Etika Persahabatan Aristoteles: Refleksi Antara Gus Dur dan Etnis Tionghoa

"Jika seorang yang baik menjadi teman, ia menjadi seorang yang baik bagi orang yang berteman dengannya". 4 min


1
1 point
Sumber foto: www.nu.or.id

Mengapa manusia bersahabat? Sebuah pertanyaan mendasar di dalam kehidupan. Sudah sejak dahulu pertanyaan itu muncul menjadi sebuah alat untuk memahami manusia dan realitas sosialnya.

Salah satu pemikir yang mempertanyakan ‘mengapa kita memerlukan persahabatan?’ adalah Aristoteles tentang persahabatan yang tertuang di dalam bukunya berjudul Ethika Nikomacheia yang terdiri dari 10 bab.

Dalam buku tersebut Aristoteles mendeskripsikan persahabatan sebagai suatu jenis keutamaan dan kebajikan, karena pada dasarnya dalam memahami persahabatan terkandung sebuah nilai yang berkaitan erat dengan ranah individual, ranah privat, dan ranah publik.

Persahabatan dalam diri manusia di mulai dengan adanya suatu kehendak untuk berbuat baik, sehingga melahirkan sentimen kebaikan yang berkaitan dengan ruang privat.

Seorang anak bersahabat dengan orang tuanya yang didasarkan atas ikatan saling mengasihi dan mencintai merupakan persahabatan yang baik, serta hubungan antara manusia dan dewa yang berlandaskan keutamaan yang saling berbagi. Maka, persahabatan tidak lepas dari ruang publik secara keseluruhan.

Manusia pada dasarnya tidak mampu hidup dalam artian merealisasikan segala potensi yang dimilikinya tanpa asosiasi moral dengan orang lain. Meskipun terdapat tingkat perbedaan sifat, misalnya, yang tidak jarang membuat dirinya menjadi terasingkan karena sikap moralnya rendah.

Baca juga: Hakikat Manusia

Maka kemudian, manusia dengan segala daya rasionalnya membentuk sebuah komunitas politik (negara). Di dalamnya, manusia kemudian membentuk kehidupan bersama sebagai sesuatu yang alamiah.

Sebagaimana Aristoteles katakan, bahwa persahabatan merupakan kebajikan yang penting dalam membentuk kehidupan bersama. Dalam hal ini, Aristoteles membagi bentuk 3 persahabatan yang mengandung motif tertentu di dalam menjalin relasi dengan yang lain; yakni kenikmatan, kegunaan, dan keutamaan.

Pertama, persahabatan yang didasarkan kepada kegunaan adalah persahabatan yang dibangun atas dasar manfaat. Orang akan melupakan persahabatan jika akhirnya sudah tidak berguna. Kedua,persahabatan yang dibangun atas dasar kesenangan. Ia pun akan cepat hilang dan runtuh ketika kesenangan yang diharapkan tidak kunjung terwujud.

Kedua motiviasi di atas menurut Aristoteles adalah sebuah persahabatan yang tidak akan berlangsung lama. Selain kedua jenis persahabatan tersebut, kemudian Aristoteles menggunakan pendekatan “jalan tengah”. Ketiga, dengan membentuk persahabatan yang sempurna yaitu, persahabatan yang didasarkan atas kebaikan (kebajikan) satu sama lain.

Dalam persahabatan atas dasar kebaikan (kebajikan) terdapat sebuah nilai relasi partisipatoris.Sebagaimana Aristoteles katakan; “jika seorang yang baik menjadi teman ia menjadi seorang yang baik bagi orang yang berteman dengannya. 

Maka, setiap pihak tersebut keduanya mencintai kebaikan dan membuat balasan yang sama terhadap kebaikan”, yang kemudian melahirkan nilai-nilai kesetaraan.

Persahabatan ini dikatakan Aristoteles sebagai persahabatan yang tinggi dan berkeutamaan (rendah hati, jujur, sabar, murah hati, dan rajin) sebagai motivasi yang harus diperjuangan bersama. Menurut Aristoteles lagi, pada dasarnya dalam persahabatan juga terdapat nilai luhur, yaitu cinta.

Dalam kerangka pemikiran Aristoteles, persahabatan merupakan urusan moral yang berangkat dari sebuah konsep tentang kebaikan (kebajikan). Hal ini kemudian mampu menjadikan persahabatan (sebagaimana diuraikan Aristoteles) untuk mencapai landasan politik yang berangkat dari kerja sama demi membangun sebuah komunitas politik yang terarah pada cita-cita kebaikan bersama.

Pada dasarnya, hubungan yang dibangun demi kebaikan akan membawa kepada harkat martabat kemanusiaan itu sendiri. Dalam arti lain persahabatan merupakan hakekat dari kemanusiaan, dibandingkan dibangun di atas alasan kegunaan dan kenikmatan yang akhirnya menimbulkan berbagai ketimpangan sosial seperti konflik dan lain sebagainya.

Menurut penulis, jika kita ingin melihat persahabatan sebagaimana dikemukakan oleh Aristoteles dalam bentuk nyata (riil), kita dapat melihat sosok Abdurahman Wahid (Gus Dur) tatkala mampu membangun persahabatan yang penuh kebajikan dengan komunitas Tionghoa.

Baca juga: Memandang Etnis Tionghoa Melalui Kacamata Persaudaraan

Bahkan tanpa ragu-ragu Gus Dur berujar: “Saya ini China tulen sebenarnya, tapi ya sudah nyampurlah dengan Arab dan India. Nenek moyang saya orang Tionghoa asli”, ungkap beliau dalam talkshow bertajuk “Living in Harmony The Chinese Heritage in Indonesia”. di Mal Ciputra pada tahun 2008 lalu.

Lebih lanjut Gus Dur menjelaskan bahwa dirinya adalah keturunan Putri Champa yang menjadi selir salah satu dari raja Kerajaan Majapahit, Prabu Brawijaya V.

Dari perkawinannya dengan Prabu Brawijaya V, Putri Champa ini mempunyai dua anak: laki-laki bernama Tan Eng Hian dan perempuan bernama Tan A Lok. Tan Eng Hian mendirikan kerajaan Demak dan akhirnya berganti nama menjadi Raden Patah.

Contoh di atas adalah salah satu dari sekian banyak hal yang dapat dijadikan pelajaran. Proses persahabatan dalam kerangka pluralisme atau toleransi agama dapat dibangun tanpa membanding-bandingkan ras dan kesukuan serta mampu merangkul setiap elemen masyarakat yang “tersisihkan”.

Gus Dur secara telah menempatkan etnis berbeda secara setara berdasarkan kemanusiaan saling memiliki cinta kasih.

Fenomena Gus Dur dan etnis Tionghoa terasa berbeda dengan realitas saat ini. Hari ini banyak di antara kita menjalin persahabatan hanya berdasarkan kepentingan sesaat. Maka tidak heran jika dalam pergaulan sehari-hari kita sering mendengar guyonan yang sebenarnya lebih kepada sindiran: “kalau lagi susah ingat temen, tapi kalau lagi senang lupa”.

Guyonan bernada sindirian di atas terkadang tak lepas dari sikap kita yang hanya memandang sahabat sebagai kesenangan sesaat.

Melalui jalinan persahabatannya, Gus Dur dikenang abadi meski secara lahiriah telah tiada oleh etnis Tionghoa. Mereka selalu mengenangnya sebagai “Bapak Tionghoa Indonesia”.

Pemberian gelar tersebut bukan tanpa alasan, sebagaimana dikatakan oleh Sugiri Kustejo, akademisi sekaligus tokoh Tionghoa dalam talkshow bertajuk “Makna Peletakan Sinci Gus Dur” pada tahun 2014 lalu.

Beliau mengatakan bahwa etnis Tionghoa mengenal Gus Dur sebagai sosok yang telah menghapus kekangan, tekanan dan prasangka terhadap kaumnya.

Memang, di masa lalu, etnis Tionghoa kerap mendapatkan stigma buruk baik dari pemerintah Indonesia, maupun masyarakat pada umumnya. Stigma tersebut umpamanya jika terjadi hal buruk menimpa masyarakat, maka kaum Tionghoa menjadi tumbalnya.

Gus Dur dinilai telah bersahaja menjadikan semua warga negara menjadi setara.

Aktualisasi Gus Dur dalam mengangkat harkat martabat etnis Tionghoa menjadi setara pun dilakukan salah satunya dengan menyelesaikan masalah diskriminasi terhadap etnis Tionghoa di Indonesia.

Melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000 pada 17 Januari 2000, mencabut Inpres No. 14/1967 berisi pelarangan kegiatan peribadatan etnis Tionghoa di ruang publik.

Kebijakan Gus Dur ini pun telah melahirkan kebebasan etnis Tionghoa dalam menjalankan ibadah, ritual, dan adat istiadat secara sah di mata hukum.

Baca juga: Pemikiran Progresif Gus Dur

Sikap Gus Dur terhadap etnis yang berbeda sebagaimana telah dilakukannya sesuai dengan perkataan Aristoteles di atas, “jika seorang yang baik menjadi teman, ia menjadi seorang yang baik bagi orang yang berteman dengannya. Maka, setiap pihak tersebut keduanya mencintai kebaikan dan membuat balasan yang sama terhadap kebaikan”, yang kemudian melahirkan nilai-nilai kesetaraan.

Editor: Sukma Wahyuni

 _ _ _ _ _ _ _ _ _
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂

Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!

Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!


Like it? Share with your friends!

1
1 point

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
2
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
3
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
0
Wooow
Keren Keren
2
Keren
Terkejut Terkejut
0
Terkejut
R. Dimas Sigit Cahyokusumo
Sang Pembelajar

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals