Sependek –atau sejauh- ini tak jarang saya menerima keluhan perempuan tentang rumah tangga mereka. Meski saya bukan anggota HAM atau komnas perempuan tapi naluri kemanusiaan saya bergejolak ketika mendengar keluhan yang mereka sampaikan (sekaligus naluri kejombloan bergidik ngeri pada laki-laki misoginis).
Seperti saudara saya fillah, dilarang oleh suaminya untuk mengunjungi orang tuanya dalam waktu yang relatif lama, jika sempat berkunjung seminggu sekali bahkan ketika lebaran hanya diantar sampai pintu rumah untuk salaman lalu kembali ke rumah suami dengan alasan ‘banyak kerjaan, banyak tamu’ dan alasan lain yang tak begitu penting dan mendesak.
Akhir Ramadan kemarin, teman saya yang ikut suaminya ke Jakarta diminta pulang oleh orang tuanya, selain untuk pulang kampung (bukan mudik lo yah) dia diminta merawat ibunya yang sedang sakit parah, tidak ada lagi saudara, satu-satunya harapan adalah anak perempuannya yang sedang ‘dicuri’ oleh mantunya sendiri ke negeri nun jauh di sana. Simalamakama, pulang kampung suami tak kunjung memberi izin dan terus mengepung, menetap di Jakarta pikiran tak tenang pada ibu yang menderita.
Baca juga: Apakah Al-Qur’an Membolehkan Suami Memukul Istri? |
Pertanyaannya sama, saya harus bagaimana? Harus menaati orang tua, pulang kampung dan merawat mereka atau menuruti suami saya? Dalam hukum Islam siapa yang harus saya prioritaskan? Petanyaan yang dilematik, tapi sebelum menjawab itu saya auto mbatin dalam hati “Tuhan, tumbuhkan jiwa kemanusiaan lelaki itu”.
Dalam hadis pun banyak sekali kita menemukan perintah Nabi untuk menaati orang tua. Salah satunya الْكَبَائِرُ: الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ، وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ “Dosa-dosa besar antara lain; menyekutukan Allah dan durhaka pada orang tua”. Perintah-perintah ini (menaati orang tua) ditujukan kepada laki-laki dan perempuan, sudah berpasangan atau belum.Di dalam Al-Qur’an ada 4 kali peringatan berbuat baik pada kedua orang tua dan semuanya bersandingan dengan larangan menyekutukan Allah, lihat al-Baqarah (2): 83, an-Nisā’ (4): 36, al-An’ām (6): 151 dan al-Isrā’ (17): 23. Hal ini menurut al-Qurṭubī karena Allah adalah sumber kehidupan yang pertama dan orang tua melanjutkan kehidupan selanjutnya dengan melahirkan, mendidik dan membesarkannya (Al-Qurṭubī 2/13).
Maka tidak benar ‘bakti suami pada orang tuanya dan bakti istri pada suaminya’. Semua anak harus berbakti pada orang tuanya dan semua pasangan harus menghormati pasangannya.
Sementara menaati pasangan, istri ke suami dan suami ke istri, وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ “dan saling bergaullah kalian dengan mereka dengan cara yang baik” dalam teori gramatikal Arab kata عاشر adalah bentuk kata yang memiliki arti musyārakah/kesalingan. Maka sekalipun perintah ini tertuju pada ‘suami berbuat baik pada istrinya’, sejatinya tertuju pada kedua pihak untuk saling berbuat baik pada pasangannya karena kesalingan tak akan terjadi tanpa adanya pasangan.
Sedangkan hadis-hadis yang seringkali dijadikan dalih untuk menekan perempuan tunduk patuh pada seluruh perintah dan kemauan suami, hatta dalam hal yang yang tidak baik (keluar dari koridor syariat atau mengabaikan perintah lain seperti menaati orang tua) maka sesungguhnya hadis itu telah dibaca dalam keadaan ‘telanjang’ dari semangat kasih sayang yang menjadi misi Nabi Muhammad.
Dalam hal ini sudah banyak cendekiawan muslim yang meluruskan kesalahpahaman itu, tinggal pandangan masyarakat yang perlu dibuka dan dicerahkan.
Namun demikian, terasa naif sekali jika pernikahan melulu bergantung pada hukum boleh dan tidak boleh. Pernikahan yang masih bergelut dengan boleh-tidak boleh versi syariat seakan belum menemukan tujuan dari pernikahan itu. Tujuan pernikahan hanya satu, sakīnah (tenang) dengan berbekal mawaddah (cinta) dan rahmah (kasih sayang).
Baca juga: Kajian Filsafat Pernikahan Perspektif Fahruddin Faiz |
Dalam Irsyādus Sārī Ibn Battal mengatakan bahwa perempuan bersuami boleh menyambung silaturrahmi dengan orang tuanya tanpa izin suami. Pendapat ini disimpulkan dari hadis tentang Asma putri Abu Bakar yang meminta fatwa pada Nabi perihal ibunya yang ketika itu musyrik (dalam keadaan sehat) ingin menyambung ikatan sosial dengan anaknya, nabi menyuruhnya tetap menyambung silaturrahmi “ṣilī ummaki”.
Hadis ini menggambarkan bahwa ketenangan dalam pernikahan bisa dicapai jika semua pihak berusaha memberikan yang terbaik. Suami memberikan yang terbaik pada istrinya dengan memenuhi hak-haknya sebagai istri dengan cara yang baik. Begitupun istri memberikan yang terbaik pada suaminya dengan ketaatan dalam kebaikan. Karena dengan ini, keduanya akan bisa mempertimbangkan kebaikan mana yang harus didahulukan. Kebaikan merawat orang tua yang sedang membutuhkan atau kebaikan menemani suami yang enak-enakan? Keduanya memang suatu kebaikan tapi akal sehat akan bisa menakar frekuensinya dengan benar.
Akhir kata saya ingin mengutip prinsip mubadalah (kesalingan) yang digagas oleh Kiai Faqih Abdul Qadir, hidup itu adalah bahagia dan membahagiakan. Maka jika anda ingin merasa hidup, berbahagialah. Dan jika ingin hidup berarti, membahagiakanlah. []
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Bagaimana pendapat Anda tentang artikel ini? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya!
Anda juga bisa mengirimkan naskah Anda tentang topik ini dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
Mungkin ini hanya teori, bukan praktek. 😁😁
Banyak pernikahan yang berjenis kelamin patriarki, sebagai kausalitas-nya perempuan selalu diposisikan sebagai objek opresi dan diskriminasi terhadap kesadaran dirinya selaku sesama makhluk yang berpotensi dalam kebaikan dan ketaqwaan. Dalam pandangan patriarki yang lebih sarkas, ada pemahaman yang kurang tepat dalam memahami posisi sang suami sebagai imam. Imam yang memiliki otoritas penuh terhadap pasangannya. Padahal dalam menjalankan kehidupan berkeluarga itu haruslah berkesalingan (berpartner). Karena bagaimanapun berkeluarga itu atas dasar kesadaran dan kesepakatan bersama.