Wadah Suci yang Ternoda

Wadah-wadah yang pada esensinya mengandung nilai spiritual, intelektual, serta nasionalis, kini menjadi wadah yang menjadikan insan yang gila kekuasaan5 min


13
13 points

Lelaki bertubuh kecil dengan santainya menghabiskan batang demi batang lintingan kreteknya. Ditemani dengan Hasen seorang lelaki berambut gondrong yang sama-sama sedang asyik bermasyuk ria bersama genggaman kretek di jarinya. Siang itu nampaknya kelas kuliah mereka sedang kosong dikarenakan dosen sedang tidak enak badan. Wajar sajalah dosen mereka memang orang sibuk dan berentet pangkat digenggamnya.

Kopi sudah dipesan, dalam riuh gempita keramaian kantin kampus itu banyak mahasiswa yang sekedar berkumpul dengan sebangsanya atau untuk mengerjakan tugas sambil mengisi perut keroncongan mereka. Disela-sela keramaian, Nuqi si lelaki yang bertubuh kecil nampak berfikir keras dengan matanya melotot hampir lepas. Berbeda dengan Hasen masih saja santai dengan kreteknya serta segelas kopinya yang mencapai ampas.

“ Kamu ngapain nuq? Kok kayak orang yang sedang putus cinta”  sambil tertawa, Hasen memecahkan keheningan ditengah keramaian kantin itu.

“ eh.. kamu sadar gak sen, selama 3 semester ini kita kuliah tetapi tidak satu pun kita masuk ke dalam wadah pengembangan skill mahasiswa dan sering menjadi aspirasi mereka turun ke jalan itu lo” dengan sedikit lirih jawaban dari Nuqi yang membuat Hasen sedikit mengangkat kepalanya saat mendengar pertanyaannya dijawab dengan pertanyaan pula.

Sesaat setelah membuang kreteknya yang telah habis dicumbunya, Hasen sedikit menghela nafasnya  dan keluarlah fatwa terkutuk dari mulutnya.

“woi nuqi, ha..ha..ha… masih saja kau pikirkan itu. Bukankah dulu kau juga yang mengatakan bahwa wadah itu merupakan bisnis yang diperjual-belikan. Hanya banyak omong kosong yang disampaikan lalu teriak sana sini bahwa itulah yang paling benar”

Dengan omongan yang tegas tapi diselingi guyonan dan gaya humoris seperti pemain Stand-up Comedy, jawaban itu menyerang dalam rongga kepala Nuqi. Tanpa bincang apapun, keheningan itu tiba lagi tanpa diundang. Nuqi tanpa jawaban apapun seketika berdiri dan berjalan lontang-lantung menuju tempat parkir sepedanya.

Memang waktu telah menunjukkan pukul 14.00. Nuqi harus kembali ke asrama mahasiswa yang ditempatinya karena akan ada perhelatan kajian di asramanya. Hasen juga memahami dengan adanya perhelatan itu. Wajar saja ia melihat Nuqi yang seketika meninggalkannya sendiri di kantin itu dan tak berselang lama Hasen juga segera bergegas menuju kost.

***

Setibanya di asrama mahasiswa yang ditempati Nuqi, ia memasuki kamarnya yang penuh dengan buku bacaan miliknya sendiri. Nampak ada kang Hendri rekan sekamarnya yang kiprahnya dulu semasa kuliah strata 1 sebagai aktivis garda terdepan tak diragukan lagi. Nuqi yang sedari tadi resah akibat pertanyaan Hasen di kantin tadi yang dijawabnya dengan pertanyaan pula hingga menjadi sebuah simpul yang menusuk rongga kepala Nuqi.

“Kang hendri, sebenarnya kenapa sih banyak mahasiswa baru yang dengan mudahnya mereka termakan dogma dari senior mereka yang sering orasi dan mengunggulkan nama wadah yang mereka tinggali?” Tanya Nuqi dengan nada keheranan serta merta membuat kang Hendri sedikit mengerutkan dahi. Tanpa salam, tanpa pembuka mengapa anak ini tiba-tiba menyeletuk seperti itu. Mungkin begitulah bathin dari kang Hendri yang sedari tadi seperti orang melihat cewek cantik menyatakan cintanya pada kang Hendri.

“Begini Nuq, tahu gak apa tujuan dari wadah itu? Serangan pertanyaan kembali diluncurkan pada lelaki bertubuh kecil itu. Rokok pun diambil kang Hendri dari saku jaketnya. Diambil sebatang rokok oleh Nuqi dan ia pun menyalakannya. Belum sempurna nyala rokoknya, Nuqi menanggapi pertanyaan kang Hendri dengan agak kesal.

“Bukankah tujuan sebenarnya tujuan wadah itu untuk mewadahi mahasiswa agar mereka berkembang dalam segi kepemimpinan serta keorganisasian?” Belum sempat kang Hendri menjawab “tapi aku melihat kini wadah itu hanya sibuk mencari eksistensi kekuasaan di kampus, belum lagi banyak omong kosong tanpa dasar literasi yang mereka sampaikan seakan menjadi sihir penarik bagi mahasiswa baru” Nuqi melanjutkan lagi celotehnya sesudah satu hisapan rokoknya tuntas.

Kang Hendri mengangguk-ngangguk saja. Kelihatan bahwa keresahan dari mahasiswa semester 3 tersebut memanglah realita yang terjadi sekarang ini.

“Aku tidak menyalahkan wadah itu kang. Bahkan aku sendiri bangga melihat adanya wadah itu memiliki eksistensi serta menjadi tempat untuk calon-calon pemimpin bangsa ini. Tetapi, aku sangat mengutuk oknum di dalamnya yang hanya mencari keuntungan untuk kepentingan pribadi dan golongannya…” 

Belum keluar tutur dari kang Hendri, Nuqi seakan sudah memberi jawaban atas pertanyaannya sendiri. Di luar kamar ada Irsyad seseorang mahasiswa semester 5 yang duduk sambil membaca buku dengan tenang tapi nampak memasang kuping terhadap pembicaraan hangat Nuqi dan kang Hendri dari dalam kamar.

***

Perhelatan kajian asrama mahasiswa telah usai. Angin malam kota Jogja serasa menembus tulang. Nuqi sangat lelah setelah menjadi panitia konsumsi pada perhelatan itu. Tampak wajah lelahnya sedang terpana di atas kasur tipis miliknya dan beruntung ia bisa istirahat sendiri di kamar karena kang Hendri tengah keluar entah kemana.

“Nuqi..nuqi, jangan tidur kamu! Buka pintu atau aku dobrak!” 

Seperti tersambar petir, Nuqi yang belum sempat memanjatkan doa sebelum tidur langsung terbangun dan segera membuka pintunya karena mendengar suara Irsyad yang menggumam seperti singa kelaparan.

“mentang-mentag kamu gak ikut organisasi apapun, ternyata kamu selama ini sering menjelekkan organisasi ya!” Timpalnya dengan nada tinggi. Bingung kepalang Nuqi dibuatnya. Tak terjawab pertanyaan itu. Tiba-tiba.. “ah.. ampun.. “ Satu pukulan melayang ke perut Nuqi. Tak ada angin lewat, Cecep yang bertampang jongos dengan langkah cepat memukul perut Nuqi hingga ia tersungkur sedemikian rupa.

Keadaan kamar Nuqi menjadi panas. Cecep dan Irsyad mengajak Nuqi duduk di atas kasur tipisnya lalu pintu pun ditutup rapat-rapat oleh si jongos Irsyad. Dengan sedikit menahan sakit, Nuqi mencoba mendinginkan suhu kamar yang sarat dengan emosi.

“Kalian sebenarnya ada apa sih? Malam-malam gini kok seenaknya sendiri main hakim. Udah kayak tuhan aja kalian dengan kuasa tiba menghakimi dan menghantamku. Apa salahku?” jiwa pemberani yang tak pernah luntur meskipun badannya yang kecil, tapi itulah Nuqi.

Semakin panas Irsyad dan cecep dibuatnya. “gak usah belagu kamu! Aku tau tadi siang kamu membicarakan organisasi dengan kan dengan kang Hendri? Bahkan kamu mengatakan kalo organisasi hanya untuk mencari eksistensi serta mencari keuntungan pribadi dan keuntungan kelompoknya” Lontaran kata seperti batu besar yang dilemparkan Irsyad pada Nuqi itu tertuju memecah udara malam kota Jogja. Cecep juga terlihat ingin melontarkan suatu bait kata tapi tampak sudah tersampaikan oleh sahabat karibnya Irsyad.

“bukan, bukan itu yang kumaksud. Aku hanya melihat kenyataan sekarang banyak orang dalam wadah yang kalian sebut organisasi itu yang menjadikan wadah itu sebuaah alat untuk menguntungkan mereka. Bukan niatku dari awal untuk menjelekkan wadah itu. Tapi kutukan keras dari hati terdalam ku terhadap oknum dalam wadah itu, kasian aku melihat para pendahulu yang sedari dulu bercita-cita mulia dalam mendirikan wadah-wadah itu” Tutur Nuqi.

Suasana pun seketika hening setelah Nuqi menjawab itu dengan penuh ketenangannya. Seperti orang yang gagal menembak cewek, wajah Irsyad dan Cecep merah merona tersipu malu. mereka sedikit merasa bersalah karena telah bersikap se-apatis itu pada junior mereka di asrama tersebut.

“Sekarang apa lagi yang kalian mau?” Tanya Nuqi dengan nada agak kesal. “Aku tak butuh pengakuanmu, tapi yang kuingin janganlah kamu mengklaim dengan nama organisasiku” Jawab Cecep yang masih agak kesal atas perkataan Nuqi pada kang Hendri tadi siang dan juga atas pendapat yang diutarakan Nuqi sesaat tadi.

“Sudahlah bro, kita ngopi aja sekarang daripada bikin emosi aja sama si bocah tengil ini” Ucap Irsyad dengan muka kesal.

Mereka berdua segera meninggalkan Nuqi tanpa sepatah kata pun. Tanpa permohonan maaf ataupun perbincangan, mereka berjalan menuju lantai atas. Tempat dimana biasanya penghuni asrama menenangkan diri atau sekedar ngopi bercanda ria di sana. Nuqi menutup pintu kamarnya lalu berbaring lagi diatas kasur tipisnya. Dia sejenak berfikir mengapa hal itu bisa terjadi, apakah semudah itu emosi tersulut dari pendengaran yang kurang matang atau bisa dikatakan menerima informasi tanpa kejelasan.

Padahal setahu Nuqi, Irsyad adalah orang yang terkenal cerdas serta berpengaruh sekali pada wadahnya atau organisasinya. Sedangkan si Cecep memang buntutnya Irsyad. Apapun yang disampaikan Irsyad selalu diterima mentah oleh Cecep. Dalam gejolak jiwanya, serta lelah raganya Nuqi, tertidurlah dia dalam pikiran rancunya. Malam itu, mimpi basah terhalang karena bertambahnya resah.

***

Seperti biasa, hari Selasa Nuqi berangkat kuliah jam 7 pagi. Karena kejadian semalam, ia bangun agak kesiangan. Tanpa mandi dan hanya berbekal sabun wajah Nuqi tancap gas dengan sepeda Mio nya ke kampus. Sesampainya di depan kelas, Nuqi tak diperbolehkan masuk oleh dosen karena sesuai dengan kontrak belajar jika terlambat melebihi 20 menit maka tidak diperbolehkan masuk kelas. Tanpa pikir panjang, ia melangkah menuju kantin untuk melakukan ritual pagi yang pada umumnya dilakukan oleh manusia, yakni sarapan.

Mata yang lesu dan raut muka yang murung, seketika melukiskan sedikit senyuman di mulutnya. Pasalnya ia melihat Hasen sedang duduk santai sendiri sambil menghisap kretek kesukaannya itu.

“Nuqi.. sudah kuramal engkau pasti akan melangkah jua kesini!” Gemilang tawa pun terlontar pada mereka berdua.

Nuqi segera duduk berhadapan dengan Hasen yang terhalang oleh meja kayu bersampul Coca Cola itu. Hasen mencoba membuka perbincangan mereka “Tumben kamu terlambat nuq?” Seperti pengkhotbah, Nuqi menceritakan segala kejadian yang dirasakannya pasca perbincangan mereka kemarin sampai Nuqi didatangi dua orang dengan berlagak seperti mengambil alih peran tuhan dalam kehidupan nyata.

Seksama sekali Hasen mendengarkan curahan hati Nuqi dihadapannya itu. Setelah panjang lebar Nuqi berkhotbah di depan Hasen, ia pun sedikit geram raut mukanya.

“Ternyata yang selama ini kupikirkan sudah terbukti!” Sahut Hasen dengan santai tapi penuh emosi dalam kalimatnya.

Selama ini Nuqi dan Hasen tak mau masuk ke dalam satu wadah apapun karena sejak dahulunya mereka sudah memikirkan keganjilan-keganjilan yang ada pada semua wadah itu. Wadah-wadah yang pada esensinya mengandung nilai spiritual, intelektual, serta nasionalis, yang dulunya memang didirikan untuk menampung mahasiswa agar memiliki tempat untuk mengembangkan skill hingga menjadikannya sebagai negarawan, kini menjadi wadah yang menjadikan insan yang gila kekuasaan serta memenjarakan pemikiran mereka sendiri.

Kini mereka berdua sepakat untuk tak mencebur dalam wadah apapun dan menjadi manusia merdeka seperti yang dikatakan tokoh Soe Hok Gie. Tetapi dalam kemerdekaannya, mereka memiliki tujuan guna menyadarkan rekan mereka yang sekiranya bisa diajak untuk mengembalikan wadah itu pada esensi, substansi dan tujuan awal didirikannya wadah itu.***


Like it? Share with your friends!

13
13 points

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
1
Sedih
Cakep Cakep
5
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
13
Suka
Ngakak Ngakak
1
Ngakak
Wooow Wooow
2
Wooow
Keren Keren
8
Keren
Terkejut Terkejut
5
Terkejut
Ainu Rizqi

Master

Tim Redaksi Artikula.id | Alumni Pondok Pesantren Darul 'Ulum. Mahasiswa jurusan Akidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals