Sebelum kita lebih jauh berbicara tentang fikih Islam (fikh al-Islam), penulis ingin memberitahukan bahwa risalah singkat ini tidak akan berbicara rigit mengenai apa itu fikih dan macam-macamnya atau membahas lebih lanjut mengenai berbagai persoalan fikih, baik yang ushul atau furu’. Dalam tulisan ini, kita akan mencoba re-thinking hakikat dari fiqh dan kedudukannya dalam hirarki hukum Islam.
Secara linguistik al-fiqh dalam bahasa Arab bermakna al-fahm (paham). Kemudian kata al-fiqh (fiqh) tersebut menjadi sebuah istilah. Ada dua pengertian fiqh menurut istilah, yaitu: pengertian yang telah dirumuskan sejak berabad-abad dan pengertian yang mutakhir.
Pertama, fikih adalah Pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at mengenai amal perbuatan, hukum-hukum yang mana diperoleh dari dalil-dalil yang terperinci bagi hukum-hukum tersebut.[1]
Pengertian inilah yang sering kita temui dalam kitab-kitab klasik. Secara singkat pengertian ini bermakna bahwa fikih adalah pengetahuan yang bersumber dar dalil-dalil untuk melakukan atau melaksanakan syariat Islma, di mana dalil tersebut dipahami berdasarkan atau sesuai kemampuan dan horizon mujtahid.
Kemudian, pengertian fikih yang kedua ialah kumpulan hukum-huum tentang amal perbuatan yang disyariatkan dalam Islam.[2]
Pengertian ini sedikit berbeda dengan pengertian fikih yang dipahami oleh ilama klasik, di mana mereka menekankan pada proses isntibat ahkam dari dalil-dalil syariat yang ada.
Berdasarkan penjelasan singkat di atas, kita seharusnya memahami bahwa fikih adalah produk tafsir ulama dari dalil-dalil syariat yang ada, baik al-Qur’an, hadis maupun ijma’ dan sumber hukum lainnya yang secara rasional dan obyektif dapat dijadikan sebagai sarana menentukan hukum tertentu berdasarkan dan sesuai konteks di mana ia muncul.
Hal inilah yang kemudian menyebab adanya perbedaan mazhab, dan bahkan adanya perbedaan fatwa dalam mazhab yang sama.
Permasalahan yang harus kita pahami jika membaca fikih adalah pengetahuan intensif bahwa fikih bukanlah produk yang merupakan manifestasi “hukum Allah” secara absolut, akan tetapi ia adalah interpretasi dari ayat-ayat Allah, baik dalil naqli maupun aqli.
Kita harus menyadari bahwa fikih adalah produk budaya muslim, di mana ia merupakan hasil dari proses memahami kalam Allah yang dalam perjalanannya berinteraksi dengan kondisi social-masyarakat tempat produk fikih tersebut muncul.
Dengan kata lain, pertemuan horizon teks dengan horizon masyarakat khususnya mujtahid sebagai penafsir akan mengalami proses lokalitas dan distorsi makna-meskipun dianggap benar-dari makna-makna Asli al-Qur’an dan Sunnah, karena pada dasarnya pengtahuan manusia terbatas jika dibandingkan dengan pengetahuan Tuhan.
Mungkin akan muncul pertanyaan, mengeapa harus memahami hakikat fikih yang telah penulis sebutakn sebelumnhya? Hal ini penting dipahami dan dipelajari agar tidak terjadi “sakralitas pemikiran”, dalam artian sebenarnya suatu gagasan atau pemikiran tersebut sebenarnya merupakan tafsiran subyektif mengenai kalam Tuhan dan bukan makna sesungguhnya-dan kita tidak bisa memastikan-dari kalamullah.
Dengan demikian, kita harus membedakan kedudukan fikih dan dalil-dalil syariat baik al-Qur’an maupun hadis, agar fikih dipahami secara flexible, dinamis dan kontekstual.
Sehingga istilah al-Qur’an shalihun likulli zaman wa makan bisa tercapai, karena fikih yang kita fahami tidak terkungkung realitas dan konteks masa lalu dan bisa membumi dengan konteks kekinian. Wallahu a’lam
[1] Musthafa Ahmad Az-Zarqa’, al-Madkhal al-Fiqhi al-‘Am, (Damaskus: al-Adib, 1967-1968), hlm.42
[2] Musthafa Ahmad Az-Zarqa’, al-Madkhal al-Fiqhi al-‘Am, hlm. 55.
0 Comments