Mahsa Amini dan Teriakan Perempuan Iran

3 min


0
Sumber: ahlulbaitindonesia.or.id

Penangkapan Mahsa Amini oleh polisi moral Iran (Gasht-e Ershad) menjadi perhatian dunia. Karena penangkapan tersebut berhubungan dengan pakaian yang ia kenakan. Penangkapan itu bermula ketika ia tidak memakai jilbab sesuai dengan aturan pemerintah Iran. Selain itu, ada dugaan kekerasan dalam proses penangkapan tersebut, sehingga Masha meninggal beberapa hari setelah tertangkap.

Kematian Mahsa Amini sempat memicu unjuk rasa, baik di Iran dan di berbagai negara Uni Eropa seperti Jerman dan London. Banyak kalangan menganggap kematian Masha mencederai HAM. Sebab kebebasan berpendapat dan berekspresi termasuk pakaian seharusnya menjadi hak paling dasar manusia. Tidak terkecuali perempuan.

Dari kisah Mahsa Amini, banyak orang penasaran bagaimana Negara masuk ke hal privat dengan mengatur pakaian perempuan. Bahkan sampai membentuk satuan khusus bernama polisi moral untuk menegakkan aturan itu.

Konteks ini perlu kita pahami, agar kita tahu sejauh apa otoritas pemerintah Iran mengatur tentang batas-batas aurat perempuan?

Faktanya, aturan wajib berjilbab di Iran berlaku setelah Revolusi Islam tahun 1979. Otoritas setempat mengklaim aturan ini sudah sejalan dengan “syari’at Islam” yang tercantum dalam Al-Qur’an dan hadis. Mulai saat itu, sebenarnya aturan ini banyak memicu pro dan kontra dari berbagai pihak. Namun, aturan mengenai berpakaian Islami ini akhirnya resmi menjadi undang-undang pada tahun 1983.

Baca juga: Aurat Perempuan dalam Aneka Interpretasi: Butuh Interpretasi Baru?

Polemik Kebijakan Menutup Aurat Perempuan di Iran

Sebelum Revolusi Iran 1979, di bawah pemerintahan Reza Syah Pahlevi (1925-1941) justru melarang perempuan menggunakan jilbab. Di saat itu, Reza Pahlevi menerapkan peraturan anti jilbab di Iran. Peraturan ini dipercayainya sebagai langkah Iran maju perekonomian, sosial dan modernitas dibandingkan dengang Barat.

Anggapan ini ada benarnya, karena produk kebijakan Reza Pahlevi terutama tentang pakaian perempuan sangat berkiblat ke Barat. Di era ini, perempuan Iran haram menggunakan jilbab dan harus mengikuti gaya berpakaian orang Amerika-Eropa.

Pelarangan ini tertuang dalam undang-undang sehingga aparat penegak hukum (polisi) boleh melepaskan secara paksa apabila ada yang menggunakan hijab. Sehingga di era ini perempuan Iran bebas berpakaian dan bergaya ala barat (Hamideh Sedghi, 2007:64).

Setelah Revolusi Iran (1979) oleh Ayatullah Khomeini, UU mengenai pelarangan penggunaan jilbab berganti menjadi undang-undang yang mewajibkan penutup kepala itu. Artinya, seluruh perempuan Iran wajib menutup aurat mereka sesuai “syari’at Islam”. Ini menjadi penanda bahwa Revolusi Iran besutan Khomeini ini mengubah secara radikal konstruksi sistem negara buatan Reza Pahlevi.

Bahkan, di awal penerapan kebijakan ini, siapapun yang menolak berjilbab akan mendapat hukuman cambuk. Setelahnya berganti dengan hukuman kurungan dan denda). Sontak kebijakan ini pun mendapat penolakan dengan banyaknya demonstrasi pada saat itu. Karena kebijakan wajib jilbab ini tidak ada bedanya dengan pemaksaan penanggalan jilbab semasa Reza Pahlevi.

Memotret Keterlibatan Perempuan di Iran

Melihat kenyataan ini, mungkin kita semua akan berpikir bahwa pemerintah Iran tidak melibatkan perempuan dalam membuat kebijakan. Tetapi, nyatanya dari pemerintahan Reza Pahlevi hingga Khomeini, perempuan selalu terlibat dalam penentuan kebijakan. Meskipun tidak setara porsinya dengan laki-laki.

Pra Revolusi 1979

Pada masa pemerintahan Reza Pahlevi (1925-1941), perempuan di awal pemerintahannya, meskipun telah berusaha mendapatkan haknya untuk berpartisipasi dalam pendidikan, sosial dan hak hukum, nyatanya masih terkungkung dalam sekat-sekat pembatasan (Farinaz Basmechi, 2019:3). Khususnya pembatasan untuk masuk ke bidang kedokteran dan pendidikan (Hamideh Sedghi, 2007:69).

Kontras dengan kebijakan sebelumnya, kepemimpinan Khomeini di Iran tidak ingin bersekutu lagi dengan Amerika. Bahkan dengan jelas memusuhi dan menentangnya. Khomeini membangun Iran dengan menegakkan nilai-nilai Islam yang diyakini dan dipelajarinya.

Baca juga: Islam dalam Merespons Polemik Toleransi dan Kebebasan Berekspresi

Pasca Revolusi 1979

Di awal masa pemerintahannya (1979-1989), Khomeini menegaskan bahwa perempuan memiliki peran penting. Untuk itu ia memberi kesempatan kepada perempuan agar mendapat pendidikan tinggi, guna mengisi profesi kedokteran dan pendidikan (Ansia Khaz A dalam M. Kamaluddin, 2011:42-43).

Selain itu, Khomeini (di fase 1989-1999) mengubah aturan-aturan yang bias gender di masa pemerintahan Reza. Misalnya pelarangan perempuan menjadi hakim dengan alasan perempuan lebih mengutamakan perasaan dan kurang rasional. Larangan itu kemudian ia cabut. Bahkan kebijakan perlindungan terhadap hak-hak perempuan tercipta di fase ini. Sehingga perempuan lebih berkesempatan untuk menduduki jabatan strategis tanpa takut terstigma negatif (M. Kamaluddin, 2011:v).

Selanjutnya (di fase 1999-sekarang), banyak muncul gerakan-gerakan perempuan yang memperjuangkan HAM dan demokrasi di Iran ( Ali Akbar, 2004:429-433).

Isu perempuan di Iran baik pra-Revolusi maupun pasca-Revolusi menjadi isu yang tidak kunjung ada habisnya, bahkan dalam isu berpakaian sendiri.

Masha Amini dan Teriakan Perempuan Iran

Kita bisa melihat, bahwa kebijakan Iran pra dan pasca revolusi sama-sama menerapkan persekusi dan paksaan, meskipun motif keduanya berbeda. Reza Pahlevi melalui kebijakan pelarangan memakai jilbab agar Iran terlihat modern dan mengikuti kemajuan dunia (yang berkiblat ke Amerika dan Eropa), sedangkan Khomeini mewajibkan jilbab sebagai penegakan syariat Islam.

Kita juga dapat melihat adanya hegemoni Amerika Serikat dalam pemerintahan Iran. Kenyataan ini memperkuat bahwa kebijakan terkait UU jilbab menjadi respons terhadap keberadaan AS di Iran.

Saat ini, Iran yang masih menerapkan UU Jilbab dan polisi moralnya menunjukkan Iran yang anti-Barat. Pemimpin Iran berpandangan modernisasi tidak harus berkiblat ke Barat, tetapi bisa juga dengan menerapkan Syariat Islam. Namun, apakah penegakan Syariat Islam harus dengan pengekangan perempuan?

Menilik kembali peristiwa yang menimpa Mahsa Amini, demonstrasi terus berlanjut di berbagai negara. Di Iran sendiri demonstrasi telah banyak menelan korban jiwa. Korban yang tewas mencapai 83 orang.

Kisah demonstran yang tertangkap dan “mendapat penghakiman” memang bukan hal baru di Iran. Bahkan sejarah demonstrasi memiliki cerita tersendiri di Iran saking panjangnya. Namun apakah Iran dapat bertahan dan terus membendung gelombang gerakan sosial ini? We’ll see!

Refrensi

Basmechi, Farinaz, “Feminist Activism in Iran After 1979 Revolution”. Makalah.University of North Texas,2019.

Kamaluddin, M. “Gerakan Perempuan di Republik Islam Iran Pasca Revolusi 1979”, skripsi.2011.

Mahdi, Ali Akbar.The Iranian Women’s Movement: A Century Long Struggle. Vol.94. 2004

Mahmoudi, Hoda. “Freedom and the Iranian Women’s Movement” dalam Jurnal Contexts Vol.16 No.3,2019.

Sedghi, Hamideh. Women and Politics in Iran: Veiling, Unveiling and Reveiling. Cambridge University Press, 2007.

*Tulisan ini merupakan hasil refleksi diskusi mingguan tim redaksi Artikula.id

Editor: Ahmad Mufarrih
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]

Jadi, bagaimana pendapat Anda tentang artikel ini? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya!

Anda juga bisa mengirimkan naskah Anda tentang topik ini dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!


Like it? Share with your friends!

0
Sukma Wahyuni

Tim Redaksi Artikula.id

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals