Para pejabat, terutama di Kemenag, sedang galau. Pasalnya, salam yang biasa mereka ucap dibilang syubhat dan bid’ah yang sesat. Oleh MUI Jawa Timur, lalu diaminkan oleh guruku, Buya Sekjen MUI Pusat dan sahabatku, Ketua MUI Sumbar. “Salam sejahtera bagi kita semua, Shalom, Om swastiastu, Namo buddhaya, Salam kebajikan”. Begitu biasa diucap setelah “Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh”. Salam untuk enam agama. Saya pun cukup fasih melafalkannya. Di acara dihadiri tokoh-tokoh agama.
Sebagai sebuah himbauan sah-sah saja. Apalagi dari institusi MUI. Yang sangat dihormati. Tapi di ranah akademik kita bisa diskusi. Yang pasti, ini soal khilafiah. Tak perlu cepat-cepat memvonis bid’ah, syubhat dan sesat yang mengundang murka. Apalagi sampai berkata, pejabat yang berucap adalah “pemimpin jahil yang sesat dan menyesatkan”. Seperti kata sahabatku seperguruan.
Bukalah kitab tafsir al-Qurthubi. Atau kalau mau lebih lawas, tafsir al-Thabari. Mereka jelaskan ikhtilaf ulama. Kata mereka, ‘bersalam’ untuk kafir non-harbiy (tidak memerangi) tak mengapa. Itu bagian dari ‘berlaku baik dan adil’ yang tidak dilarang sesuai QS. al-Mumtahanah: 8. Nabi Ibrahim juga bersalam kepada bapaknya yang kafir, “Salaamun ‘alayka” (QS. Maryam: 47).
Nabi Ibrahim hanya ditegur ketika ‘istigfar’, memintakan ampunan untuk bapaknya (QS. Al-Taubah: 113-114). Tak boleh memang beristigfar untuk mereka. Begitu kata Sufyan bin Uyaynah, ulama tabi’in kenamaan. Al-Qurthubi pun sepakat. Kalau ada maslahat mendesak (maslahah raajihah), karena hubungan pertemanan, atau bertetangga, atau sesama warga negara dan warga bangsa yang berjanji hidup damai bersama, silakan bersalam kepada sesama. Hadis yang larang memulai bersalam, konteksnya dalam situasi perang atau bermusuhan.
Apakah itu ‘barang baru’, alias bid’ah. Tidak! Ulama salaf melakukannya. Sahabat Nabi, Ibnu Mas’ud biasa lakukan. Sahabat lain, Abu Umamah, siapa saja disalami olehnya. Muslim atau kafir. Kata dia, bukankah agama mengajarkan kita untuk menebar salam kedamaian?
Jadi, bersalam berarti mengikuti ulama salaf. Alias, “salafi”, hehe. Tidak mau bersalam juga tidak mengapa. Seperti kata ulama al-Awza’i, “Anda bersalam berarti anda mengikuti ulama salaf-salih. Anda tak bersalam juga mengikuti ulama salaf salih”. Jadi, saling menghormati saja. Tak perlu bawa-bawa soal bid’ah, syubhat dan sesat. Bagi saya, daripada menebar kebencian lebih baik tebar salam kedamaian. Kayaknya, kita masih “perlu ngopi” lebih jauh lagi, hehehe. Bagi saudara-saudaraku penganut agama lain tak perlu resah. Ini hanya dinamika internal yang akan membuat ‘kopi’ kami semakin kental.
One Comment