Polemik Warisan dan Kesetaraan Gender

Adil itu tidak selalu sama rata antara laki-laki dan perempuan, adil adalah jika sesuatu itu diberikan sesuai dengan porsinya3 min


hadfnews.ps

Dalam surat al-Nisa ayat 11 Allah berfirman: “Li adz-dzakari mislu haddzi al-untsayaini”, yang  artinya “Bagian (warisan) laki-laki itu dua kali lipatnya bagian perempuan”.  Inilah ayat yang menjadi rujukan utama umat Islam dalam mengatur sebuah harta warisan. Dalam Islam ilmu yang mengatur warisan disebut dengan ilmu faraid atau ilmu mawaris.

Dalam ilmu faraid, Islam memang memberi bagian laki-laki lebih besar dari bagian perempuan yaitu dua kali lipatnya. Apabila laki-laki mendapat satu bagian maka perempuan hanya mendapat separuhnya saja.

Aturan semacam ini masih dipegang oleh para ulama hingga saat ini, meski faktanya sudah banyak umat Islam yang tidak menjalankan aturan tersebut. Mereka lebih memilih menggunakan hukum positif dari negara yang membagi harta warisan sama rata antara laki-laki dan perempuan, dibanding menggunakan hukum Islam.

Para ulama berpendapat bahwa aturan warisan dalam Islam bersifat qat’i (final), tidak bisa diganggu gugat, bukan bersifat dzanni (samar-samar), yang masih bisa diperdebatkan ukurannya. Karena itu para ulama terutama ulama tradisional berusaha mati-matian mempertahankan aturan ini.

Mereka berpendapat bahwa aturan warisan Islam memiliki keistimewaan tersendiri dibanding syariat-syariat yang lain. Hal itu karena aturan tersebut dijelaskan sendiri secara langsung oleh Allah Swt -di dalam al-Quran- sampai dalam bentuk yang sangat detail. Hal itu berbeda dengan ibadah lain seperti shalat dan haji yang hanya dijelaskan secara umum oleh Allah Swt, kemudian baru dijelaskan lagi oleh Nabi Muhammad saw.

Sebenarnya ada usaha untuk merubah aturan tersebut secara formal, salah satunya adalah yang diusahakan oleh umat Islam di Tunisia saat ini. Tidak tanggung-tanggung bahkan usaha tersebut disuarakan langsung oleh Presiden Tunisia saat ini yaitu Presiden Beji Qayyid el-Sibsi (2014-Sekarang). Mereka menuntut agar disamakan bagian warisan antara laki-laki dan perempuan. Hanya saja usaha tersebut menemui jalan buntu karena ditentang oleh banyak pihak terutama para ulama dari Universitas Zaituna.

Melihat aturan warisan dalam Islam yang hanya memberikan bagian perempuan separuh dari bagian laki-laki, memang tampak tidak adil bagi perempuan. Karena itu aturan tersebut mendapat tentangan keras dari kelompok gerakan feminisme dan kesetaraan gender. Bahkan aturan tersebut menjadi sumber bahan bulian mereka saat ini.

Penulis sendiri berpendapat bahwa adil tidak selalu sama rata antara laki-laki dan perempuan. Adil bagi penulis adalah jika sesuatu itu dibagi sesuai dengan porsinya. Seorang akan mendapatkan hak yang setimpal jika seseorang tersebut juga mengerjakan kewajiban yang setimpal. Meskipun begitu, penulis tidak ingin serta merta menggunakan dalih ini sebagai pembenar aturan tersebut.

Al-Quran memang menyatakan bahwa bagian perempuan separuh dari bagian laki-laki, tetapi pernyataan tersebut tentu tidak bisa dipahami secara tekstual begitu saja, tanpa melihat konteksnya. Karena sangat tidak adil dan terlalu tergesa-gesa jika hanya dengan itu kemudian menyimpulkan bahwa al-Quran telah berlaku tidak adil bagi perempuan, apalagi kemudian menganggapnya telah merendahkan harkat dan derajat wanita.

Jika kita melihat tradisi Arab pada masa jahiliah atau pra-Islam, kita justru menemukan fakta yang menarik. Sebab justru tradisi Arab lah yang telah mengebiri hak-hak perempuan. Sebaliknya Islam justru bersikap revolusioner dengan melawan tradisi tersebut dan berani memberi hak dan bagian kepada perempuan, meski dalam jumlah yang masih diperdebatkan oleh orang-orang saat ini.

Dalam tradisi Arab pra-Islam, perempuan tidak berhak mendapat harta warisan. Sebab dalam tradisi Arab saat itu, yang berhak mendapatkan harta warisan adalah orang-orang yang mampu memegang senjata dan mampu menjaga klan atau keluarga dari serangan musuh. Oleh karena itu, kaum perempuan termasuk anak kecil tidak berhak mendapat harta warisan, karena yang mampu memegang senjata umumnya adalah kaum laki-laki dan orang yang sudah dewasa.

Pada suatu waktu, salah seorang sahabat Nabi yang bernama Uwais bin Tsabit  meninggal dunia. Kemudian datanglah dua anak paman dari Uwais dan mengambil seluruh harta peninggalan Uwais tanpa meninggalkan sedikitpun kepada istri dan anak-anaknya. Istri dari Sahabat Uwais tersebut lantas mengadu kepada Rasulullah karena ia butuh harta tersebut untuk menghidupinya dan ketiga anaknya. Kemudian turunlah ayat yang menyatakan bahwa perempuan berhak mendapat harta warisan.

Dalam surat al-Nisa ayat 7 Allah berfirman: “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”.

Dengan turunnya ayat tersebut maka resmilah, kaum perempuan berhak mendapatkan harta warisan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

Jika melihat konteks ayat tersebut, tentu kita tidak bisa lagi mengatakan bahwa Islam telah berlaku tidak adil bagi perempuan, apalagi merendahkan derajatnya. Karena posisi Islam saat itu justru dalam posisi melawan tradisi Arab jahiliah yang sama sekali tidak memberi hak bagi perempuan dalam warisan. Dengan sikap tersebut, Islam sebenarnya telah menempatkan diri sebagai pembela perempuan.

Adapun porsi separuh untuk perempuan yang diperdebatkan oleh orang-orang saat ini terutama dari golongan feminisme dan aktivis gender, tentu adalah suatu yang berlainan. Kita harus menghukumi al-Quran dengan konteks saat itu, bukan konteks saat ini. Yang bisa  kita ambil adalah bagaimana membawa nilai-nilai esensi dari al-Quran kepada konteks saat ini terutama nilai pembelaan terhadap perempuan.

Penulis mengakui bahwa perempuan saat ini mulai berperan banyak dalam dunia kehidupan. Bahkan perempuan saat ini sudah mulai mengambil peran di dunia yang dulu dianggap hanya milik laki-laki seperti menjadi pemimpin, politisi, tentara atau militer, mencari nafkah dan lain sebagainya.

Karena itu menurut penulis, jika dikaitkan dengan konteks saat ini, tentu aturan warisan Islam tersebut terbuka untuk direvisi, selama tidak meninggalkan pesan inti dari al-Quran yaitu membela kaum perempuan. Meskipun penulis tidak menentukan secara pasti bahwa bagian perempuan dan laki-laki itu satu banding satu, penulis berpendapat bahwa aturan warisan dalam Islam tidak bersifat qat’i (final), tetapi bersifat dzanni (bisa berubah sesuai dengan konteks zamannya).

 


Like it? Share with your friends!

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
1
Sedih
Cakep Cakep
0
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
1
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
0
Wooow
Keren Keren
0
Keren
Terkejut Terkejut
0
Terkejut
Subhan Ashari

Warrior

Dosen IIQ An-Nur Yogyakarta

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals