Bisa dikatakan bahwa Manusia adalah makhluk hidup yang miskin, di mana sejak lahir sudah membutuhkan sesuatu untuk bertahan hidup, seperti makanan, minuman, pakaian dan barang-barang yang digunakan untuk menunjang kehidupannya.
Namun manusia seringkali lalai dalam memanfaatkan harta, merasa memiliki padahal ia hanyalah titipan dari Tuhan sang pemberi rezki, seseorang tidak bisa terlepas dari yang namanya harta bahkan para ulama usul fiqh memasukkan persoalan harta dalam lima keperluan pokok atau dalam istilah fiqh disebut al-daruria al-Khamsah yang terdiri dari agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta, dalam hal ini masuk dalam kategori Maqashid Syariah. Harta yang dimiliki oleh manusia, baik yang tampak maupun yang tidak tampak, dalam Islam sudah ada ketentuan dalam menjaga dan memanfaatkannya sebagaimana firman Allah dalam surah al-Isra: 26-27
وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا *إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara Syaitan dan Syaitan itu sangat ingkar kepada Tuhannya” (QS al-Isra:26-27)
Pada ayat di atas Allah melarang hambanya menghambur-hamburkan harta atau berlebih-lebihan dalam membelanjakan harta (baca:boros) dengan membeli sesuatu yang sebenarnya tidak begitu penting, sebagai contoh membeli barang-barang mahal, padahal ia masih memiliki barang yang masih layak pakai dan belum rusak. Apalagi jika sampai berfoya-foya di tempat-tempat maksiat, seperti ke diskotik dan lain sebagaianya.
Salah satu bentuk pelanggaran kepada Tuhan sebagai mana pada ayat diatas adalah para pemboros, setan memang mempunyai misi agar manusia melanggar kepada Tuhannya. Karena segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik.
Setidaknya ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menggunakan harta:
Pertama fungsi harta untuk menunjang ibadah kepada Allah, misalnya sarung/mukena yang digunakan adalah dibeli dari harta yang halal jika di dapatkan dengan cara yang curang maka tidak akan bernilai apa-apa bahkan hanya akan tercatat sebagai dosa.
Kedua memperhatikan diri dan keluarga untuk keberlangsungan hidup dengan memenuhi kebutuhan pokok, yang sangat darurat dalam kehidupan sehari-hari, seperti makan, minum, pakaian, dan sebagainya.
Ketiga setelah menguatkan hablun minallah maka juga harus menjalin dan mempererat hubungan kepada sesama manusia sebab manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa terlepas dari manusia lainnya, sekalipun ia taat kepada Allah jika ia tidak menjalin hubungan baik pada makhluk Allah, maka ia termasuk orang yang melanggar aturan Allah,
Ketika memiliki kelebihan harta maka jalan untuk merefleksikan rasa syukur adalah dengan cara banyak beramal, bersedekah, memberi makan orang yang kelaparan, dan memperhatikan orang-orang yang berada jauh di bawahnya (dalam hal materi) itulah ciri-ciri hamba yang bersyukur, memanfaatkan dan membelanjakan hartanya fi sabilillah. Semakin seseorang bersyukur maka akan Allah akan menambahkan nikmat yang lebih (baca: QS. Ibrahim: 7)
Allah tidak melarang seseorang untuk banyak harta (kaya) dan setiap orang mempunyai keinginan untuk hidup layak dan banyak harta, tetapi jangan sampai kekayaan yang dimiliki menjadikan kita menjadi orang yang angkuh sehingga merasa memiliki dari orang lain. Bisa kita ingat kembali kisah Qarun (yaitu kaum Nabi musa) yang sangat cinta terhadap hartanya merasa semua adalah miliknya, dan berbuat semena-mena terhadap kaumnya padahal tiada lain hanyalah titipan yang harus dijaga dan dimanfaatkan dengan baik, dalam surah al-Qashash 76 Allah berfirman:
إِنَّ قَارُونَ كَانَ مِنْ قَوْمِ مُوسَى فَبَغَى عَلَيْهِمْ وَآتَيْنَاهُ مِنَ الْكُنُوزِ مَا إِنَّ مَفَاتِحَهُ لَتَنُوءُ بِالْعُصْبَةِ أُولِي الْقُوَّةِ إِذْ قَالَ لَهُ قَوْمُهُ لَا تَفْرَحْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْفَرِحِينَ
Artinya: Sesungguhnya Qarun adalah Termasuk kaum Musa, Maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) tatkal kaumnya berkata kepadanya: “Janganlah kamu terlalu bangga; Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri”. ( QS: Al-Qashash: 76)
Padahal dalam ayat tersebut sebelumnya telah diperingatkan oleh kaumnya tetapi ia mengabaikan semuanya, alhasil akibat dari kesombongannya Allah langsung memberikannya hukuman dengan menenggelamkan dirinya beserta harta-harta kedalam perut bumi hingga ia pun ikut tenggelam di dalamnya.
فَخَسَفْنَا بِهِ وَبِدَارِهِ الْأَرْضَ فَمَا كَانَ لَهُ مِنْ فِئَةٍ يَنْصُرُونَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُنْتَصِرِينَ
Artinya: Maka Kami benamkanlah Karun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golonganpun yang menolongnya terhadap azab Allah. (dan) Tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya). ( QS: Al-Qashash: 81)
Dari firman Allah tersebut kita bisa mengambil ibrah bahwa kesombongan hanya akan mengantarkan seseorang pada kebinasaan dan kemurkaan Allah karena sejatinya segala sesuatu yang kita miliki tiada lain hanyalah titipan semata yang harus dijaga, disyukuri dan dimanfaatkan sebaik-baiknya, dan pada akhirnya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah sang pemilik segalanya, bahkan diri manusia dari ujung kaki sampai ujung rambut juga adalah semuanya adalah ciptaan Allah jadi tidak ada sama sekali yang patut untuk di sombongkan.
Ibarat seseorang meminjam uang di bank maka pasti yang meminjam akan mengembalikan apa yang telah ia pinjam bahkan jika melanggar maka pihak dari bank sendiri yang akan turun tangan menagih akibat dari konsekuensi yang telah disepakati oleh kedua belah pihak dengan waktu yang telah ditentukan begitpun dengan apa yang dititpkan Tuhan pada manusia seberapa lama manusia memilikinya pasti akan ada saat dimana ia akan mempertanggungjawabkan semuanya di hari kemudian.
Sebagaimana yang telah diatur dalam tatanan maqashid al-Syariah bahwa untuk seseorang wajib menjaga harta (hifzh al-mal) serta memproteksi harta dari hal-hal yang merusak nilainya dalam Islam dan di hadapan Allah. Tujuannya agar harta mengandung keberkahan di kehidupan dunia dan mampu menjadi wasilah penyelamat di kehidupan akhirat.
0 Comments