Manusia diciptakan hidup berpasang-pasangan (QS. al-Rum: 21). Manusia tidak bisa hidup tanpa orang lain, dalam istilah Aristoteles (384-322 SM) disebut sebagai Zoon Poloticon, atau makhluk yang pada dasarnya selalu mempunyai keinginan untuk berkumpul dengan manusia-manusia lainnya (M. Aamin Summa, 2004). Para filusuf muslim menjulukinya dengan al-insanu madany bi al-thabi’i yang kurang lebih sama maksudnya dengan perkatan Aristoteles (Abdul Karim Zaidan, 1412 H/1992 M). Selanjutnya, dalam Islam dikenal istilah pernikahan sebagai pengikat hubungan antara kedua insan tersebut.
Dalam Islam, pernikahan adalah sunnah sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi. Hadis Nabi tidak hanya menyebutkan anjuran kepada umatnya untuk menikah, tetapi juga memberi indikasi-idikasi khusus untuk memilih seorang calon pendamping hidup. Sebagaimana terdapat dalam hadis berikut,
Musaddad telah menceritakan kepada kami, Yahya telah mencerikatakan kepada kami, dari Abdullah, dia berkata: Said bin Abi Sa’id telah menceritakan kepadaku, dari ayahnya dari Abu Hurairah, dari Nabi Muhammad saw. beliau bersabda: wanita itu dinikahi karena empat hal, karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka pilihlah karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung. (HR. Bukhari no. 4700)
Hadis di atas menyebutkan empat kriteria dalam memilih pasangan, yaitu kecantikan (ketampanan), keturunan (nasab), kekayaan (ekonomi), dan agama (integritas). Kriteria tersebut pada umunya juga berlaku untuk memilih pria. Banyak kalangan yang hendak menikah hanya mempertimbangkan dari segi agama saja dan menyepelekan aspek lainnya karena akhir redaksi hadis tersebut mencukupkan dengan kriteria agama/integritas. Dalam realitas, juga ditemukan penilaian bahwa wanita/pria yang mencari pasangan hidup dengan perimbangan aspek ekonomi dicap sebagai matre. Padahal, pencukupan atas aspek agama dalam hadis tersebut bukan berarti aspek yang lain tidak dipandang sama sekali atau tidak penting.
Jika ditelusuri dan diperhatikan lebih jauh, realitas sosial mengatakan bahwa banyak sekali pasangan yang rumah tangganya kandas di tengah jalan, terjadi percekcokan akibat dari tidak terpenuhnya kebutuhan secara materiil dalam keluarga. Banyak keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan dan anak keturunannya tidak mendapatkan pendidikan dan terkungkung dalam kebodohan, hidup dan tinggal di tempat yang tidak layak. Bukankah kemiskinan adalah satu penyebab kekufuran? Islam mewasiatkan kepada umatnya untuk memiliki ekonomi yang baik,
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”. (QS. al-Nisa: 9)
Imam Al-Thabari menjelaskan bahwa ayat ini mengandung perintah agar generasi tua waspada untuk tidak meninggalkan generasi penerusnya dalam keadaan lemah, termasuk dalam bidang ekonomi (al-Thabari, 2000). Ini menunjukkan bahwa Islam memerintahkan agar menjadi hamba yang kaya raya, tidak hanya segi spiritual, melainkan juga segi materiil. Hal yang sangat logis, karena Islam bukan agama yang berorientasi pada akhirat semata, melainkan juga tidak menafikan dunia.
Mengukuhkan penafsiran Imam al-Thabari, Imam al-Wahidi menafsirkan kata خافوا عليهم dalam QS. al-Nisa ayat 11 dengan takut akan kefakiran (al-Wahidi, 1415 H). Artinya, Islam mewanti-wanti pemeluknya agar tidak jatuh kepada kefakiran, baik kefakiran iman maupun materiil. Kebutuhan materiil atau ekonomi sangatlah urgen dalam menunjang kebutuhan hidup. Atas dasar itu, sangat perlu mempertimbangkan aspek ekonomi dalam memilih calon pendamping hidup untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi setelah pernikahan.
Tidak berlebihan jika Karl Max mengatakan bahwa ekonomi adalah hal terpenting dalam kehidupan (Listiano Santoso, dkk. 2005). Terlebih lagi di era sekarang, ekonomi menjadi kebutuhan yang sangat mendasar bagi setiap elemen masyarakat. Tanpa ekonomi, kehidupan sulit untuk berjalan sebagaimana mestinya. Itu berarti, manusia sangat membutuhkan materi, termasuk untuk membina rumah tangga. Kehidupan rumah tangga tentu tidak lepas dari materi. Kebutuhan primer tidak bisa terpenuhi dengan baik tanpa ditopang ekonomi yang baik.
Dengan demikian, selain aspek agama, adalah hal yang bijak untuk mempertimbangkan aspek ekonomi dalam memilih pasangan hidup. Atas dasar itu, menenggang aspek ekonomi dalam memilih pasangan bukan berarti matre, akan tetapi hal yang wajar dan sudah semestinya dilakukan tanpa mengenyampingkan faktor agama.
0 Comments