Ketika Nabi Ibrahim as ingin dicampakkan ke dalam api oleh kaumnya, terlebih dulu ia dihadapkan kepada berhala-berhala, agar kiranya berhala yang mereka pikir memiliki kuasa itu turut membalas, dan membakar lelaki yang telah menentang berhala sesembahan mereka.
Namun, apa yang terjadi justru mempermalukan mereka dan sesembahan mereka. Mereka melihat ternyata sesembahan mereka tak memiliki daya upaya apapun. Karena api yang seharusnya membakar tidak sama sekali menyentuh Nabi Ibrahim as.
Sifat alamiah api atau hukum api itu membakar, tidak seorangpun membantahnya, tetapi Allah Maha Kuasa membalikkan hukum alam, menentang kebiasaan api dengan firman-Nya “ya nâr kûnî bardan wa salâman ‘alâ Ibrâhîm” (wahai api jadilah dingin dan keselamatan atas Ibrahim). Dan Allah bukan berkehendak untuk membebaskan Ibrahim dari api, karena jika Allah berkehendak, bisa saja dengan pertolongan Allah, Ibrahim melarikan diri dari api, atau diturunkan hujan untuk memadamkan api.
Tetapi justru Allah berkehendak untuk memasukkan Ibrahim ke dalam api, agar seluruh manusia khususnya kaum yang ingkar itu menyaksikan, bahwa hukum alam tidak memiliki daya dan upaya untuk memberi manfaat atau mencelakakan, hukum alam itu tunduk pada kuasa Allah, dan Allah Maha Kuasa untuk membalik hukum itu.
Begitupun yang terjadi dengan Nabi Musa as dan kaumnya ketika diburu oleh kaum Fir’aun. Saat tidak menemukan jalan untuk melarikan diri maka kaum Musa berkata “innâ lamudrakûn” _(sesungguhnya kita akan tertangkap) [QS. Asy-Syu’ara : 61].
Apa yang dikatakan oleh kaumnya itu adalah hal yang wajar dan manusiawi, karena saat itu dihadapan Musa dan kaumnya hanya laut dan di belakang mereka adalah tentara Fir’aun yang siap menghabisi mereka. Jika kaum Musa menganggap jalan sudah buntu, tetapi tidak dengan Nabi Musa as, ia justru mengatakan “…kalla, Innâ rabbî ma’î sayahdîn” (sekali-kali tidak demikian, sesungguhnya Tuhanku bersamaku akan memberiku petunjuk) [QS. Asy-Syu’ara : 62].
Saat kaumnya hampir putus asa, Musa justru sangat optimis, mengapa? Karena Musa tidak menyandarkan sesuatu pada hukum alam, tetapi menyandarkan segalanya pada Allah. Dan Allah berfirman kepada Musa “…idrib bi ‘ashaka al-bahr…” (pukullah laut dengan tongkatmu…) [QS. Asy-Syu’ara : 63]. Maka laut itu terbelah, dan airnya naik seperti gunung di tiap sisinya (fan falaqa fa kâna kullu firqin ka at-thaud al-adzhim).
Di sini kita melihat, bahwa sifat dan hukum air itu selalu datar permukaannya, tidak ada yang lebih tinggi antar satu dan lainnya. Tetapi dengan kuasa Allah, air itu melawan hukumnya, membelah dan naik, sehingga tiap sisi belahan laut itu meninggi seperti gunung.
Juga mu’jizat Nabi Isa as, bukan hanya menyembuhkan penyakit-penyakit yang tidak bisa disembuhkan, tetapi dengan kuasa Allah mampu menghidupkan kembali makhluk yang telah mati. Secara hukum, yang mati tak mungkin bisa bangkit kembali, tetapi tidak jika Allah yang berkehendak, bukan hanya mati, bahkan setelah tercerai berai dan tubuh menjadi debu, Allah Maha kuasa membalikkan hukum itu dan membangkitkan makhluk yang telah mati.
Lalu bagaimana dengan mu’jizat Rasulullah saw?. Bahwa seluruh mu’jizat para rasul terdahulu itu hanyalah mu’jizat kauniyyah, yang sifatnya adalah fi’l min af’alillah (salah satu perbuatan Allah), dan perbuatan itu akan selesai jika pelakunya menyelesaikan (temporer). Yang menyaksikan mungkin akan beriman, tetapi yang tidak menyaksikan hanya akan mendapat kabarnya. Kita tidak bisa menyaksikan mu’jizat itu, karena sudah berlalu ribuan tahun yang lalu.
Tetapi tidak dengan al-Qur’an. Al-Qur’an adalah salah satu sifat Allah yaitu “Al-Mutakallim”. Jika perbuatan itu temporer, maka sifat itu kekal selama pemilik sifat itu hidup dan Allah Maha Hidup. Jika mu’jizat para Rasul terdahulu itu berbeda dengan manhaj (kitab) nya, seperti mu’jizat Musa adalah tongkatnya, dan kitabnya Taurat, mu’jizat Isa adalah menghidupkan yang mati dan kitabnya Injil, sedangkan mu’jizat Rasulullah Muhammad saw adalah kitab Al-Qur’an itu sendiri. Dan setiap mu’jizat itu Khariq li al-‘âdah (melawan kebiasaan hukum alam). Kekalnya Al-Qur’an sendiri itu khariq li al-‘âdah, satu-satu mu’jizat yang bisa di saksikan hingga berakhirnya dunia ini.
Maka, yang perlu kita miliki adalah keyakinan yang kokoh akan mu’jizat Al-Qur’an itu, atas setiap huruf yang terdapat di dalamnya, bahwa Al-Qur’an adalah miftahu as-sa’âdah wa an-najâh (kunci kebahagiaan dan kesukesan). Hukum alam boleh dianggap tetap, tetapi kekuasaan Allah lewat mu’jizat al-Qur’an bersifat mutlaq. Dengan keberkahan mu’jizat al-Qur’an sesuatu yang dianggap tidak mungkin menjadi mungkin. Setiap masalah yang dianggap buntu, itu mudah dalam kacamata mu’jizat.
2 Comments