Tersebutlah ada seorang ayah dan anak beserta keledai kecilnya yang berjalan di jalan desa. Beberapa menit kemudian berpapasanlah mereka dengan salah satu penduduk dari desa. Ia pun melihat mereka sambil berkomentar terhadap mereka, “Sayang sekali, sudah memiliki hewan tunggangan namun tidak digunakan. Lebih baik tidak usah punya keledai atau keledainya buat saya saja” ujarnya sambil menggoda.
Meskipun terdengar kelakar, rupanya si ayah menseriusi komentar orang itu. Masuk akal olehnya. Kemudian, si ayah menyuruh anaknya untuk menaiki keledai kecil tersebut dan melanjutkan perjalanan. Hingga beberapa saat berpapasanlah mereka dengan orang lain di jalan desa. Usai saling bersapa, berkatalah orang itu yang melihat seorang anak menunggangi keledai sedang ayahnya berjalan kaki. “Dasar anak tak berbakti, dibiarkan saja ayahnya berjalan kaki sedangkan ia duduk di atas keledai” ujarnya sambil menggoda kemudian ia pamit dan melanjutkan perjalanan.
Sang ayah terhenyak sejenak. Ia ingin protes namun tidak bisa. Orang tersebut sudah melanjutkan perjalanan. Bagaimana bisa ia menyebut anaknya tidak berbakti yang selama ini justru selalu menurut padanya. Agar tidak dikomentari kembali mengenai anaknya, si ayah menggantikan anaknya menaiki keledai kecil tersebut dan melanjutkan perjalanan. Hingga beberapa saat di perjalanan, mereka kembali disapa oleh orang yang berpapasan di tengah jalan.
“Jangan begitu dong si bapak. Egois sekali. Anaknya dibiarkan berjalan kaki sedangkan ayahnya menaiki tunggangan” ujar orang itu sambil menggoda kemudian pamit melanjutkan perjalanannya.
Merasa kesal, sang ayah menaikkan anaknya bersamanya di atas keledai. Akhirnya mereka berdua menaiki keledai kecilnya. Supaya tidak dikomentari lagi dengan komentar yang menyakitkan hatinya. Dirinya tidak bermaksud egois. Dia awalnya ingin mencegah anaknya disebut tidak berbakti. Malah dia disebut egois kali ini. Daripada salah satu dari mereka terkena hujatan kembali, lebih baik mereka tunggangi saja keledainya. Mereka akhirnya melanjutkan perjalanan meski agak terlampau lamban kecepatannya. Sampai suatu ketika, berpapasanlah mereka dengan seorang anak kecil yang melihat mereka berjalan menunggangi keledainya.
“Kasihan ih, menyiksa keledai kecil. Binatang kan sama seperti kita, perlu dikasihi dan disayangi” celotehnya sambil melengos begitu saja dengan mengayun-ayunkan batang kecil di tangannya.
Dari sepenggal cerita di atas, menghikmahi kita pada sebuah pemahaman dimana selama dinilai oleh manusia tidak akan pernah baik dan selalu salah. Meskipun kalimat dari beragam banyak komentar yang terdengar oleh kita tidak memiliki arti maupun maksud tertentu, kita seolah menafsirkannya menjadi suatu hal yang penting dan layak untuk dibenahi dalam diri kita. Akan tetapi, sebagaimana apapun kita membenah dan memperbaiki bahkan menuruti apa kehendak orang lain tidak akan cukup memuaskan keseluruhan orang di sekitar kita.
Hikayat ini sebenarnya sudah sering diceritakan di mana saja namun kita selalu alpa bahwa hidup yang dijalani dengan serius adalah titik candaan yang tidak kita sadari. Adalah wajar jika ada yang pro dan kontra, setuju dan tidak setuju dengan kita. Apabila berkaitan dengan hidup dan kehidupan kita sendiri, siapa yang pantas ikut campur kalau bukan kita sendiri yang menjalaninya? Terkadang untuk bersikap bodo amat adalah perlu di saat kita memang sudah mengerti dan paham dengan keadaan kita. Dari mana kita dan sedang berada di mana kemudian hendak ke mana.
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂
Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
0 Comments