ini kemudian menjadi penting bahwa HAM perempuan sangat penting untuk ditindaklanjuti.
Dari konferensi-konferensi HAM yang pernah diadakan oleh organisasi-organisasi di berbagai tempat, segala pihak telah bersepakat bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama sebagai manusia. Bukan berarti seorang perempuan tidak diberikan kebebasan untuk bertindak, bersuara dan memilih apa yang mereka inginkan.
Antara laki-laki dan perempuan, keduanya memiliki hak untuk hidup, hak untuk memperoleh keadilan, hak persamaan, hak dan kewajiban dalam mematuhi hukum, hak memperoleh kebebasan dan perlindungan, hak kebebasan sipil dan hak dalam ekonomi dan hak milik. Dari banyaknya hak asasi kemanusiaan yang telah dijelaskan, semuanya menempatkan laki-laki dan perempuan dalam tataran yang sama.
Ada beberapa isu yang sangat krusial yang dibahas dalam konferensi-konferensi tersebut salah satunya yaitu isu perbudakan. Isu ini kembali mencuat setelah beberapa waktu terjadi kesalahpahaman atas salah satu disertasi yang berbicara tentang perbudakan. Terhadap isu perbudakan ini, sejumlah pakar hukum menegaskan agar membaca sejarah tentang perbudakan yang bersifat transisional, konsekuensi dari tuntutan sosio-historis masyarakat Arab pada saat itu.
Dari banyaknya isu-isu yang krusial tentang perempuan, Prof. Musdah memberikan solusi terkini terkait permasalahan tersebut. Pertama, rekonstruksi budaya melalui pendidikan dalam keluarga dengan membangun kesadaran bersama di masyarakat akan pentingnya budaya egaliter, budaya damai dan budaya toleransi. Kedua, revolusi pendidikan dengan mensosialisasikan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan sejak dalam keluarga.
Ketiga, reinterpretasi ajaran agama yang bias gender dan nilai-nilai patriarkal dengan mengubahnya menjadi interpretasi agama yang apresiatif dan akomodatif. Keempat, reformasi semua peraturan dan perundang-undangan yang tidak kondusif bagi upaya penegakan dan perlindungan HAM, seperti undang-undang perkawinan, ketenagakerjaan dan beberapa yang lain.
Inilah yang menjadi solusi yang amat solutif dari Prof. Musdah untuk menanggulangi ketimpangan atas HAM khususnya bagi perempuan yang terjadi di masyarakat saat ini.
Keterangan ini diterima oleh penulis dalam agenda sekolah kemanusiaan dan kebudayaan Buya Ahmad Syafi’i Maarif di Jakarta. Salah satu kegiatan short course yang diadakan oleh Maarif Institute sebagai upaya membumikan pesan kemanusian Buya Maarif.
2 Comments