Keadilan dan kesetaraan adalah dua kata yang saling bergandengan dan tidak terpisahkan. Menurut beberapa pendapat, Dr. Ruhaini Dzuhayatin misalnya. Beliau menjelaskan bahwa keadilan adalah proses menuju sebuah kesetaraan.
Namun berbeda dengan Dr. Nur Rofiah yang menjelaskan bahwa kesetaraan saja tidak cukup harus sampai pada pemahaman keadilan hakiki antara laki-laki dan perempuan. Penjelasan kedua tokoh ini sebenarnya tidak terlalu bermasalah untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan pada laki-laki dan perempuan.
Jika kita melihat pengertian kesetaraan adalah tata politik sosial di mana semua orang yang berada dalam suatu masyarakat atau kelompok tertentu memiliki status yang sama. Sedangkan keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Menurut banyak teori, keadilan mempunyai tingkat kepentingan yang sangat besar. Maka dari itu, tidak mudah untuk mencapai sebuah keadilan.
Membincang keadilan hakiki, kita harus mengawali dari posisi laki-laki dan perempuan di hadapan Allah. Seperti halnya menjadi khalifah di bumi, mewujudkan kemaslahatan, beriman kepada Allah dan beramal shaleh adalah kewajiban seluruh manusia tidak hanya laki-laki namun juga perempuan.
Dalam mewujudkan kemaslahatan universal, seorang Muslim maupun Muslimah harus mengawali dari yang terkecil yaitu keluarga. Membentuk keluarga yang sakinah juga menjadi tanggung jawab baik suami maupun istri. Ketersalingan antara keduanya adalah kunci dari terwujudnya kesetaraan gender dalam keluarga.
Setelah itu, keluarga yang sakinah akan membentuk khairu ummah atau masyarakat yang ideal. Begitupun selanjutnya akan terbentuk negara yang makmur (Baldatun Thayyibah) dan terwujudnya kemaslahtan universal yaitu rahmatan lil alamin.
Ada dua wajah dalam integritas keilmuan. Allah menciptakan alam untuk melahirkan ilmuwan dengan berbagai teorinya yang kemudian melahirkan ilmu hukum. Di satu sisi ada ilmu agama yang dilahirkan dari al-Quran melalui tafsirnya. Dua keilmuan ini tidak boleh dipisahkan demi terwujudnya kemaslahatan di bumi ini. Ilmu umum tidak berdiri sendiri tanpa adanya ilmu agama, begitu sebaliknya.
Keadilan hakiki bagi perempuan akan terwujud ketika adanya penghapusan pengalaman sosial berupa stigmatisasi, marginalisasi, subordinasi, kekerasan dan adanya beban ganda.
Jika melihat dari arah tafsir yang berkembang dari dulu hingga sekarang ini, ada tiga tipe yaitu pertama quasi objektifis (makna asal), quasi subyektifis (makna baru), dan quasi objektif-subjektifis (makna asal dan makna baru). Dengan adanya arah tafsir ini, maka kita akan melihat bagaimana keadilan hakiki menjadi sebuah perspektif dalam penafsiran al-Quran.
Dalam menerapkan keadilan hakiki sebagai sebuah perspektif, pertama, memandang proses turunnya al-Quran secara berangsur dan bertahap (tadriij) sebagai hidayah (petunjuk) tentang pentingnya dialog antara nash agama dengan realitas kehidupan. Sikap arif diperlukan dalam merespons realitas kehidupan yang beragam ini dengan mempertimbangkan kesiapan masyarakat dalam melakukan perubahan sosial.
Penerapan ajaran Islam yang berstatus sebagai “Sasaran Antara” harus tetap disikapi sebagai sesuatu yang sementara sambil mempersiapkan kondisi yang memungkinkan tercapainya “Sasaran Akhir” ajaran Islam.
Kedua, mempertimbangkan pengalaman nyata perempuan sekaligus sebagai individu, umat Islam, warga negara Indonesia, dan warga dunia dalam memahami nash agama dan realitas kehidupan. Faktanya, selama lebih dari 1400 tahun sejak Rasulullah saw wafat, telah terjadi perubahan sosial yang sangat signifikan, termasuk perubahan peran dan posisi perempuan dalam segala aspek kehidupan.
Ketiga, menempatkan nilai-nilai keislaman yang sejajar nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan. Ajaran Islam tidak diperbolehkan menjadi justifikasi atas tindakan tidak manusiawi dan arogansi kelompok.
Keempat, memperhatikan perlunya membangun kesalehan individual dan kesalehan sosial (struktural) secara simultan. Kelima, memastikan metode apa pun yang digunakan dalam memahami nash agama dan realitas kehidupan mesti memperhatikan kondisi khas perempuan, baik secara biologis maupun sosial.
Bagaimana menerapkannya dalam sebuah ayat?
Kita harus melihat sebuah ayat secara komprehensif. Mulai dari nilai pra-Islam, Islam dengan al-Quran, tafsir yang sadar gender dan terakhir adanya pengesahan perundangan yang menjadi peraturan keberlanjutan.
Dalam problematika poligami, misalnya, setiap orang yang ingin berpoligami pasti menggunakan QS. an-Nisa [4]: 3 yang memperbolehkan poligami dengan batasan empat istri dan adil. Namun sebenarnya jika kita melihat zaman pra-Islam pernikahan laki-laki dan perempuan tidak terbatas. Laki-laki boleh memilih siapa pun yang ingin mereka nikahi.
Kemudian turunlah al-Quran yang membatasi kebiasaan kaum jahiliyyah dengan empat orang perempuan dengan syarat bersikap adil. Inilah yang disebut dengan target antara. Target antara adalah posisi yang menengahi antara pra-Islam dengan target final.
Dalam problem poligami ini, sebenarnya tidak ada hukum kebolehan untuk memilih empat istri namun lebih pada penekanan atas pernikahan yang monogami. Kenapa begitu? Jika kita lihat lagi QS. an-Nisa [4]: 3 sebenarnya bukan ayat tentang pernikahan namun ayat ini menjelaskan tentang kewajiban menjaga harta anak yatim.
Dengan begitu, sebenarnya tidak ada nash yang menjelaskan tentang kebolehan poligami. Selanjutnya jika kita melihat perundangan di Indonesia dalam UU No.1, Th. 1974 tentang perkawinan pasal 3 (1): asas perkawinan adalah monogami. Inilah akhir dari perspektif keadilan hakiki.
Maka dari itu saatnya kita berbenah, memahami gender bukan hanya sebagai persoalan namun sebagai sebuah pendekatan dalam menafsir ayat-ayat al-Quran.
0 Comments