Manusia adalah satu-satunya ciptaan Allah SWT yang secara terang-terangan ditunjuk untuk memainkan dua peran penting dalam proses panjang kehidupan dunia.
Dua peran penting yang diemban oleh manusia dalam waktu yang bersamaan tersebut yakni peran sebagai hamba dan Khalifah-Nya di muka bumi.
Baca juga: Menelusuri Karakter Para Khalifah di Masa Kejayaan Islam |
Dalam konteks mengimplementasikan dua peran yang diamanahkan tersebut, manusia tidak akan pernah lepas dari huriyatul iradah (red; kecenderungan kehendak) yang berkaitan erat dengan konsepsi dasar sebagai ciptaan yang memiliki unsur ruh dan jasad.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-Hijr: 29, “Maka apabila aku telah menyempurnakan keduanya, dan telah meniupkan ke dalam ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepada-Nya dengan bersujud”.
Dalam menafsirkan lafadz “ruh ciptaan-Ku” terdapat berbagai kalangan yang berusaha memberikan kontribusi dalam bingkai pandangan yang disesuaikan dengan latar belakang keilmuannya.
Pemaknaan Para Ulama
Kalangan Sufi memiliki kecenderungan mengartikan lafadz tersebut dengan ruhku, sebab mereka memandang hakikat manusia sendiri tidak lain adalah semata-mata aspek ilahiyah yang wujud (HM. Amin Syukur, 2002: 17).
Pandangan kalangan Sufi di atas secara tidak langsung hendak menunjukkan bahwa hakikat ruh dan jiwa sejatinya bermula dari sumber yang sama. Wujud ilahiyah semata-mata yang menghidupkannya.
Al-Ghazali berpandangan bahwa esensi ruh memiliki dua makna, yakni bersifat jasmani dan rohani.
Berbeda dengan pandangan Ibnu Qayyim yang berusaha mengartikan ruh sebagai jisim yang hakikatnya berlainan dari jisim yang dapat diraba.
Definisi yang dilontarkan oleh Ibnu Qayyim di atas disimpulkan oleh Mahmud Salthut dengan menegaskan ruh sebagai kekuatan yang menyebabkan adanya kehidupan pada segala benda yang hidup.
Atas dasar demikian, timbullah mufakat final di antara Zamarkasyi, Al-Qurtubi dan Ibnu Katsir yang menyebutkan ruh sebagai kesatuan jiwa dan jasad. Simpulan tersebut sekaligus menegaskan bahwa terdapat perbedaan ruh dan jiwa secara signifikan.
Berbeda halnya dengan para Mutakalim yang berusaha memaknai lafadz “ruh ciptaan-Ku” ke dalam tiga golongan.
Pertama aliran Materialisme atau yang kerap familiar disebut Maddiyah menegaskan bahwa segala sesuatu berpusat pada maddah (atom). Mereka memiliki keyakinan bahwa apa-apa yang ada dalam wujud tidak lain adalah jauhar dan ‘aradh.
Jauhar di sini bermakna substansi dari suatu wujud yang dapat mewujudkan dirinya sendiri tanpa bantuan wujud lain. Sementara ‘aradh berarti accident yang dalam eksistensinya membutuhkan entitas wujud yang lain.
Atas dasar itulah selanjutnya aliran Maddiyah membuat simpulan bahwa Tuhan menciptakan badai dan ruh sebagai sifat bagi jasad. Tatanan jasad yang ada pada manusia.
Kedua, aliran Spiritualisme menyatakan jiwa sebagai Jauhar rohani yang mempunyai tabiat ketuhanan dan tidak hancur dengan hancurnya badan.
Pandangan ini nampak bersepakat dengan argumentasi Plato (tokoh berkebangsaan Athena yang familiar sebagai filosof Yunani Klasik sekaligus murid dari Aristoteles) yang menyebutkan jiwa sebagai unsur yang kekal, tidak hancur seiring sirnanya jasad.
Sedangkan yang terakhir, ialah aliran campuran. Kalangan ini lebih cenderung mengartikan jiwa sebagai wujud campuran di antara unsur-unsur tempat atau badan halus yang bertempat dan berjalan dalam alam semesta.
Dari semua pandangan para tokoh dan ilmuwan di atas nampaknya dapat ditarik benang merah bahwa ruh dan jiwa menurut Islam memiliki hubungan langsung dengan Allah SWT, selain itu pada kenyataannya ruh dan jiwa tidak lain adalah unsur terpenting dalam pribadi setiap manusia yang hidup.
Entitas Jiwa dalam Pandangan Ibnu Sina
Kesimpulan mengenai relasi ruh dan jiwa manusia dengan Tuhan di atas sejalan dengan gagasan emanasi Ibnu Sina, di mana materi dan jiwa manusia tidak lain adalah hasil dari kulminasi pengejawantahan wajib Al-Wujud, Allah SWT. Posisinya tepat di bawah bulan, memancar dari Akal kesepuluh.
Lebih jauh, Ibnu Sina mengikuti jejak Aristoteles yang membagi jiwa ke dalam tiga bagian, yakni; al-nafs al-nabatiyah (jiwa tumbuh-tumbuhan), al-nafs al-hayawaniyah (jiwa binatang) dan al-nafs al-natiqah (jiwa manusia).
Al-nafs al-nabatiyah memiliki daya; al-ghaziyah (makan), al-manmiyah (tumbuh) dan al-maulidah (berkembang biak). Hal ini sebagaimana yang melekat dalam segala macam tetumbuhan.
Al-nafs al-hayawaniyah dianugerahi daya; al-muharikah (gerak) dan al-mudrikah (menangkap). Daya menangkap dalam jiwa binatang terbagi menjadi dua; menangkap dari luar yang mengandalkan pancaindera dan menangkap dari dalam yang berpusat pada indera-indera dalam, dengan proses; indera bersama, representasi, imajinasi, estimasi dan rekoleksi.
Sementara al-nafs al-natiqah diberkati dua daya utama; al-amilah (praktis) yang berhubungan dengan badan dan al-nazariyah (teoritis) yang berkorelasi dengan hal-hal abstrak.
Kedua daya tersebut pada kenyataannya memiliki hierarki yang tak dapat ditepis, yakni terdiri dari; pertama, al-aql al-hayulani (akal material) yang semata-mata mengandung potensi bawaan untuk berpikir dan sama sekali belum terlatih.
Kedua, al-aql bi al-mamlakah (akal yang telah mulai dilatih untuk berpikir mengenai segala hal yang bersifat abstrak. Dan yang terakhir, yakni al-aql bi al-fi’l (akal aktuil) yang telah berstatus paripurna.
Paripurna di sini bermakna kemampuan memikirkan mengenai hal-hal yang abstrak, matang dalam latihan sehingga segenap hal yang abstrak melekan di dalamnya serta sanggup menerima limpahan ilmu pengetahuan dari Akal Aktif (malaikat Jibril) secara langsung (Maftukhin, 2012: 109-111).
Jika pada wujud segala macam tetumbuhan hanya bersifat eksklusif terhadap al-nafs al-nabatiyah dan pada segala jenis binatang melekat al-nafs al-nabatiyah sekaligus al-nafs al-hayawaniyah maka pada diri manusia semata-mata semua jiwa itu terhimpun secara insklusif.
Semua jiwa dapat melekat pada diri manusia dan dengan mudah dapat mengendalikan kecenderungan kehendak perbuatannya. Hal itu pula yang kemudian menyebabkan dalam satu waktu manusia mampu memiliki kecenderungan kehendak dan sikap yang kompleks.
Yakni antara tindakan manusia sebagai binatang sekaligus menjadikan dirinya sibuk mengurusi urusan perut dan aspek di atas lutut sebagai pokok kehidupan.
Sementara kehadiran al-nafs al-natiqah adalah hal istimewa yang menjadi anugerah pembeda. Anugerah yang mampu menghadirkan pertimbangan-pertimbangan dalam menghasilkan suatu keputusan yang nampak dalam tindakan.
Formulasi Jiwa dan Konsepsi Etika Sebagai Ekspresi Jiwa
Simpulan rumusan pertimbangan-pertimbangan dalam menghasilkan keputusan dan tindakan yang telah disebutkan di atas, selanjutnya berusaha dijabarkan oleh Ibnu Miskawaih dalam gagasan besarnya tentang etika. Alur penguasaan jiwa terhadap jasmani menjadi tolak ukur dan pusar permasalahannya.
Ibnu Miskawaih menyebutkan, terdapat tiga kekuatan jiwa; syahwiyah atau bahimiyah (nafsu syahwat atau kebinatangan) yang berfokus kelezatan jasmani, sabu’iyah (binatang buas) yang menjadi sumber atas hadirnya kemarahan dan keberanian dan natiqah (akal) senantiasa terpusat pada pemikiran mengenai hakikat segala sesuatu.
Formulasi jiwa yang berlainan dengan pandangan para pendahulunya ini tidak lain karena pendekatannya yang berbeda. Di mana timbulnya sikap dan gerak-gerik aktivitas yang teratur hanya muncul pada kekuatan jiwa kebinatangan dan manusia.
Atau memang ada kesimpulan mendasar yang didapatkan oleh Ibnu Miskawaih, bahwa jiwa tetumbuhan telah menjadi hakikat yang melekat pada jiwa kebinatangan dan manusia. Lantas Ibnu Miskawaih dengan berani mereduksinya.
Selanjutnya ketiga jiwa ala Ibnu Miskawaih tersebut berkompetisi akut, saling sikut-menyikut dan terobsesi untuk merebutkan posisi ideal dalam menguasai diri manusia (jasmani).
Apabila dalam penguasaan ketiga jiwa atas jasmani itu terjadi keselarasan (mengambil porsi yang sama, adil) maka akan sampailah pada tahap kebajikan dan keutamaan manusia.
Adanya keutamaan ini tidak lain berpijak pada kekuatan jiwa manusia. Atas dasar itu pula, Ibnu Miskawaih menyimpulkan ada tiga keutamaan dasar yang dapat menimbulkan keutamaan lain yang disebut sebagai kesempurnaan.
Dengan demikian, secara keseluruhan terdapat empat keutamaan; wisdom (hikmah, kebijaksanaan), kesucian (‘iffah), keberanian (syaja’ah) dan keadilan (‘adalah).
Wisdom tidak lain jelmaan dari keutamaan jiwa natiqah (cerdas). ‘Iffah citra yang ditampilkan dari keutamaan syahwat. Keutamaan jiwa sabu’iyah ialah keberanian. Sedangkan ‘adalah adalah wujud pengejawantahan dari campuran keutamaan sebelumnya.
Selain empat keutamaan yang telah disebutkan di atas, Ibnu Miskawaih juga menegaskan bahwa terdapat pula keutamaan jiwa yang sesuai dengan derajat hakikatnya, yakni upaya manusia memiliki pengetahuan.
Mengapa demikian? Sebab kesempurnaan sejati jiwa hanya akan tercapai dengan pengetahuan dan penyatuan dengan Akal Aktif, sehingga tabir-tabir kerahasiaan yang sakral itu pun akan dinampakan dengan mudah dalam berbagai cara.
Silang sengkarut penguasaan porposionalitas jiwa terhadap jasad inilah yang turut memengaruhi manusia dalam memainkan peran sebagai hamba dan Khalifah-Nya di muka bumi.
Lebih tepatnya dapat dikatakan, penguasaan jiwa terhadap jasad itu terekspresikan dari hadirnya tatanan moral yang terbenam di dalam diri tatkala manusia memainkan segala peran dalam kehidupan. Tak terkecuali tatkala manusia memainkan peran sebagai hamba dan Khalifah-Nya di muka bumi.
Baca juga: Belajar Filsafat Etika Dari Alfred Jules Ayer |
Moralitas Manusia Sebagai Hamba dan Khalifah
Sadar atau tidak, segala tindak-tanduk kehidupannya telah didikte oleh kehendak jiwa yang memenuhi dada sekaligus menggerakkan setia anggota tubuhnya. Putusan kehendak telah banyak menentukan penghakiman atas baik-buruk sikap yang menjadi perangai manusia.
Jika demikian, maka akan ada beberapa kemungkinan yang terjadi tatkala manusia memainkan peran sebagai hamba dalam kontinuitas kehidupan.
Pertama, manusia bisa saja mencapai keutamaan hamba yang bijaksana manakala ia mampu beragama dengan cerdas. Dalam menyikapi semua permasalahan hidup ia berusaha menempatkan akal dalam porsi yang seharusnya.
Berusaha menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, fastabiqul Khoirot dan sikap Ihsan disertai dalil aqliyah di samping naqliyah. Melalui ini setidaknya, ia akan mampu mengamalkan ajaran agama sesuai kontekstualitasnya.
Meski demikian bisa pula sebaliknya. Tatkala manusia menggenggam agama dengan fanatisme dan eksklusivitas hingga akhirnya menimbulkan truth claim, ada kemungkinan besar yang terjadi bukan kedamaian melainkan keterpecahan belahan, rasa tidak nyaman, memancing api permusuhan, dirundung ketakutan hingga leluasa saling melenyapkan.
Kedua, bisa pula manusia mencapai derajat hamba yang ‘iffah dikala ia mampu mengendalikan syahwatnya. Kecenderungan syahwat sendiri senantiasa terpusat pada kenikmatan jasmani yang sesaat dan kadarnya yang terbatas.
Akan sangat dimungkinkan manusia menduduki derajat dan martabatnya yang paling rendah manakala ia mengumbar nafsu syahwatnya. Sebab bagaimanapun nafsu syahwat tidak akan pernah ada ujungnya. Semakin sering tercukupi permintaannya semakin menganga pula pintu dahaganya.
Hampir dapat dipastikan, mereka yang kerap mengikuti kehendak nafsu syahwatnya besar kemungkinan sifat tamak, rakus dan isrof melekat kuat sebagai watak kepribadiannya.
Sayangnya hal itu diimbangi dengan keengganannya untuk memanjatkan syukur atas limpahan nikmat yang ada pada dirinya.
Ketiga, manusia mampu mencapai keutamaan sebagai seorang hamba yang memiliki keberanian tatkala melapangkan dada terhadap semua urusan, menysukuri terhadap apa-apa yang terjadi dan berikhtiar dalam kesempitan.
Keberanian di sini dapat diartikan pula sebagai wujud kesadaran diri total sehingga mampu bersikap tegas tatakala menegakkan antara yang hak dan yang bathil, mendobrak tatanan kehidupan yang timpang, mengutamakan kemaslahatan umat dan turut mendorong berkembangnya peradaban.
Dalam kanteks kontinuitas kehidupan manusia modern hadirnya keberanian di dalam diri manusia merupakan sesuatu hal yang luar biasa. Mengapa demikian? Sebab di era inilah sejatinya manusia sedang diterpa badai ujian.
Bagaimana tidak? Coba saja anda bayangkan. Ingar-bingar perkembangan teknologi informasi yang begitu cepat menjadikan khalayak manusia sebagai makhluk pragmatis-konsumtif yang memiliki ketergantungan atas materialistik.
Polarisasi kerjanya bisa bermula dari sisipan iklan-iklan amoral, tawaran produk yang serba instan, solusi cepat yang mengandalkan tuntutan materi, asimilasi budaya negatif sampai dengan berjejalnya hoax yang tak dapat dibendung.
Lambat-laun sodoran candu itu menyerang kewarasan spiritualitas manusia yang kian hari semakin gersang. Hingga akhirnya menyingkap tatanan kehidupan yang dipandang mapan. Entah itu kemapan norma secara sosial, agama, moral, budaya, pendidikan dan lain sebagainya.
Sebagai bukti konkretnya, kini tak segan lagi kasus-kasus kriminalitas nampak ke permukaan yang ditengarai oleh postingan status di media sosial. Mulai dari persoalan asusila, main hakim sendiri, putus cinta berujung bunuh diri, pertikaian asmara, pembajakan identitas dan lain sebagainya.
Hampir-hampir setiap waktu selalu ada kasus yang membuat kening mengernyit dan terheran-heran karena realitas hidup yang sangat ironis.
Alih-alih membuat ruang baru sebagai tempat mengekspresikan diri dan gejolak perasaan yang terjadi justru persoalan baru yang menambah njlimet tanggung jawab kehidupan.
Dalam menghadapi kenyataan hidup yang semakin membengkak kerumitannya dan semerawut di sana-sini itulah sesungguhnya manusia membutuhkan keberanian supaya tidak terjerumus pada lubang keterpurukan dan keterputusasaan.
Sementara yang terakhir, manusia akan mampu mencapai keutamaan campuran, ‘adalah (adil) di saat ia telah terlatih bersikap profesional dan porposional dalam menyikapi suatu permasalahan sesuai dengan kebutuhan.
Pada tahap ini manusia bergerak menjalani hidup dengan kesadaran total. Ada usaha untuk senantiasa memberikan dan mengupayakan yang terbaik demi kesejahteraan umat.
Di satu pihak yang lain dalam dirinya terbenam suri tauladan yang laiknya menjadi bahan cerminan. Sementara dirinya selalu bersikap bijak, rendah hati dan lapang.
Orang lain menatap dan mendefinisikan kehadirannya sebagai seseorang yang shaleh secara spiritual pula dalam dimensi sosial. Memiliki peran seimbang antara dimensi horizontal dan vertikal.
Terpelihara secara istikamah relasi hablum minalllah, hablum minannas dan hablum minal ‘alam. Tersebutkanlah ia sebagai insan kamil.
Begitu halnya yang berlaku dalam peran manusia sebagai Khalifah di muka bumi. Penguasaan jiwa-jiwa yang bersemayam dalam raga akan banyak berkaitan erat dengan keutamaan-keutamaan sikap yang dihasilkannya.
Pemimpin yang baik sudah barang tentu akan memiliki keutamaan profesionalitas dan porposionalitas yang di dalamnya memuat watak kepribadian sebagai insan kamil.
Dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil selalu dipenuhi pertimbangan matang untuk kemaslahatan dan transformasi diri menuju lebih baik.
Sementara pemimpin yang tak mampu mengontrol kehendak penguasaan jiwa bahimiyah dan sabu’iyah atas dirinya akan lebih banyak membuat kerusuhan, ketidaknyamanan dan teror yang berarti atas khalayak ramai.
Sebagai akibatnya, ketidakadilan dengan mudah akan muncul di mana-mana. Praktik korupsi, kolusi dan nepotisme kian menjamur tak terhingga.
Sementara hukum dan politik adalah kuda hitam tunggangan permainan kesukaannya. Menindas rakyat jelata dengan janji-janji tak berbalas hobi barunya.
Baca juga: Kontestasi Partai Politik dan Gerakan Sosial Islam Pasca Orde Baru |
Namun semua kemafsadatan itu sejatinya bermula dari kecakapan dan kepiawaian diri kita dalam mengendalikan dan mengharmoniskan penguasaan yang digencarkan oleh jiwa-jiwa tersebut.
Jika demikian, lantas, telah sejauh manakah Anda mampu mengendalikan penguasaan jiwa terhadap diri?
Editor: Roni Ramlan
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]
Jadi, bagaimana pendapat Anda tentang artikel ini? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya!
Anda juga bisa mengirimkan naskah Anda tentang topik ini dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
0 Comments