Seperempat Kehidupan

Tiap kali mengingat tentang makna namanya sendiri, Modin menyadari satu hal, bahwa makhluk hidup tidak ada yang kekal. 2 min


0
Sumber gambar: Merdeka.com

Hari ini tepat tanggal 1, awal bulan. Pagi-pagi sekali, Modin sudah beranjak dari kamarnya. Ia telah memasang alarm di gawainya sejak malam hari sebelum tidur agar bisa bangun lebih awal dari hari-hari biasanya. 

Seperti itulah kira-kira kebiasaan yang dilakukan oleh seorang pekerja pabrik ketika tanggal muda. Modin selalu menanti-nanti amunisi dari mandornya di setiap bulan. Sebut saja gaji atau upah. Hal itu sangat berarti bagi Modin karena dengan uang, Modin tidak lagi kehabisan stok rokok dan minumannya. Beli rokok sudah, habis ini beliin Sasa apa, ya?

Tiap kali mengingat tentang makna namanya sendiri, Modin menyadari satu hal, bahwa makhluk hidup tidak ada yang kekal. Seperti yang sudah diketahui, salah satu tugas sebagai seorang Modin adalah mengurus kematian. 

Akan tetapi pada saatnya, seseorang yang menjadi modin juga akan diurus oleh modin-modin lain. Hidup adalah tentang menunggu giliran.

“Lagi?”, tanya Sasa yang sangat hafal dengan kebiasaan buruk pacarnya itu.

“Iya. Hari ini aku sama Bima dulu.”

“Pakai motorku aja, Mo.” Begitu panggilan akrab Bima kepada Modin.

Namun, ternyata hanya Sasa yang tidak pernah terlewatkan atas hadiah-hadiah dari Modin di setiap bulannya. Modin lupa akan kedua orang tuanya yang usianya sudah setengah uzur itu.

Beruntungnya, Sasa termasuk pacar yang baik. Sesekali ia membelikan sesuatu kepada ayah dan ibu Modin, meski tanpa sepengetahuan Modin. “Aku tahu bahwa Modin sangat mencintaiku, tapi aku nggak mau orang tuanya diduakan gara-gara aku”.

“Nggak ikut keluar, Nak?”

“Modin sama Bima lagi ada urusan berdua, Bu.”, jawab Sasa dengan sedikit tersenyum palsu.

Selalu ada rasa bersalah yang timbul di hati Sasa ketika harus menyembunyikan keburukan Modin. Ibu Modin telah mengidap penyakit serius sejak tiga tahun terakhir, dan hal itu membuat Sasa tidak ingin menambah beban pikiran ibu Modin semakin rumit. 

Baca juga: Dinamika Raos

“Sebenarnya, kalau dipendam terus, aku tahu itu nggak baik. Tapi aku juga nggak mau menambah pemasalahan baru lagi. Cukup hubunganku dengan Modin aja yang rumit”.

“Hidupku kok gini-gini aja, ya, Bim.”

“Mo… Mo…”

“Kamu cari pacar sana!”

“Ah, hidupku aja masih berantakan kayak gini.”

“Hahaha. Lha, kok sama.”

Dibalik gelagatnya yang tertawa sinis, Modin sebenarnya sedang memikirkan sesuatu: Hidupku juga gini-gini aja. Pagi kerja, sore pulang. Habis itu nongkrong sampai tengah malam. Tidur, bangun lagi, kerja lagi. Begitu terus.

Untuk saat ini, belum ada jalan lain yang membuat Modin dan Bimo senyaman ini. benar-benar kenyamanan yang membahayakan. 

Hari ini Sasa ada job memotret di acara pernikahan temannya. Lagi-lagi Modin sangat beruntung punya pacar seperti Sasa yang mandiri, tekun dan punya rasa empati yang tinggi.

Namun, kali ini Modin melarang kekasihya untuk berangkat kerja part-time, dengan tanpa alasan. Padahal, baiknya, seseorang yang mencinta, maka ia akan membebaskan yang dicintanya untuk menemukan bahagia yang lain: bahagia yang tanpa kekasihnya. Ah, cinta memang njelimet.

“Nggak usah pergi, atau kita putus?!”

Putus, selalu menjadi kata-kata ancaman yang keluar dari mulut Modin untuk kekasihnya. Entah itu hanya sekadar kata-kata atau sesuatu yang memiliki pembuktian. Tapi, salah satu sisi lain dari Modin adalah; banyak beraksi, sedikit bicara. 

Ketakutan itu yang selalu terngiang di benak Sasa: tentang akhir dari hubungannya dengan Modin. Pesta kembang api memang terlihat indah, tapi yang indah tak selamanya menyenangkan. Ia bahkan bisa melukai beberapa hal.

“Tapi, Mo. Ini mumpung hari Minggu. Sekolahku libur.”

“Istirahat aja, deh. Nanti kalau sakit, aku juga yang repot.”

Seorang yang tulus mencintai, seharusnya tidak merasa direpotkan, karena hal itu sudah menjadi sesuatu yang pasti dan harus. Meski begitu, Modin bisa dikatakan telah mencintai kekasihnya dengan sangat tulus. 

Baca juga: Pergerakan, Cinta dan Luka.

Suatu malam yang gerimis, Modin dan Sasa sedang makan nasi goreng favorit mereka berdua, di gang komplek rumah mereka. Nasi gorengnya tidak terlalu pedas, gerimisnya juga sangat syahdu, dan ditemani teh hangat yang semakin menambah kehangatan sekaligus kedinginan malam itu.

Namun, tiba-tiba keluar kata-kata dari mulut Modin kepada Sasa, yang membuat gerimis malam itu membasahi wajah Sasa. 

“Aku pernah baca kata-kata, Sa. Bahwa titik tertinggi dari mencintai adalah mengikhlaskan.”

“Lalu?”

“Krisis seperempat kehidupanku gak boleh mengusik impian-impianmu, Sa.”

“Jadi, apa, Mo? Kenapa kamu gak menjelaskan maksud dari perkataanmu itu?”

“Segala kalimatku tidak akan pernah selesai, Sa. Yang selesai adalah kita.”


Like it? Share with your friends!

0

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals