Sudah genap 74 tahun usia Indonesia. Itu umur yang lama bagi manusia. Namun untuk zaman peradaban, itu angka yang sebentar. Belum seabad ini, namun Indonesia terseok-seok dengan labil menentukan identitas pribadinya.
Dengan umur sekian tak hanya persoalan konflik identitas saja yang dialami. Keadaan ekonomi sampai pergaulan pun akan menjadi dampak pertumbuhan dan perkembangan “si” Indonesia, “si” NKRI.
Saya akan membahas satu-satu dan memulainya dari awal kemerdekaan. Masa kemerdekaan adalah fase kelahiran untuk bangsa Indonesia. Persis dengan bayi yang keluar dari rahim dan kemudian mengoek ‘Merdeka!’. Kami telah bebas dari kungkungan yang mengeram kami dalam janin penjajahan selama berabad-abad.
Menata diri yang masih baru merah lahir sebagai bangsa yang merdeka. Si Indonesia merumuskan aturan untuk bagaimana si bayi kecil bisa merangkak tumbuh lalu berkembang. Sudah perlu waktunya kapan untuk menyusu, tidur, makan kemudian ganti popok. Butuhlah seorang Sang Pengasuh. Orang tua.
Namun dalam kepemimpinan yang pertama, Indonesia bagai bayi yang mampu bertahan dan berjuang demi pertumbuhan dan perkembangannya sendiri. Terkesan sangat berada di atas teori kesannya. Namun terasa uniknya.
Beranjak menjadi anak-anak, Indonesia dalam kepemimpinan yang kedua. Butuh jajan dan segala keperluan dalam kebutuhan masa anak-anaknya. Apa-apa dapat diperoleh si Indonesia dengan mudah. Karena pada masa itu, Indonesia memiliki ‘pengasuh’-nya. Orang tua yang selalu memberi subsidi pada Indonesia. Sekolah, sandang, pangan, dan papan tersedia dalam kehidupan si Indonesia pada fase tersebut. Sebelum menyadari bahwa semua sokongan untuk kebutuhannya harus dibayar kembali. Memang karakter orang tua yang kejam untuk Indonesia yang masih kanak-kanak.
Memasuki fase remaja awal, dalam kepemimpinan yang ketiga, si anak yang bernama Indonesia harus kewalahan menghadapi pemenuhan kebutuhannya. Sebab tak ada lagi sokongan di saat banyaknya kebutuhan. Indonesia yang baru remaja benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Jiwa yang begitu labil menjadi terguncang menghadapi kenyataannya bahwa benar ‘Orang Tua’-nya sangat tidak peduli dengannya. Semua sokongannya diartikan sebagai pinjaman oleh orang tua asuhnya. Pada fase ini (kepemimpinan ketiga) sudah dapat terlihat minat dan bakat si anak, jadi si anak harus lebih pragmatis untuk urusan dirinya.
Umur yang begitu muda saat itu, Indonesia harus berusaha bertahan hidup. Tepat di kepemimpinan yang keempat. Menata ulang pola hidup dan pola pakai. Agar mampu bersaing dengan anak-anak bangsa lain. Di fase ini, saat remaja lah, manusia berada pada titik ambang penetapan jati diri. Indonesia harus menguatkan konsep diri menjadi negara apa dan bagaimana. Belajar dari pondasi adalah hal yang baik untuk memahami diri. Tidak terkesan repot, bukan?
Rupanya Indonesia sangat miskin untuk bertahan sekaligus membayar kebutuhan yang sempat dipinjamkannya dulu. Indonesia di umur yang memasuki remaja madya mulai berkoneksi dengan negara lain untuk bisa menjual beberapa tubuh Indonesia kepada mereka. Satu dua aset Indonesia rasanya tak jadi masalah jika dijual. Itu tepat di kepemimpinan kelima. Demi bertahan hidup.
Memasuki remaja akhir, di kepemimpinan enam dan tujuh adalah waktu lama untuk fase remaja si Indonesia hingga tiba di fase dewasanya. Saat itu adalah fase remaja akhirnya. Indonesia serius untuk berusaha mandiri, berkarya, berproduksi, menghasilkan uang. Tentunya di samping berdikari juga dapat membayar utang sendiri.
Tiba pada fase dewasa awal, di kepemimpinan kedelapan dan kesembilan. Umur ini membawa diri Indonesia merenung ke fase-fase silam. Rupanya masih hidup hingga sekarang. Mengingat kembali cara-cara terdahulu dalam bertahan hidup. Di fase ini, modifikasi dan ketekunan dalam kerja, kerja, dan kerja adalah cara untuk bisa berdikari seutuhnya. Mungkin tak luput dalam fase ini, lingkup pergaulan perlu dipersempit, sehingga yang penting-penting saja untuk pribadi Indonesia dan ada baiknya bagi Indonesia.
Walau langkah ini di umur yang terbilang dewasa akan banyak menumbuhkan musuh akibat rasa cemburu dari negara lain. Maklum, sebab negara dengan perkembangan yang unik akan jadi sorotan teman-teman lain.
Entah di kemudian usia selanjutnya, fase menua akan kembali menjadi anak-anak sifatnya. Biasanya. Seperti yang dialami orang-orang menghadapi orang dengan fase lansianya.
Begitulah secara singkat fase perkembangan abnormal si Indonesia hingga saat ini, menurut saya. Anda boleh saja setuju atau tidak, yang jelas Indonesia butuh kebijaksanaan dalam bertindak dengan segala kedewasaannya karena jika alih-alih sebaliknya Indonesia tidak hanya akan disoraki tapi juga harus siap-siap terkoyak dan digerayangi oleh yang lain. Kita, sebagai bagian darinya, tentu tidak mau bukan!?
Perkembangan yg runut dan normal, tapi sarat abnormalitas dalam perjalannya ahsiaap
ketidakwajaran yang dinormalkan hiyaaak