Artikel ini merupakan rangkuman dari diskusi penulis bersama Muhammad Abqori, Muhammad Akmar, Taufiqurrahman, dan Muhammad Misbahul Munir, yang semuanya adalah mahasiswa Magister UIN Sunan Kalijaga. Kali ini kami membahas tentang Alfred Jules Ayer, seorang filosof kelahiran London tahun 1910. Tulisan ini berfokus pada etika emotivistik perspektif Alfred Jules Ayer.
Sebagaimana dalam diskusi sejarah filsafat, etika adalah cabang filsafat yang amat berpengaruh sejak zaman Socrates. Etika membahas baik buruk atau benar tidaknya tingkah laku dan tindakan manusia serta sekaligus menyoroti kewajiban-kewajiban manusia. Etika tidak mempersoalkan apa atau siapa manusia itu, tetapi bagaimana manusia seharusnya berbuat dan bertindak. Sedangkan Emotifisme adalah pandangan metaetika yang mengklaim bahwa kalimat etis tidak menyampaikan proposisi, melainkan sikap emosional.
Sebagai penganut Positivisme Logis, Ayer harus menyangkal keabsahan penilaian moral. Lebih jauh, Ayer lebih dahulu menjelaskan serta membedakan empat hal yang dapat dipersoalkan dalam kaitan dengan kemoralitas.
Pertama, orang dapat memeriksa definisi konsep moral dan keabsahan pernyataan moral, misalnya orang dapat mempertanyakan arti kata “baik” ia dapat memeriksa arti sebuah kalimat yang menyatakan bahwa sesuatu itu baik. Kedua, ia dapat melukiskan apa yang terasa dalam pengalaman moral, misalnya perasaan sesal. Ketiga, orang dapat menganjurkan untuk bertindak secara moral, misalnya agar orang jangan bohong. Keempat, orang dapat membuat pernyataan moral, misalnya bahwa mencuri tidak dapat dibenarkan atau bahwa Adolf Hitler orang yang jahat.
Menurut Ayer pernyataan-pernyataan kedua dan ketiga tidak termasuk etika. Menjelaskan perasaan moral termasuk bidang psikologi, dan anjuran moral termasuk bidang sosiologi. Yang dalam tradisi filsafat yang menjadi tugas utama etika masuk pada kelompok bagian keempat. Etika mempertanyakan pembenaran pernyataan-pernyataan moral seperti itu. Itulah yang disebut etika normatif.
Sesuai dengan keyakinan positivisme logis, Ayer menyangkal bahwa pernyataan moral menyatakan sesuatu apapun, oleh karena itu juga tidak masuk akal untuk mempertanyakan pembenarannya. Pendek kata, Ayer mau menunjukkan bahwa etika normatif tidak masuk akal. Satu-satunya tugas etika adalah pendekatan pertama, analisis logis terhadap bahasa moral, hal yang memang merupakan tugas meta-etika.
Ayer mengatakan bahwa apa yang kelihatan sebagai penyataan, sebenarnya bukan penyataan sama sekali. Melainkan ungkapan perasaan dalam bentuk gramatikalis yang keliru, disertai perintah dan anjuran. Misalnya orang yang menyatakan “berhubungan seks di luar perkawinan adalah perbuatan yang tidak baik”, sebenarnya tidak mau mengatakan bahwa berzina itu perbuatan yang tidak baik, melainkan hanya mengungkapkan perasaan tidak enak, jijik atau menolak yang memenuhinya berhadapan dengan perzinaan, disertai dengan harapan agar orang jangan mau berzina.
Kata-kata moral itu tidak mempunyai arti kognitif, melainkan bersifat emotif. Dalam hubungan ini, Ayer menolak sebuah teori emotif yang mirip dengan pandangannya sendiri, tetapi lewat pintu belakang menyelundupkan kembali suatu makna kognitif ke dalam pernyataan nilai. Menurut teori itu, pernyataan tentang seks di luar perkawinan tadi harus ditulis “Aku menyatakan bahwa aku merasa jijik terhadap hubungan seks di luar perkawinan”. Pernyataan ini memang tidak dapat diverifikasi karena menyangkut perasaan yang bersangkutan, dan ini sebuah realitas batin, akan tetapi masih dapat ditentang.
Namun menurut Ayer, penjelasan ini tidak sesuai, mengungkapkan sebuah perasaan tidak sama dengan sebuah pernyataan tentang perasaan itu. Misalnya berucap “Dosen telah datang” tidak sama dengan “saya mendadak merasa sakit”. Ucapan yang pertama hanya dapat disaksikan, sedangkan yang kedua dapat dibantah meski tidak diverifikasi, misalnya “anda bohong, anda tidak merasa sakit sama sekali.”
Jadi menurut pandangan Ayer, dalam masalah ini memang ada yang diperdebatkan, tetapi itu bukan penilaian itu sendiri, melainkan unsur-unsur faktual yang berkaitan. Misalnya, apakah hubungan seks di luar perkawinan itu merugikan yang bersangkutan atau orang ketiga, apakah agama menyetujuinya, dan seterusnya. Tetapi orang tidak mungkin berdebat tentang apakah hal itu dinilai positif atau negatif. Karena yang terakhir ini, menurut Ayer tidak mempunyai arti. Maka menurut Ayer, sebenarnya masalahnya bukan pada penilaian, melainkan orang mempunyai perasaan berbeda-beda terhadap –misalnya- hubungan seks di luar perkawinan.[]
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂
Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
2 Comments