Saat menjadi pembicara di Pondok Pesantren Darul Qolam, Tanggerang, ketua MPR, Zulkifli Hasan menyatakan bahwa populasi umat Islam akan menyusut jika aliran kepercaayan diakui oleh negara. Berikut ialah pernyataan lengkapnya sebagaimana dikutip oleh Kumparan, 21 Januari 2018:
“Indonesia (awalnya) 95 persen muslim. Sekarang sudah turun tinggal 85 persen. (Kalau) aliran kepercayaan diakui nanti, maka populasi Islam turun jadi 70 persen.”
Dalam pandangan saya, pernyataan tersebut tidak berdasar. Tidak ada hubungan antara diakuinya aliran kepercayaan dengan menyusutnya populasi umat Islam. Tetapi, Mari kita berasumsi. Kekhawatiran tersebut mungkin didasarkan pada dua hal berikut. Pertama, pengakuan negara terhadap aliran kepercayaan dapat menarik seseorang untuk pindah agama (convert), misalnya dari beragama Islam kemudian memeluk aliran kepercayaan. Kedua, dengan diakuinya aliran kepercayaan, penghayat aliran kepercayaan yang sudah beragama Islam akan kembali memeluk agama nenek moyangnya (aliran kepercayaan).
Dua asumsi tersebut dapat dipatahkan dengan dua argumentasi berikut. Pertama, kita tidak perlu khawatir bahwa seorang Muslim akan pindah agama, memeluk aliran kepercayaan. Sebab, berbeda halnya dengan Kristen dan Islam sebagai agama dakwah atau missionaris, aliran kepercayaan lokal tidak berwatak demikian. Dengan kata lain, para penghayat kepercayaan lokal tidak punya intensi untuk mendakwahi seseorang diluar komunitas mereka supaya pindah agama atau mempercayai kepercayaan mereka. Pendek kata, mereka bukanlah tipikal agama misionaris.
Dalam diskursus akademik studi agama (religious studies), aliran kepercayaan biasa disebut dengan terminologi indigenous religions (agama-agama lokal). Sebagaimana ditulis oleh James L. Cox dalam bukunya, From Primitive to Indigenous: The Academic Study of Indigenous Religions (2007), watak agama-agama lokal ialah kekeluargaan (kinship) dan lokalitas.
Penganut agama lokal sangat diikat oleh sistem hubungan keluarga yang menjadikan roh para leluhur (anchestors) sebagai pusatnya. Tradisi dan praktik keagamaan mereka juga terikat oleh tanah leluhur yang sekarang mereka tinggali. Dari sini, kita dapat memahami mengapa penghayat Sunda Wiwitan di Cigugur menolak eksekusi tanah adat oleh Pengadilan Negeri Kuningan. Sebab, bagi mereka tanah adat bukan hanya sekadar tanah, melainkan bagian dari tradisi mereka.
Berdasarkan dua karakteristik agama lokal tersebut, para penghayat aliran kepercayaan tidak tertarik untuk menambah populasi atau membujuk seseorang supaya mengikuti kepercayaan mereka. Mengutip ungkapan Cox, “seseorang tidak akan pindah agama—memeluk agama lokal—karena agama lokal didasarkan pada faktor kelahiran dan ikatan dengan tradisi leluhur” (One is never converted into such a religion, since it is achieved as a matter of birth and by connection to the ancestral traditions).
Kedua, kita tidak perlu khawatir jika penganut aliran kepercayaan yang sebelumnya beragama Islam kemudian kembali memeluk kepercayaan asalnya. Pilihan tersebut merupakan manifestasi dari hak mereka dalam beragama sebagaimana diatur konstitusi.
Lebih dari itu, mereka adalah korban “politik agama”, khususnya pada zaman Orde Baru. Sebagaimana ditulis oleh Michel Pichard dalam The Politics of Religion in Indonesia(2011), akibat hegemoni definisi agama yang mengandung bias agama Abrahamik (Islam khususnya) dan kemudian disokong oleh pemerintah, aliran kepercayaan dianggap bukan agama, bahkan lebih rendah dari agama. Singkatnya, mereka kemudian dipaksa untuk memeluk agama-agama yang diakui pemerintah.
Walhasil, banyak penganut aliran kepercayaan yang kemudian terpaksa memeluk agama resmi, termasuk Islam. Bahkan, sebelum MK mengesahkan pencantuman aliran kepercayaan pada KTP, mereka terpaksa menulis salah satu agama resmi pada kolom KTP, meskipun mereka tidak meyakininya.
Dalam konteks politik tersebut, pindah agama, dari aliran kepercayaan ke agama resmi, tidak dilakukan secara suka rela, tetapi atas dasar paksaan. Sehingga, paska disahkannya keputusan MK tentang penulisan aliran kepercayaan pada KTP, wajar saja jika mungkin ada penghayat aliran kepercayaan lokal yang beragama Islam—baik secara KTP ataupun tidak—kembali memeluk aliran kepercayaan nenek moyang mereka.
Memaksa penganut aliran kepercayaan supaya beragama Islam justru bertentangan dengan prinsip iman itu sendiri. Bukankah keimanan dalam Islam mensyaratkan adanya kemantapan hati dan sikap tunduk-patuh? Sebaliknya, keimanan yang didasarkan atas keterpaksaan justru merupakan bentuk kemunafikan yang dikecam keras oleh Islam.
Pengakuan negara terhadap aliran kepercayaan justru sejalan dengan prinsip-prinsip universal Islam tentang kebebasan beragama. Al-Qur’an berulang kali mengafirmasi prinsip ini. Misalnya, “tidak ada paksaan dalam agama (QS. al-Baqarah: 256)”; “maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir (QS. al-Kahfi: 29)”; “bagimu agamamu dan bagiku agamaku” (QS. al-Kafirun: 6).
Selanjutnya, Zulkifli juga menyatakan bahwa “dorongan pengakuan kepada pengahayat kepercayaan berasal dari golongan liberal dan sekuler” (Kumparan, 21 Januari 2018). Pernyataan ini juga tidak berdasar. Memang, stigma liberal dan sekuler kerap dituduhkan pada kelompok-kelompok yang dipandang menggugat ortodoski Islam yang telah mapan, tanpa mau memahami dinamika dan kompleksitas persoalannya.
Namun, tahukah bahwa dalam diskursus akademik studi agama, eksklusi terhadap aliran kepercayaan lokal sebagai bukan agama, justru digagas oleh sarjana-sarjana Barat yang liberal-sekuler? Sebut saja, misalnya Edward B. Taylor dan J.G. Frazer yang menganggap bahwa agama semata-mata merupakan produk manusia.
Sementara Taylor dalam bukunya, Primitive Culture (1871), berpendapat bahwa praktik keagamaan orang-orang lokal (indigeneous) sebagai animisme, Frazer dalam bukunya, The Golden Bough (1922), menganggap praktik tersebut sebagai sihir (magic). Alih-alih menganggapnya sebagai agama, keduanya menganggap praktik keagamaan orang lokal sebagai bentuk keterbelakangan, primitif, yang menjadi asal-usul munculnya agama.
Ide-ide Taylor dan Frazer sangat berpengaruh bagi sarjana-sarjana studi agama berikutnya dalam mendefinisikan agama. Baru setelah munculnya karya klasik Wilfred C. Smith, The Meaning and End of Religion (1962), para sarjana studi agama mulai mengkritisi definisi agama yang dipandang mengandung bias agama Abrahamik dan Eurosentrisme Barat, yakni harus mempunyai Tuhan, Nabi, Kitab Suci, dan konggregasi. Kepercayaan-kepercayaan lokal pun kemudian diinklusi sebagai agama, sejajar dengan agama-agama besar dunia.
Dalam pandangan saya, daripada memusingkan apakah populasi umat Islam akan menyusut paska diakuinya aliran kepercayaan, lebih baik memikirkan bagaimana meningkatkan kualitas umat Islam sehingga dapat berkontribusi bagi peradaban umat manusia. Jangan sampai umat Islam menjadi umat sebagaimana yang diramalkan Rasulullah: “Pada saat itu jumlah kalian tidak sedikit, bahkan akan banyak, tapi kalian tak ubahnya bagai buih di genangan air (HR. Abu Dawud).” Bagi umat Islam, hadis ini seharusnya dijadikan sebagai autoritik untuk selalu meningkatkan kualitas daripada kuantitas.
One Comment