Tafsir Maqashidi Surat al-Mujadilah: Sebuah Pembelaan Kaum Perempuan dan Perlawanan Terhadap Diskriminasi

Pentingnya mendengarkan suara perempuan dan menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan3 min


Prof. Abdul Mustaqim
Prof. Abdul Mustaqim saat mengisi seminar di kampus (sumber: iat.uin-suka.ac_.id.)

Saya menyambut gembira dan bangga atas terbitnya buku “Tafsir Maqashidi Surat al-Mujadilah” yang merupakan hasil eksperimentasi akademik para mahasiswa IAT IAIN Salatiga. Berkat kerja keras mereka dan para dosen sebagai narasumber, pembimbing dan teman-teman di PSQH UIN  SUKA Yk, dan PP LSQ ar-Rohmah Yk, buku tersebut akhirnya bisa terbit.

Buku ini tentunya memuat perspektif baru, yaitu dimensi maqashidi yang ada dalam kandungan surat al-Mujadilah itu seperti apa? Mengapa surat itu diberi nama al-Mujadilah, bagaimana pesan moral dan maqashid yang terkandung dalam kisah dis-harmoni antara Khaulah binti Tsa’labah dan Aus bin  Shamit? Ini tentu menarik dan inspiring, jika dibaca melalui tafsir maqashidi: sebuah pendekatan tafsir yang hendak menyelami dan mendedah pesan kalam Tuhan, bukan hanya dari sisi pemahaman linier tekstual, tetapi ingin masuk lebih dalam, yakni menggali pesan filosofis-maqashidnya.

Baca Juga: Tafsir Maqashidi Sebagai Basis Moderasi Islam (Abstraksi Pidato Pengukuhan Guru Besar)

Ketika saya diminta untuk memberi materi tentang “Perspektif Tafsir Maqashidi” dalam penafsiran Surat al-Mujadilah, maka saya katakan bahwa Surat ini sebenarnya mengandung maqashidi yang luar biasa, yaitu  Pembelaan Eksistensi  Kaum Perempuan dan Perlawanan terhadap Deskriminasi Kaum Perempuan.” Di dalamnya juga secara implisit berisi tentang deklarasi kesetaraan laki-laki dan perempuan.

Surat tersebut diawali dengan penegasan atau ta`kid, yaitu: ”Qad sami’a Allahu qaula allatî tujâdiluka fî zaujihâ wa tasytakî ilâ Allâh….” Bahwa Allah  Swt sungguh mendengarkan suara perempuan yang mendebat kamu, Muhammad, dan dia mengadu (curhat) kepada Allah Swt…”. Kata Tujâdilu adalah bentuk musyârakah  yang menunjukkan keterlibatan dua pihak dalam sebuah aktifitas. Dalam hal ini adalah perdebatan antara Khaulah binti Tsa’labah dengan Nabi Saw.

Bahkan Allah Swt pun berkenan mendengarkan suara perempuan tersebut, yakni rintihan dan keluhan Khaulah binti Tsa’labah yang di-zhihar oleh suaminya, Aus bin Shamit secara semena-mena, tanpa alasan yang masuk akal. Itu artinya, bahwa suara perempuan harus didengarkan dan diperhatikan, tidak boleh diabaikan.

Baca Juga: Gender: Dari Kesetaran dan Keadilan Menuju Pendekatan Tafsir

Secara konteks, baik mikro−melalui  riwayat sabab nuzûl, sebagaimana dapat dibaca dalam Kitab Asbab Nuzul  karya al-Wahidi−maupun konteks makro, seperti terdapat beberapa literatur kitab Tafsir dan sejarah, kita bisa mengetahui bahwa ayat tersebut turun terkait dengan kisah zhihar yang dilakukan oleh Aus bin Shomit terhadap istrinya, yaitu Khaulah binti Tsa’labah.

Konsep zhihar, saat itu, di zaman jahiliyah dianggap sabagai bentuk perceraian. Dalam saat yang sama, zhihar adalah bentuk kesewenang-wenangan laki-laki terhadap perempuan. Hegemoni patriarki sedemikian kuat, hingga nyaris tidak ada negosiasi. Khaulah binti Tsa’labah lalu protes atas realitas masyarakat Arab. Protes awalnya tidak mendapat respon yang ‘memuaskan’ dari Nabi Saw,  maka ia protes langsung kepada Allah Swt dan akhirnya turun ayat tentang zhihar.

Dengan mengikuti ayat-ayat yang ada di awal-awal Surat al-Mujadilah, kita bisa memahami bahwa  relasi eksistensial ibu dan anak ditandai salah satunya dengan “proses melahirkan”, maka penisbatan ibu secara biologis, yang tidak  terkait dengan proses melahirkan dinilai bohong. Itu sebabnya ucapan zhihar dinilai  sebagai ucapan munkar dan  kebohongan, sebab tidak sesuai dengan fakta dan realita.

Nah, Islam melakukan rekonstruksi tatanan sosial yang bias patriarki menuju pada kesetaraan. Konsep zhihar mengalami dekonstruksi dan rekonstruksi,  dari yang tadinya cermin hegemoni laki-laki menjadi sebuah mekanisme sosial (social mechanism) untuk tawar-menawar antara suami-istri dalam memperbaiki konflik rumah tangga. Maka, suami yang melakukan zhihar  (menyamakan punggung istrinya dengan  ibunya, dalam rangka mengharamkan dirinya untuk berhubungan seks dengan istrinya), ia wajib membayar kaffarah (tebusan atau hukuman), jika ia ingin kembali kepada istrinya, atau mencabut ucapan zhihar-nya.  Hal itu memilki tujuan (maqashid) antara lain,  agar suami tidak  bersikap sewenang-wenang terhadap  istrinya.

Lalu apa denda atau tebusan (kaffarahnya)? Dendanya adalah memerdekakan budak. Konsep kaffarah dengan memerdekaan budak memiliki maqashid, yaitu hifz  al-nafs (menjaga jiwa manusia, dan menghargai nilai kemanusiaan); bahwa budak harus dibebaskan, ia harus dijaga dimensi kemanusiaanya. Jika ia (suami yang melakukan zhihar) tak mampu, maka diganti dengan berpuasa dua bulan berturut-turut.  Di sini tampak bahwa hukuman  itu diharapkan ada efek jera, sehingga seseorang tidak mengulangi perbuatan buruknya lagi.  Maka dari sini, kita bisa berkata bahwa maqashid dari berpuasa adalah shalah al-fardi (memperbaiki inividu) meminjam istilah Abdul Karim Hamidi dalam kitabnya, al-Madkhal ila Maqashidil Qur’an. Maka, bagi suami tersebut, hal ini akan mengantar kebaikan rumah tangga menuju shalah mujtama (kebaikan sosial atau masyarakat). Sebab masyarakat yang baik terdiri dari individu-individu yang baik pula.

Selanjutnya, jika suami yang men-zhihar tak mampu puasa dua bulan berturut-turut, maka ia wajib memberi makan 60 orang miskin. Ini jelas maqashid-nya adalah hifz mal (menjaga harta), yakni bisa memperbaiki ekonomi kaum fakir miskin, dan hifdz nafs (menjaga jiwa mereka agar tidak kelaparan dan mati).

Di situlah shalah mujtma’ kemasalahatan sosial juga akan terwujud. Kemudian jika suami tidak ingin kembali ke istrinya, maka ia wajib menjatuhkan talak, dan jika tidak mau menjatuhkan talak, atau tak sanggup kaffarah, maka posisi zhihar akan dianggap sebagai sumpah ila’ dan hubungan pernikahan suami-istri putus selamanya, tak boleh ada rujuk lagi. Hal ini sebagaimana pernah terjadi pada kasus yang menimpa Salamah binti Shakhr al-Bayadli. Demikian dibaca dalam Muhammad bin Thahir Ibn `Asyur,  al Tahrir wa Tanwir, Jilid  11,juz 28 hlm 17 ).

Baca Juga: Pendekatan dan Analisis dalam Penelitian Al-Qur’an dan Ilmu Tafsir

Pendek kata, jika disimpulkan, maka maqashid ayat-ayat yang berbicara tentang kasus zhihar tersebut adalah: 1) menjaga agama melalui hukuman kaffarah puasa, 2) menjaga harta melalui hukuman kaffarah memberi 60 orang miskin, 3) meneguhkan dimensi kesetaraan 4) dan keadilan, 5) serta pentingnya menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Di samping itu, juga terdapat  dimensi maqashid lain, khususnya dalam konteks merespon isu gender, yaitu: pentingnya mendengarkan suara perempuan, menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan, memberi efek jera terjadap  pelaku kezaliman dan kekerasan terhadap kaum perempuan. Wa Allâhu ’alam bi al-shawab.

Editor: Ainu Rizqi
 _ _ _ _ _ _ _ _ _
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂

Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!

Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!

 


Like it? Share with your friends!

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
1
Sedih
Cakep Cakep
0
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
13
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
1
Wooow
Keren Keren
3
Keren
Terkejut Terkejut
0
Terkejut
Prof. Dr. H. Abdul Mustaqim, M.Ag.
Prof. Dr. H. Abdul Mustaqim, M.Ag. adalah Guru Besar Ilmu Al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga dan Pengasuh Pesantren Mahasiswa LSQ (Lingkar Studi al-Qur’an) ar-Rohmah Yogyakarta.

2 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals