Diskursus Dua Genre Politik Islam: Antara Fiqh dan Filsafat

Esensi dua genre ini adalah menerapkan politik Islam di atas dasar etika dan nilai-nilai moral yang adiluhung6 min


2
2 points
Gambar: Maydan

Harus diakui bersama bahwa Islam merupakan agama yang mempunyai keterkaitan yang begitu erat dengan politik. Hal ini ditandai dengan periode dakwah kedua baginda Nabi Muhammad SAW di kota Yatsrib (Madinah). Saat itu Islam berkembang dengan begitu luas dan cepat, sehingga dapat dikatakan berkembangnya Islam dari sekedar agama menjadi sebuah “negara”. Pada periode ini pula Nabi Muhammad SAW, yang tadinya hanya berperan sebagai Rasul Allah, kemudian mempunyai peran lain yakni sebagai seorang politisi dan negarawan, dilihat dari cara beliau memimpin dan mengatur segala aspek kehidupan kala itu.

Pasca wafatnya baginda Nabi Muhammad SAW, bukan berarti Islam terlepas dari belenggu politik, melainkan Islam semakin eksis lagi dalam perihal tersebut. Fakta ini menjadi benar ketika persoalan yang dihadapi umat pasca wafatnya Nabi adalah tentang siapa yang menjadi pengganti beliau untuk memimpin umat. Dari sinilah dimulainya dinamika politik Islam yang mulai membumi dan menghasilkan fenomena sejarah Islam juga diskursus yang apabila ditelaah ada sisi baik dan buruknya. Salah satu hal yang buruk adalah tidak pernah terjadi dalam Islam sebuah pedang terhunus karena masalah “akidah”, melainkan terjadi dalam masalah politik (Asy-Syahrastānī, al-Milal wa an-Nihal: 24).

Sisi baiknya adalah para tokoh-tokoh, ilmuan Islam dan juga para ulama yang tidak ingin hal tersebut terulang, mulai mengembangkan berbagai teori-teori politik berbasis Islam (politik Islam), sebagai langkah untuk meminimalisir fenomena kelam yang terjadi pada masa lampau. Namun tentunya, ada saja perbedaan dalam memandang sistem politik Islam tersebut, hal ini merupakan tanda bahwa kajian tentang diskursus politik Islam masih membutuhkan dan selalu terbuka untuk dikaji serta ditelaah lebih jauh lagi, ditambah perkembangan zaman yang menuntut pemikiran manusia dan sistem yang dibuatnya pun ikut berevolusi secara terus menerus.

Politik dalam istilah bahasa Arab disebut dengan “as-Siyāsah”. Dalam arti yang lebih luas kata ini berarti “pengaturan masyarakat dan kota” (Ibn Manzūr, Lisān al-Arab: 108). “Siyāsah” juga dapat berarti seni mengatur, mengelolah dan memerintah masyarakat dalam suatu kota maupun negara dalam rangka untuk menciptakan prinsip dan tujuan mensejahterakan mereka secara fisik, moral, dan spiritual (Fauzi M. Najjar, Siyasa in Islamic Political Philoshophy: 92).

Penulis menilai bahwa, hadirnya politik bukanlah semata-mata untuk membawa masyarakat ke ranah kehancuran, melainkan langkah untuk menata kembali sistem kehidupan duniawi dibarengi dengan tujuan akhirat yang bersatu padu dalam satu “frame” tata kehidupan suatu masyarakat yang maju. Penjauhan diri terhadap politik adalah cara yang keliru, karena baiknya politik itu tergantung pada manusia itu sendiri dalam mengelolahnya, asalkan paham dan tahu betul tujuan dan esensinya.

Maka dari itu sangat diperlukan langkah konkret dalam menata sistem politik Islam dengan memahami konsepsi apa yang dipakai dalam suatu negara dalam mengembangkannya. Dalam buku yang sama, Siyasa in Islamic Political Philosophy: 93, Fauzi M. Najjar membagi dua genre atau model “siyāsah” atau politik Islam. Pertama, “siyāsah” yang diartikan sebagai cabang fiqh, yang prinsip-prinsipnya normatif serta organisasinya diturunkan dari hukum Islam (syarī’ah). Kedua, “siyāsah” diartikan dalam hubungannya dengan filsafat politik.

Pada genre pertama, kajian politiknya adalah mengidealkan sistem “as-siyāsah asy-syar’īyyah”, atau dapat diakatakan secara umum dengan sistem yang merujuk dan didasarkan atas syariah (Abd ar-Rahmān Tāj, as-Siyāsah asy-Syar’īyyah wa al-Fiqh al-Islāmi: 10). Segala bentuk hukum dan aturan dalam mengelola kepentingan suatu negara dan urusan umat yang didasarkan pada prinsip-prinsip syariah dengan tujuan kemaslahatan umat.

Dalam pengertian ini, kita akan mendapat melihat kesimpulan bahwa, segala sesuatu dalam setiap aspeknya dalam kehidupan bernegara haruslah sesuai dengan pondasi hukum Islam yakni Al-Qur’ān dan Hadīts. Sistem politik seperti ini seringkali diusung oleh pada ulama fiqh (fuqahā) dan teolog (mutakallimūn) dengan pendirian bahwa ketika berpedoman pada aturan kenabian akan mampu menjamin ketertiban dan kemaslahatan dan menjadi sumber kebaikan (Fauzi M. Najjar, Siyasa in Islamic political Philosophy: 95-96)

Ada pandangan tentang distingsi konsep ini dari Abd al-Wahhāb Khallāf, dalam bukunya “as-Siyāsah as-Syar’īyah wa Nizām ad-Dawlah al-Islāmiyyah fi asy-Syu’ūn ad-Dustūriyyah wa al-Kharijiyyah wa al-Māliyyah”. Beliau mengatakan bahwa, ketika “as-Syiāsah as-Syar’īyyah” adalah sistem yang selalu merujuk pada hukum Islam untuk menciptakan kemaslahatan umum dan menghindari kerusakan (mafsadah). Ada pula, “as-Syiāsah al-Wad’iyyah” yaitu segala sesuatu bentuk peraturan dan perundang-undagan yang disusun oleh manusia dalam mengatur persoalan umat berdasarkan pengalaman sejarah, adat-kebiasaan (‘urf), pandangan para ahli, dan sebagainya tanpa ada hubungannya dengan ajaran Islam (Al-Qur’ān dan Hadīts).

Kedua konsep di atas, penulis memandang bahwa perbedaannya terletak pada sumbernya semata, namun pada tujuannya keduanya mempunyai output yang sama yakni untuk kemaslahatan manusia.

Konsep “asy-Siyāsah al-Wad’iyyah” ini cocok untuk setiap umat Islam selama tidak melanggar atau bertentangan dengan prinsip ajaran Islam yang tertera dalam makna Al-Qur’ān dan Hadīts, walaupun tidak merujuk secara tekstual pada keduanya. Karena jika dilihat secara seksama, ketika konsep awal dengan merujuk pada hukum Islam (Al-Qur’ān dan Hadīs) dengan mengatakan bahwa sistem politik yang baik harus selaras dengan “syar’īah” (as-Syiāsah as-Syar’īyyah), tentu sama halnya dengan tujuan konsep kedua dengan tujuan membawa manusia mendekatkan pada kebenaran dan menjauhkan mereka dari kerusakan, ini juga merupakan esensi dari syariah itu sendiri. Hal pentingnya adalah penerapan etika dan nilai moral sebagai dasar dari dua konsepsi politik ini.

Penulis juga beranggapan dalam penerapannya pada suatu negara bahwa, konsep pertama tentang “as-Syiāsah as-Syar’īyyah” diterapkan pada negara yang memang secara notebenenya atau 100% beragama Islam, dan untuk konsep kedua “asy-Siyāsah al-Wad’iyyah”  adalah konsep yang dapat diterapkan pada negara yang di dalamnya terdapat berbagai macam agama dan mempunyai tradisi, sejarah dan adat yang begitu kuat.

Namun, dalam penerapannya tersebut haruslah dengan persetujuan bersama tanpa mementingkan masyoritas dan minoritas, dilakukan secara objektif, dikarenakan kedua konsep tersebut mempunyai tujuan yang sama yakni untuk kemaslahatan umat, membawa umat ke arah yang lebih baik, bukan menghancurkan dan membawa umat ke jalan yang buruk.

Pada genre kedua, tentang “siyāsah” yang diartikan dalam hubungannya dengan filsafat politik. Hans Daiber, seorang orientalis asal Jerman menyebutkan bahwa benih-benih pemikiran filsafat politk Islam telah muncul sejak abad ke-2 H/8 M. Hal ini diperkuat oleh karya yang dibuat oleh al-Muqaffa’ yang menintrodusir dan membincang pertumbuhan pemikiran filsafat politik Islam, dalam cara pandangan rasional-kritis terhadap politik di tengah dominasi dan cara pandang normatif-teologis dari para “fuqahā” dan “mutakallimūn” seperti yang telah disebutkan di atas (al-Muqaffa’, “Kalīlah wa Dimnah”).

Pertumbuhan tersebut dibagi olehnya menjadi dua hal. Pertama, perbincangan tentang “imamah” dan fungsinya dalam kehidupan sehari-hari dari sudut pandang normatif-teologis. Perbincangan ini sering terjadi di kalangan Muslim Syī’ah, Khawārij dan Mu’tazilah sejak abad ke-2 H/8 M dan kalangan Asy’ariyyah sejak abad ke-4/ 10 M. Kedua, penerjemahan karya-karya filsafat Yunani di bidang etika dan politik ke dalam bahasa Arab, khususnya Plato dan Aristoteles. Dari karya inilah kemudian diramu dalam bentuk pembahasan etika filosofis Islam yang kemudian menjadi dasar dari filsafat politik Islam (al-Muqaffa’, Kalīlah wa Dimnah: 842-843).

Problem yang dibahas secara dalam oleh filsof Muslim tentang filsafat politik Islam ini, tidak jauh dari problem tentang kepemimpinan, legitimasi kekuasaan, bentuk pemerintahan yang ideal, tujuan politik, hingga persoalan politik sebagai etika. Perbedaan mereka hanya terletas pada cara pandangan dan pendekatan yang digunakan. Ketika para “fuqahā” dan “mutakallimūn” lebih mengedepankan cara pandang normatif-teologis dan melandaskan politik dengan dasar syariah, para filsof menggunakan cara pandang rasional-kritis dan mengambil inspirasi dari luar Islam dalam pembahasan mereka tentang politik Islam.

Filsof Muslim yang pertama kali menulis di bidang filsafat politik Islam adalah Abū Yūsuf Ya’qūb ibn Ishaq al-Kindī. Namun, disayangkan bahwa karya-karya pentingnya tersebut sudah tidak ditemukan lagi. Para sarjana modern mengetahui keberadaan karyanya dari catatan Ibn an-Nadīm tentang sejumlah karya al-Kindi di bidang politik, diantaranya sebuah risalah tentang politik Islam (as-Siyāsah) dan pengaturan masyarakat (as-Siyāsah al-ammah), ditambah dengan tulisan dalam bentuk tema-tema etika umum dalam berbagai tulisan pendeknya (Ibn an-Nadim, al-Fihrst fi Akhbār al-Ulamā al-Musannifīn min al-Qudamā’ wa al-Muhaddisīn wa Asmā’ Kutubihim: 319, 8-12).

Hans Daiber menyebutkan bahwa, filsafat politik dari al-Kindi adalah sebuah jalan menggabungkan ciri-ciri Platonik-Aristotelian dengan kecenderungan Neoplatonik. Ia juga menempatkan filsafat politik di wilayah etika, dan mempromosikan etika sebagai ciri utama dari politik khususnya filsafat politik. Di tangan al-Kindī, filsafat politik menunjukan perbuatan manusia yang benar dan adil dalam hubungannya dengan sesama warga negara, sebagai sarana meraih tujuan spiritual. (Hans Daiber, Political Philoshophy: 844)

Konsepsi dari al-Kindī ini, kemudian lahir dan berkembang filsof Muslim lain dengan karya-karya penting di bidang filsafat politik Islam di antaranya, Qudāmah ibn Ja’far (873-948), Abū Nasr al-Fārābi (873-950), Ibn Sīnā (980-1037), Ikhwān as-Sāfā (kelompok persaudaraan suci), Rāqib al-Isfahānī (w. 1180), Ibn Bājjah, Ibn Rusyd (1126-1198), dan Ibn Khaldūn (1332-1406). Mereka mengenalkan dalam dunia Islam tentang ajaran-ajaran baru di bidang politik yang tidak merefleksikan kondisi hukum dan masyarakat mereka, tetapi juga mengembangkan pemikiran sistem politik ideal yang mampu menjamin kualitas manusia ke arah yang lebih baik dengan tetap mengedepankan etika sebagai ciri utama dalam filsafat politik Islam.

Pada dua genre yang telah dijelaskan di atas, dapat dilihat bahwa karakter etis dan nilai-nilai moral tampak pada keduanya. Genre pertama “asy-Siyāsah as-Syar’īyyah”, yang digagas para “fuqahā” dan “mutakallimūn”, menunjukan bahwa nilai-nilai kemaslahatan atau syariah adalah tujuan yang paling penting dalam terlaksananya jalan politik Islam yang benar walaupun pada pembagiannya yakni “asy-Siyāsah al-Wad’iyyah” tidak secara jelas merujuk pada hukum Islam, namun tujuannya tetaplah untuk kemajuan hidup manusia serta kemaslahatan umum atau masyarakat.

Sedangkan pada genre kedua, yang dilakoni oleh para filsof Muslim, mengatakan bahwa politik diperlukan untuk mencapai kebahagian manusia dalam kehidupannya di dunia yang merupakan pra-syarat kebahagiaan di akhirat, juga menetapkan norma-norma etis sebagai dasar bagi penyelenggaraan politik, seperti keadilan, kesederhanaan, kebijaksanaan, dan lainnya. Sehingga, para filsof menganggap politik sangat dekat dengan etika dan bahkan dibangun di atasnya.

Dalam dua genre ini juga dapat dilihat bagaimana khazanah keilmuan Islam ini berkembang dengan berbagai metode, pendekatan serta caranya masing-masing, tentunya dengan esensi pentingnya adalah menerapkan politik Islam yang harus ditegakkan di atas dasar etika dan nilai-nilai moral yang adiluhung, atau nilai-nilai kemaslahatan dan kemajuan umat atau masyarakat dalam suatu negara, baik yang secara jelas merujuk pada hukum Islam yaitu Al-Qur’ān dan Hadīts, maupun pada sumber lain di luar hukum Islam.

Wallāhu a’lām Bissawāb

_ _ _ _ _ _ _ _ _
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂

Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!

Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!

 


Like it? Share with your friends!

2
2 points

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
1
Cakep
Kesal Kesal
1
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
1
Tidak Suka
Suka Suka
2
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
0
Wooow
Keren Keren
1
Keren
Terkejut Terkejut
1
Terkejut
M. Sakti Garwan
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga

2 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals