Kalipuro merupakan wilayah di ujung Timur Pulau Jawa. Nampak Darsikin, seorang santri berdiri di muka laut memandang tingginya puncak Gunung Ijen. Peradaban di Desanya yang menjadi bagian dari Kabupaten Banyuwangi berbanding terbalik dengan peradaban pulau seberang. Kerlap-kerlip lampu dan keramaian Pulau Bali terlihat dari kejauhan, menunjukkan kemajuan dan keindahan dengan tawaran hiruk-pikuk keseharian penduduknya.
Muncul dalam benak kepolosan kepala Darsikin yang masih lugu. Tak kuasa menahan ingin untuk sekadar singgah beberapa saat di pulau itu. Kemolekan Bali selama ini hanya ia ketahui dari radio dan obrolan mulut ke mulut. Sebagai anak kampung, Darsikin hanya dapat menelan ludah sambil melempar imajinasinya yang liar untuk dapat menggambarkan keindahan Bali dalam imajinasi semu.
Spontan Darsikin terkagetkan saat sang Kiai Sholeh menepuk bahunya. Dengan sorban berenda hijau itu, Kiai Sholeh yang berwajah tenang sontak membuyarkan beribu angan-angan yang melayang di kepala Darsikin. “Munggo nak Darsikin, kita ke Langgar!, mentari segera terbenam dan Maghrib segera datang,” ucap Kiai Sholeh dengan melempar senyuman. Darsikin yang gugup tanpa menjawab dengan kata-kata hanya bisa mengangguk patuh.
Baca juga: Langgar Kami |
Meratapi Langgarku yang Kian Rapuh: Refreksi atas Perubahan
Deskripsi di atas tentang Meratapi Langgarku yang Kian Rapuh menggambarkan refleksi atas fenomena perubahan generasi di tengah perubahan peradaban.
Modernisasi
Yaitu generasi yang menuju ke arah modernisasi atau bahkan pos-medernisasi. Tawaran-tawaran untuk menikmati gaya hidup global tidak hanya berlaku bagi remaja yang hidup di ramainya kota, namun hal ini agaknya juga telah berlaku bagi kaum santri di desa-desa dan pelosok-pelosok perkampungan.
Seiring waktu, masjid dan mushala kian tergantikan dengan kesibukan baru seiring munculnya komunitas-komunitas dengan beragam kepentingannya di dunia nyata maupun di dunia maya. Beberapa praktik keberagamaan mulai tergadaikan dan artefak-artefak tradisinya mulai tersisihkan oleh berjuta tawaran kehidupan abad 21.
Teknologi
Terlepas dari berbagai hal positifnya, teknologi informasi menyajikan buaian-buaian yang dalam hitungan detik tersebar melalui langit-langit dunia. Kemampuan untuk menilai dan melakukan seleksi atas informasi semakin sulit terkendali. Di manapun dan kapanpun informasi tentang berbagai hal di seluruh muka bumi tersebar tanpa terkendali.
Meratapi Langgarku yang Kian Rapuh: Langgar dan Kisah yang Menyertainya
Corak atau praktik akulturasi kebudayaan dengan Islam masih banyak kita jumpai dalam kehidupan masyarakat Indonesia, terutama masyarakat desa. Desa sebagai tempat tinggal dari komunitas etnis pribumi yang belum banyak tercampur oleh pendatang (heterogeneous).
Di desa, Langgar tidak hanya memiliki fungsi tempat peribadahan, namun Langar berkembang menjadi wadah Pendidikan Al-Qur’an, jam’iyah, pengajian, hingga rapat terkait kegiatan keagamaan. Hampir pasti di setiap desa di Jawa dan Madura dapat kita temui adanya Langgar di dalamnya.
Dalam penelitian Pradjarta Dirdjosanjoto, seorang kristiani yang memiliki perhatian besar terhadap tradisi Islam, terungkap bahwa terjaganya kaum muda dalam komunitas keagamaan tidak lepas dari pendampingan dan karisma sosok kiai yang terbentuk sejak lama dalam alam pikiran masyarakat pedesaan.
Hal tersebut senada dengan Geertz yang mengistilahkan Kiai Jawa dengan Cultural Broker yang menerapkan kontrol terhadap masuknya tradisi baru. Ia akan melakukan seleksi terhadap setiap hal yang akan diterima umatnya.
Seiring waktu, peran Langgar sebagai wadah tradisi mulai tergantikan dengan sosial media dan peran ulama Langgar digantikan dengan tingkat pengetahuan dan tingkat emosional masing-masing individu untuk bisa melakukan seleksi informasi.*
*) Ditulis bersama Muhammad Barir
0 Comments