Konflik Poso menjadi satu dari sekian konflik antar-agama terbesar yang pernah terjadi di Indonesia. Perselisihan panjang Islam-Kristen di daerah tersebut bahkan telah dimulai sejak beberapa tahun silam.
Tahun 2001 menjadi salah satu babak akhir dari tragedi berdarah tersebut. Meluasnya konflik antar agama tersebut bahkan Poso sampai membuat Wapres Yusuf Kala pada waktu itu ikut turun tangan. Dinamika pergeseran pemeluk agama di Poso yang sebelumnya didominasi oleh Muslim lalu kemudian tergantikan oleh agama baru diduga menjadi pemicunya.
Tidak hanya di Poso, konflik agama juga pernah terjadi di Aceh. Kota berjuluk serambi Mekah tersebut pernah dirundung duka mendalam akibat perselisihan yang terjadi antar pemeluk agama Islam dan Nasrani. Perselisihan antara penganut Muslim yang mayoritas dengan pemeluk Nasrani yang minoritas dan meluas pada permasalahan tempat ibadah diberitakan oleh berbagai sumber pemberitaan sebagai pemicunya.
Baca Juga: Konflik Agama dan Upaya Mewujudkan Perdamaian |
Dua preseden tersebut tak pelak menjadi wajah buruk relasi antar-agama yang terjadi di Indonesia. Meskipun masing-masing konflik antar agama tersebut memiliki latar belakangnya masing-masing, namun sesungguhnya ada hal mendasar dan fundamental mengenai perilaku beragama yang patut dipertanyakan atas konflik tersebut. Benarkah agama mengajarkan permusuhan kepada para pemeluknya. Ataukah sesungguhnya ada problem otoritarianisme idiosinkratik pemeluk agama yang memicu mengemukanya beberapa konflik antar agama tersebut?
Saya besar di lingkungan multi-agama. Sewaktu Sekolah Menengah Pertama, saya berkawan baik dengan seorang Kristiani. Bagi siswa sekolah era 90-an, perbedaan keyakinan beragama adalah sesuatu yang biasa dan lumrah terjadi di lingkungan sekolah. Kami berkawan untuk bermain bersama. Titik. Tanpa embel-embel apapun. Bahkan seingat saya, selama kami berkawan baik, hampir tidak pernah saling membicarakan perihal agama. Saya mengetahui bahwa kawan saya penganut Krsitiani dari kebiasaannya yang keluar kelas ketika pelajaran agama Islam berlangsung.
Saya juga berkawan baik dengan seorang pendeta. Saya biasa memanggilnya Romo Jansen. Seorang pemuka Kristen Katolik dan mantan Ketua Sekolah Tinggi Kepastoran di Atambua, Nusa Tenggara Timur. Saya mengenalnya ketika sedang menempuh studi Doktoral di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kami biasa berdiskusi berbagai hal. Mulai dari topik akademik seputar perkuliahan sampai tema yang serius mengenai dialog antar pemeluk agama. Saya belajar banyak hal dari Romo Jansen perihal problematika buntunya dialog antar umat beragama yang terjadi di Indonesia. Disertasi yang sedang ditulisnya juga konsen pada tema tersebut yakni seputar kebekuan dialog interreligious di Atambua. Jadi ia begitu semangat berbicara mengenai dialog antar umat beragama.
Seingat saya terakhir kali kami berdiskusi membahas mengenai Konsili Vatikan II 1962-1965. Romo Jansen menjelaskan bahwasannya konsili tersebut menjadi babak baru era keterbukaan Kristen Katolik terhadap fakta semakin kompleksnya problematika peradaban manusia yang menuntut perhatian banyak pihak termasuk para agamawan. Konsili tersebut juga membahas mengenai penghargaan dan penerimaan Katolik terhadap saudara Muslim karena menurut Romo Jansen, baik Katolik maupun Islam mempercayai Tuhan Allah yang satu dan Esa sehingga Katolik memandang Muslim bukan lagi sebagai orang lain tetapi sebagai saudara.
Keluarga besar istri saya di Madiun Jawa Timur juga tak berbeda jauh, multi-agama. Paman dari istri adalah penganut Kristiani. Sementara Ayah mertua saya sendiri adalah Muslim yang taat dan tokoh masyarakat setempat. Beliau adalah Kyai masjid kampung yang dituakan oleh masyarakat, bahkan beliau menjabat Rais Syuriah NU Ranting di desanya. Meskipun begitu hubungan kekeluargaan dan kekerabatan antar anggota keluarga, termasuk dengan paman yang Kristiani tadi tetap terjalin sebagaimana biasanya. Selama sepuluh tahun lebih saya berinteraksi dengan keluarga besar dari pihak istri, tidak pernah ada konflik agama yang berarti di tubuh keluarga kami.
Ketika ayah mertua memiliki hajatan, paman yang Kristiani hampir pasti hadir meskipun upacara keadatan hajatan tersebut menggunakan budaya Islam yang kental. Istri paman yang juga kristiani datang ikut bantu membantu dan biasa datang ke hajatan tersebut menggunakan jilbab. Bahkan pengarah hajatan atau upacara keadatan dengan budaya Islam di lingkungan keluarga besar istri saya adalah tetangga dekat yang notabenenya juga seorang Kristiani. Kenyataan relasi antar agama yang terjadi di lingkungan keluarga istri memang unik dan menarik. Muslim di Madiun, terutama di lingkungan keluarga istri, meskipun berada di daerah pedesaan bisa dibilang cukup kosmopolit.
Beberapa contoh kasus di masyarakat tersebut di atas menunjukkan bahwasannya hubungan relasional yang terjadi antara umat Muslim dan penganut Kristiani dalam tataran mikro sosial di masyarakat sebenarnya berjalan tidak seekstrim yang dibayangkan. Klaim beberapa pihak mengenai meruncingnya hubungan relasional antara Islam dan Kristen di Indonesia dalam kenyataan tersebut di atas bisa dinilai ahistoris. Kosmopolitanisme antar penganut agama dalam organ paling kecil di masyarakat dalam bentuk hubungan antar individu pemeluk agama yang berbeda memang tidak bisa diklaim ada karena belum ada riset empiris mengenai hal tersebut, akan tetapi beberapa contoh kasuistik di atas setidaknya meyakinkan kita bahwasannya masyarakat Indonesia cukup kosmopolit dalam hal relasi antar-agama.
Lalu pertanyaan selanjutnya adalah, jika kosmoplitanisme penganut agama memang benar adanya di Indonesia, mengapa konflik antar agama di Poso dan Aceh tersebut bisa terjadi?
Baca Juga: Kebebasan Beragama adalah Kehormatan bagi Manusia dari Tuhan |
Kosmopolitansime masyarakat Indonesia hanya fenomena parsial dan bukan kenyataan sosial secara jamak. Relasi antar agama yang terjadi pada masyarakat yang kebetulan memiliki kultur kosmopolit yang kuat boleh jadi akan sangat cair, namun sulit memastikan jika yang terjadi sebaliknya. Pemerintah, baik pemerintah setempat maupun pemerintah pusat, memiliki peran besar dalam hal memitigasi relasi antar-agama yang terjadi di masyarakat dengan struktur sosial rawan konflik.
Masyarakat yang memiliki tingkat heterogentias antar-agama yang tinggi dalam beberapa kasus malah membentuk relasi antar-agama yang cair. Sebaliknya masyarakat dengan tingkat homogenitas yang tinggi dan cenderung mayoritas di salah satu agama cenderung membentuk relasi antar-agama yang tegang. Sifat dasar dan alamiah manusia memang mengunggulkan mayoritas. Jika mayoritas ini tidak bisa dikelola dengan baik maka kekhawatiran adanya agenda mayoritarianisme semakin merajalela patut diperhitungkan.
Konflik antar-agama yang meluas terjadi di Indonesia tak jarang bisa diduga merupakan bentuk ketidakberdayaan pemerintah utamanya pemerintah setempat dalam mengakomodasi dan mengafirmasi aspirasi semua pemeluk agama, baik agama resmi termasuk di dalamnya adalah penghayat kepercayaan, secara merata dan proporsional. Jika akomodasi dan afirmasi tidak berjalan, kemungkinan besar ada problem serius mengenai otoritarianisme penguasa utamanya adalah leading sector yang menangani permasalahan agama utamanya tentu Kementerian Agama, baik di pusat maupun di daerah. Di sinilah pentingnya mengembalikan Kementerian Agama pada fitrahnya yakni menangani permasalahan semua agama yang ada di Indonesia tanpa memdeda-bedakan antara mayoritas dan minoritas.
Relasi Islam-Kristen; Antara Otoritarianisme dan Idiosinkrasi Elit Agama
Diskursus otoritarianisme dalam Islam sebenarnya telah berkembang lama. Otoritarianisme menjadi lahan basa kritik para sarjana muslim kenamaan. Dalam pandangan Khaled M. Abou El Fadl otoritarianisme merupakan pengabaian terhadap realitas ontologis Tuhan dan pengambil-alihan kehendak Tuhan oleh wakil Tuhan sehingga wakil tersebut secara efektif kemudian mengacu kepada dirinya sendiri.
Abdolkarim Soroush misalnya mengkritik perilaku agamawan yang sering bertindak secara otoritatif dan bahkan kelewat batas. Meskipun pemikirannya dilatarbelakangi oleh peristiwa revolusi keagamaan yang terjadi pasca revolusi Iran 1979 dan secara praktis tidak bisa begitu saja digunakan untuk membaca wajah relasi antar agama di Indonesia, akan tetapi kritik Soroush memberikan wawasan baru bagi kita bahwasannya otoritarianisme hanya akan melanggengkan kejumudan berpikir dan menutup ruang demokrasi dan diskusi. Alih alih berkutat pada wilayah-wilayah praktis kemuamalahan yang berdampak pada kemajuan sebuah peradaban negara, otoritarianisme mengembalikan diskusi keagamaan hanya pada wilayah teologis semata.
Tema-tema diskusi keagamaan yang didominasi oleh wilayah teologis seperti yang terjadi di tubuh umat Islam Indonesia sendiri misalnya mengenai kekhilafahan atau NKRI bersyari’ah, maka hal tersebut tak pelak akan mendorong rasa kesukuan atau primordialisme dan menimbulkan diskresi dan sentimen antar umat beragama. Di samping itu, otoritarinisme penguasa yang tidak akomodatif dan afirmatif terhadap aspirasi semua agama yang ada di Indonesia secara merata akan rawan memunculkan kondisi kebijakan politik doktrinal yang dibungkus atas nama agama. Jika hal tersebut terjadi, maka konflik antar agama tentu sulit untuk dielakkan.
Baca Juga: Film Unfinished Indonesia: Merajut Kesatuan dalam Kebhinnekaan |
Lalu pertanyaan selanjutnya yang patut kita ajukan adalah, cukupkah keruntuhan otoritarianisme penguasa mengakhiri konflik antar umat beragama di Indonesia?
Dalam konteks pluralitas keberagamaan masyarakat Indonesia, sebenarnya hal tersebut belumlah cukup. Problem mendasar lain yang sering menjadi pemicu munculnya kembali awan hitam konflik dan sentimen antar umat beragama adalah idiosinkrasi elit agama. Idiosinkrasi adalah sifat-sifat perorangan yang khusus ada pada seseorang, yang membuat ia menjadi lain dari orang kebanyakan.
Sultan Agung Hanyakrakusuma misalnya, seorang penguasa Mataram Islam yang dinilai berhasil dalam melakukan ekspansi kewilayahan kerajaan Mataram dan penyebaran agama Islam di Jawa. Namun idiosinkrasi yang masyhur kita ketahui adalah kegemarannya dalam menyiksa para penentang politiknya dengan memasukkannya pada kandang buaya dan Sultan Agung Hanyakrakusuma begitu menikmatinya.
Dalam kultur masyarakat komunal seperti di Indonesia, pemuka agama memiliki posisi yang strategis di tengah masyarakat. Pemuka agama tak jarang menjadi cermin legitimasi atas otoritas agamanya. Berbeda dengan struktur organisasi atau sebuah lembaga yang terbiasa dengan manajemen supervisi dan berjalannya mekanisme kontrol baik internal maupun eksternal bagi pemegang jabatan di level apapun, dalam agama hampir tidak ada mekanisme supervisi dan kontrol kepada pemuka agama.
Pemuka agama atau elit agama sering dipandang oleh masyarakat awam sebagai otoritas dan kebenaran agama itu sendiri. Tanpa sikap kritis, tidak ada yang tahu apakah titah elit agama adalah titah suci ataukah hanya sentiment dan hasrat dirinya saja. Dalam konteks inilah idiosinkrasi elit atau pemuka agama di Indonesia sering menjadi kabur. Hampir sulit memisahkan atau menegasikan antara subjektifitas dan idiosinkrasi tersebut. Massa agama yang berasal dari masyarakat grassroot jika tidak kritis terhadap elit agamanya rawan terprovokasi, apalagi jika berhadapan dengan elit agama yang idiosinkratik.
Kehidupan relasional Muslim-Kristiani telah berlangsung lama di Indonesia. Dua agama besar di Indonesia ini memiliki beberapa catatan konflik antar agama yang tidak sedikit. Namun begitu, potret mikro kehidupan relasional kedua penganut di kalangan grassroot sebenarnya telah menemui kedewasaannya. Kedewasaan relasi antar penganut kedua agama tersebut memiliki pengancam serius. Otoritarianisme dan Idiosinkrasi elit agama. Dua ancaman serius ini diduga menjadi watak dasar pertikaian keduanya.
Otoritarianisme akan melanggengkan kejumudan berfikir dan menutup ruang demokrasi dan diskusi. Alih alih berkutat pada wilayah-wilayah praktis kemuamalahan yang berdampak pada kemajuan peradaban Indonesia, otoritarianisme mengembalikan diskusi keagamaan hanya pada wilayah teologis semata. Pertarungan argumentasi teologis antar-agama bermula dari otoritarianisme tersebut.
Sementara idiosinkrasi bisa terjadi kepada siapapun. Kepada elit agama manapun. Ia menjadi ancaman serius relasi antar-umat beragama, terutama dalam struktur masyarakat komunal sebagaimana yang terjadi di Indonesia. Idiosinkrasi elit agama hanya akan memperuncing perbedaan antar agama. Perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Bahkan dalam sebuah agama di dalamnya terdapat berbagai macam aliran, golongan, sekte dan madzhab. Kita dihadapkan pada kenyataan beragama yang beragam dan plural. Penyeragaman jelas melawan hukum alam. Oleh karena itulah bersikap kritis serta berupaya memahami dan menghargai perbedaan menjadi pilihan yang paling bijak untuk mengakhiri konflik apapun termasuk yang mengatasnamakan agama.
Daftar Rujukan:
Abou El Fadl, Khaled M. 2003. Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Woman. Oxford: Oneworld Publication.
Bayat, Asef. 1996. The Coming of Post-Islamist Society. Critique: Critical Middle East Studies. No. 9.
Soroush, Abdolkarim. 2000. Reason, Freedom and Democracy in Islam. New York: Oxford University Press.
Wahid, Abdurrahman. 2006. Islamku, Islam Anda, Islam Kita, Agama Masyarakat Negara Demokrasi. Jakarta: The Wahid Institute.
Editor: Ainu Rizqi
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂
Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
0 Comments