Sore itu, langit temaram. Matahari berjalan perlahan menuju senja. Seperti biasa aku menutup hari dengan kegiatan-kegiatan yang menyenangkan hati. Memancing ikan adalah satu di antara sekian hobiku.
Dengan sepeda motor langkah kuayun ke anak sungai yang ada di Stadion UNRI. Di sana memang menjadi salah satu destinasi masyarakat Pekanbaru, khususnya Panam, untuk menghabiskan hari. Mereka nongkrong berjamaah di kedai-kedai pedagang kaki lima pinggir jalan, minum jus, makan jagung bakar atau makan “karupuak laweh”.
Ramai, amat ramai sangat. Didominasi oleh anak muda, mayoritas sepertinya mahasiswa. Orang tua pun tak mau ketinggalan, bersama pasangan, mereka membawa anak-anak ke sana, main sepeda-sepedaan dan aneka permainan lainnya.
Aku memilih anak sungai bagian paling belakang. Sebab, di sanalah ‘titik sunyi’, tak ramai orang, kalaupun ada paling hanya satu dua. Kadang-kadang ada juga sepasang muda-mudi yang diam-diam mojok memadu kasih, begitu kata orang-orang sekarang. Entahlah.
Anak sungai di sana ikannya tak terlalu banyak, walau demikian tempat itu bagiku tetap jadi surga favorit. Memancing kadang hanya sebatas syarat, ada hal yang lebih penting, yaitu suasana, kedamaian, ketenangan, dan kesunyian yang ditawarkannya. Tapal-tapal perenungan, jejak-jejak kegelisahan tertinggal, lalu hilang disapu hujan, di tempat itu.
Seperti lazimnya, kubuka tas pancingku, kulempar jauh ke tengah anak sungai, burung layang-layang beterbangan, sesekali apung-apung bergoyang santai, kubiarkan saja. Melempar umpan seperti membuka buku, ingatanku melayang ke hari nan lalu.
Jumat, 13 Desember 2019, adalah hari pertama bertatap muka dengan Dr. Khairil Anwar, MA. Guruku, dosenku di Magister Psikologi Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.
Pertemuan pertama dengan beliau cukup menyita perhatianku, tak banyak hal yang beliau sampaikan, namun pernyataan dan pertanyaan yang beliau lontarkan memancing ingin, membuka pikir, memaksa akal untuk berpikir dan merenung.
Di akhir pertemuan beliau memberi tugas membuat esai dengan tema “Relasi Ilmu Psikologi terhadap Keutuhan Bangsa dan Negara”. Subtema bisa dari sudut pandang apa saja, boleh ekonomi, pendidikan, sosial politik, seni budaya dan lain sebagainya. Nah, ini..! Aku bergumam sambil bertepuk tangan dalam kepala. Sebuah pernyataan yang mengandung pertanyaan mendasar untuk dijawab oleh segenap ilmuwan Psikologi. Untuk apa? Bagaimana? Dan hendak kemana ilmu pengetahuan ini kita bawa?
Selanjutnya pernyataan itu memancingku berpikir lebih jauh, yakni kepada manusia dan peradaban manusia itu sendiri.
Peradaban Kebun Binatang
Dalam sejarah panjang umat manusia, tiap fase memiliki cerita dan ciri khas peradaban sendiri, sedari era Adam hingga abad manusia modern hari ini.
Sejurus dengan itu, ilmu pengetahuan pun berkembang pesat. Jika dahulu manusia hanya menjejak gunung maka sekarang umat manusia mulai menjejak langit, jika dahulu umat manusia merenangi sungai maka sekarang umat manusia menyelami laut dalam.
Teknologi pun perkembang pesat. Steven Hawking, misalnya, meski lidah dan badan terbungkam, namun akal pikiran terus berkeliaran, melalui bantuan komputer beliau mampu mengartikulasikan pemikiran-pemikirannya. Begitulah hebatnya makhluk bernama manusia.
Kita bergembira, tentu saja, dengan capaian-capaian ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini. Namun di sisi lain kita turut prihatin, betapa banyak lobang-lobang kosong lagi dalam yang kita buat sendiri. Lantas kita, anak-anak kita, terjatuh dan tenggelam lantas mati di dasarnya. Lobang-lobang kosong itu ada di mana-mana, di masyarakat, di rumah bahkan di dalam diri kita sendiri. Lobang-lobang kosong itu adalah batin kita sendiri.
Manusia modern hebat dan gembira secara lahiriah, namun menderita di batin. Sepi, gelisah, hidup dalam ketakutan, singkatnya tak bahagia. Betapa banyak kita temukan orang-orang kaya, memiliki segala, namun mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Mati di tangan sendiri atau mati di tangan saudara kandung sendiri.
Peradaban kita adalah peradaban sakit. Modernitas yang diagung-agungkan itu adalah modernitas kebun binatang. Orang-orang sungguh sakit, kehilangan hati dan akal pikirannya. Hidup sebagai manusia namun kehilangan rasa kemanusiannya.
Di dunia pendidikan, misalnya, pendidikan telah kehilangan tuahnya sebagai suluh, pendidikan telah kehilangan cahayanya. Muara pendidikan sebagai sungai yang membersihkan hati, akal dan pikiran; sebagai rumah yang diharapkan menghasilkan manusia yang beradab, sesungguhnya gagal dalam banyak usahanya.
Mari kita lihat. Siapakah mereka yang terus-menerus merampok kekayaan negeri, saling sikut sana sini, memulai perang memantik api? Koruptor, politisi busuk, pemimpin tiran? Siapakah mereka? Jika bukan orang-orang hebat yang bersekolah, dengan deretan panjang gelar akademiknya? Jika bukan orang-orang yang lahir dari rumah yang kita sebut sekolah.
Ketika anak-anak Sekolah Dasar diajarkan oleh gurunya untuk berlaku jujur, siapa pula yang mengajari mereka untuk berbuat curang? Jika bukan guru-guru sekolahnya yang kongkalikong memberi lembar jawaban ketika Ujian Nasional tiba. Kita miris dan sedih. Kata Rendra dalam Sajak Anak Muda, “Sekolah hanya mengajarkan ilmu hafalan, bukan latihan menguraikan, pendidikan-pendidikan tidak memberi pencerahan. Sarjana-sarjana menganggur, gamang menatap masa depan”.
Bidang ekonomi, sosial dan politik tak jauh berbeda, terlalu banyak lobang di sana sini, orang-orang saling curiga, tak ada lagi saling percaya, persaudaraan atas nama syahwat, kepentingan sesaat tak ada lagi cinta yang lekat.
Ada banyak terminologi atas fenomena manusia modern saat ini. Syed Hossein Nasr mengistilahinya sebagai “the crisis of our age” nestapa manusia modern. Bertrand Russel, “Terputusnya rantai kemajuan material dan moral”. Rabindranth Tagore, “Kesenjangan hati dan pikiran.” Fromm, “Sindroma keterasingan”. Leahy, “Kekosongan rohani”. Bastaman, “The age of anxiety”. Dan saya lebih senang mendeskripsikan fenomena hari ini sebagai “Peradaban Kebun Binatang”.
Psikologi di Pusaran Peradaban
Pada mulanya Psikologi muncul sebagai ilmu yang mempelajari tentang jiwa manusia itu sendiri. Namun dalam perjalanannya, definisi ilmu Psikologi berubah sebagai ilmu yang mempelajari perilaku yang tampak.
Materi-materi yang diajarkan di Fakultas Psikologi adalah materi yang diramu oleh ilmuwan Barat. Tak terkecuali di Universitas Islam, pemikiran ilmuwan Barat diadopsi secara masif.
Sebagai akademisi tentu kita mengapresiasi sumbangsih teori yang telah dilahirkan oleh ilmuwan-ilmuwan Barat. Namun andai kita jujur, sesungguhnya berbagai mazhab dan teori-teori Psikologi Barat seperti psikoanalisa dan behavioristik belum mampu sepenuhnya menjawab dan mengambil tanggung jawab terhadap krisis manusia modern saat ini.
Walau demikian kita senang, bahwa dalam perkembangannya ilmu Psikologi terus mengalami perkembangan, melahirkan mazhab-mazhab baru, seperti misalnya mazhab Humanistik dan Transpersonal. Mazhab ini dianggap lebih mampu menjelaskan dan mengambil tanggung jawab terhadap krisis manusia modern saat ini.
Sebenarnya ilmuwan dan psikolog Muslim pun membaca gejala bahwa betapa sakitnya manusia modern saat ini. Mereka pun menyadari kelemahan teori-teori Barat. Sehingga membuat mereka terus menggali dan mengkaji ilmu Psikologi melalui nash al-Quran dan Hadis. Yang dalam perkembangannya ilmuwan dan psikolog Muslim memunculkan disiplin cabang ilmu Psikologi yang baru, yaitu Psikologi Islam yang selanjutnya juga ditawarkan sebagai mazhab alternatif baru dalam khazanah keilmuan Psikologi secara umum.
Namun jika dikaji lebih lanjut sesungguhnya sebelum hadir sains dan ilmu pengetahuan dengan kacamata positivistik dan empirisnya, Islam telah memberikan jawaban atas masalah psikologis dan gejala patologis yang dialami umat manusia.
Ibnu Sina, Ibnu Arabi, dan Imam Al-Ghazali, misalnya, lewat karya monumentalnya Tazkiyatun Nafs sudah memberikan petunjuk, dan penawar untuk permasalahan jiwa manusia agar sehat dan bahagia.
Sayang, dunia sains yang notabene dimonopoli Barat membuat tokoh-tokoh spritual, ilmuwan dan psikolog Muslim tersebut tenggelam dalam buku-buku psikologi konvensional.
Sebagai seorang Muslim apalagi ilmuwan yang khusus berkecimpung di dunia Psikologi, diharapkan untuk concern dan mesra dengan sumber-sumber utama Psikologi Islam, yaitu al-Qur’an, Hadis dan kitab-kitab klasik yang membahas tentang jiwa dan rohani.
Meskipun agak gamang mengartikulasikannya, saya coba jualah: baiknya menjadi psikolog Muslim adalah “menjadi ahli tasawuf”. Seminimalnya, ya, selesai dengan diri sendiri, menjadi hamba yang taat, bertakwa kepada Allah Swt.
Seberapa pun tingginya peradaban umat manusia di bidang sains, dan teknologi, tidak akan mambawa kemaslahatan jika peradaban batin dan nurani umat manusia itu dangkal apalagi kosong.
Inilah saatnya psikolog dan Psikologi Islam mengambil peran dan tanggung jawab, menyadarkan umat, membawa umat menyelami samudera kasih, menjadi manusia seutuhnya, membangun peradaban lahir dan batin, bahagialah hidup dan matinya.
Baiklah. Saya tutup tulisan ini dengan sebuah puisi.
Manusia acap kali terjebak pada konsep rumit, megah, lagi mutakhir. Sibuk ke luar, abai ke dalam. Membangun peradaban tak setakat membangun bandar, mencipta mesin, dan mengumpul uang.
Tugas pokok agen peradaban adalah merawat nilai, menumbuhkembangkan, memberi kesadaran; menjadi dan menjaga manusia tetap utuh sebagai manusia.
Perang sebenar ada di dalam,
dan kebanyakan kita jadi pecundang, orang-orang kalah.
Perang yang kita lihat hanyalah bias, takkan berhenti, takkan usai, takkan selesai, selagi hidup dipecundangi diri.
(Hanif Muslim, 2019)
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Bagaimana pendapat Anda tentang artikel ini? Apakah Anda menyukai nya atau sebaliknya? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom bawah ya!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
2 Comments