Kajian Filsafat Pernikahan Perspektif Fahruddin Faiz

Bangunlah cinta dengan kasih sayang tanpa syarat. Ciptakanlah suasana cinta yang membawa rahmat bagi seluruh makhluk bumi6 min


Sebuah cerita dan pengalaman menarik ketika mengikuti salah satu kajian rutin malam kamis, yang dibawakan oleh dosen penulis dalam bidang filsafat di UIN Sunan Kalijaga, siapa lagi kalau bukan, Dr. Fahruddin Faiz, M.Ag. Kajian yang mengangkat tema “Filsafat Pernikahan”, yang bertempat di Masjid Jendral Sudirman, Kota Yogyakarta. Kalangan mahasiswa dan juga elemen masyarakat yang hadir dan antusias mengikuti kajian tersebut. Penulis pun teringat dengan banyaknya teman-teman penulis juga sahabat yang pengen nikah dengan pasangannya masing-masing, namun masih bingung dalam melangkah, menentukan pilihan.

Tulisan ini adalah sebuah tulisan untuk merespon hal tersebut. Fenomena ini dapat dibilang sebagai fenomena “baperan”, yaitu, perasaan yang selalu muncul karena melihat orang lain menikah. Bisa juga “baperan” karena faktor umur, bahkan yang lebih “gahar”-nya lagi adalah, persetujuan dari orang tua yang tak kunjung didapat hingga membuat dilema yang tak kunjung selesai. Tulisan ini juga merupakan petuah-petuah motivasi dari beberapa filsuf termasuk bapak Fahruddin Faiz, serta pemikiran, opini, pandangan dan analisa penulis yang disusun dalam bentuk tulisan ini. Semoga bermanfaat bagi pembaca dan penulis ke depannya.

Mengawali tulisan ini, penulis meminjam perkataan dari sahabat sekaligus guru penulis, biasa disapa Kang Royhan Firdausy, penulis buku motivasi Islami, yang menyatakan sebuah ungakapan menarik yaitu “cintai tanpa pasti, nikahi tanpa nanti, sudahi yang tak pasti, dan miliki tanpa henti”. Ungkapan menarik juga motivasi yang begitu apik dalam hal membangun suatu hubungan yang baik pula.

Dalam membangun sebuah hubungan untuk menikah, setidaknya ada dua diskursus yang perlu dilihat yakni, apakah kamu harus menikah dahulu baru mencintai ataukah mencintai dahulu baru menikah. Dua diskursus ini menjadi paradigma setiap masanya. Pada masa Yunani kuno, bahkan pada masa “tradisi beriman”, memang dianjurkan untuk menikah dahulu baru mencintai, karena dapat menimbulkan hal yang tidak diinginkan.

Namun fakta sosial yang berbicara sekarang adalah mendahulukan cinta sebelum menikah, dengan dalih mencari sebuah kecocokan antara sesama demi menjalin hubungan yang baik ke depannya. Fenomena ini pun sudah menjadi mind-set masyarakat modern sekarang ini, baik di kalangan remaja, juga orang tua yang ingin menikahkan anaknya.

Kedua hal ini, tanpa menilai, mana yang lebih baik ataupun tidak, sudah sepatutnya dapat menjadi pilihan dalam melangkah untuk menjalani hidup ke depan dengan pasangannya yang menurut mereka baik dan membuat mereka nyaman, karena pernikahan bukanlah akhir melainkan sebuah perjalanan yang ditempuh oleh kedua pasangan.

Membangun pribadi yang pintar dalam memilih sesuatu dan mampu dalam berpikir dalam jangka waktu yang panjang serta menaungi diri dengan sifat tanggung jawab adalah perihal yang diperlukan guna dalam rangka memilih seseorang yang akan menjadi pasangan kita dan juga dalam hal membangun cinta.

Memilih untuk membangun cinta sebelum menikah, haruslah dapat dipahami dulu bahwa, pada level apa cinta itu dibangun. Jangan bangun cinta itu sebatas pada level cinta romantik (keromantisan), karena level cinta seperti itu pada masanya akan habis. Level seperti itu merupakan level cinta yang hanya pada sisi keromantisan saja, namun tidak pada level berkomitmen untuk bersama selamanya. Maka dari itu, bangunlah cinta dengan level komitmen satu sama lain.

Dalam membangun komitmen satu sama lain, perlu diperhatikan dan diketahui bahwa ada yang disebut dengan common problem (masalah pada umumnya) yang akan datang pada saat sudah membangun komitmen itu, yakni, komunikasi, prioritas, division of labor (pembagian kerja), intimacy in laws (hubungan dengan orang terdekat), dan money (keuangan). Dengan tujuan sebagai bahan ikhtiar demi membangun hubungan yang baik, karena perlu diketahui juga, kedua pasangan masing-masing mempunyai kekurangannya masing-masing.

Socrates, seorang filsuf Yunani kuno, memberikan sebuah pandangan dalam hal membangun hubungan atau menikah ini dengan menggambarkan apa yang dia alami, yakni, “untuk anak muda, jika kamu menikah dan tidak menikah, maka kamu akan menyesal. Tapi, apa pun yang terjadi, menikahlah. Kalau kamu mendapatkan pasangan yang baik, kamu akan menikah, jika mendapatkan pasangan yang jelek, kamu akan menjadi filsuf”. Istri dari Socrates merupakan istri yang dikenal pemarah dan jelek, namun karena pemarah dan jelek istrinya sehingga dia menjadi seorang filsfuf. Maknanya adalah jikalau hidupmu akan selalu memikirkan apa yang kamu alami, dan ketika kamu berpikir dan menjadikan hal itu sebagai motivasi hidup, maka kamu mendapat keberhasilan dalam hubungan berpasanganmu.

Maka dari itu, jangan salah menghadapi pasangan kita. Jangan memakai idealismemu (cara dan type hidup) untuk diterapkan kepada pasanganmu. Karena diberikan pasangan oleh Allah SWT itu, untuk meningkatkan apa yang ada pada dirimu, bukan menjadikanmu terpuruk. Kalau pasangan kamu baik, maka sudah seharusnya menjadi pijakan untuk menjadi lebih baik.

Perlu ditekankan bahwa, dalam kehidupan berpasangan, pasti ada masalah yang dihadapi. Jika kamu dimarahi dan mendapat masalah setiap hari dengan pasanganmu, maka dengan sendirinya kamu akan berkembang dengan hal-hal seperti itu agar kualitas hidupmu, akan baik dan diri akan menjadi tangguh dalam menjalani hidup bersama pasangan. Jangan dijadikan sebagai beban dan pembawa masalah, melainkan ujian untuk menjadi lebih baik, atau menjadi sebuah tangga spiritual bagimu.

Pandangan seorang filsuf terkenal “Nietzche” mempunyai gagasan yaitu, “nikahilah sahabatmu”. Nikahilah orang yang asik untuk diajak berbicara dan nyambung dalam berinteraksi antara satu sama lain. Karena sahabat terbaik, akan menjadi istri terbaik bagimu. Maka “bersahabatlah”. Karena dasar pernikahan yang baik adalah pernikahan yang didasari dengan nilai persahabatan yang baik.

Masih dalam gagasan Nietzche, untuk para pejuang nikah, yakni, “jangan menikah karena cinta, namun menikahlah dengan orientasi pada lahirnya generasi-generasi hebat dan berguna bagi bangsa dan negara (super babies)”. Janganlah kamu menjanjikan cinta yang abadi, karena itu absurd dan bohong, tetapi dengan perkataan disertai perbuatan bahwa, “selama aku mencintaimu, aku akan melakukan aktivitas cinta, walaupun sudah berhenti aktivitas itu, kamu akan mendapatkan sikap dari cintaku, meski dengan motif yang berbeda, entah itu sebagai sahabat, teman, ataupun mantan.

Nietzche juga menyatakan, perempuan akan menyukai kenyamanan dan keamanan, tetapi lelaki akan menyukai tantangan dan hambatan, maka, untuk perempuan, buatlah tantangan yang menantang untuk laki-laki demi mendapatkanmu, karena dari rasa sakit yang dirasakan oleh lelaki, maka akan semakin meningkat hubungan antara keduanya ke depan, dalam artian akan selalu berkembang. Maka, “siksalah” dia (laki-laki).

Untuk para lelaki, ketahuilah bahwa, “Apa yang bisa membunuhmu, maka itu akan membuat kamu semakin kuat, maka jangan hindari masalah dan jangan terlalu mencari aman. Beranilah menerima tantangan dan hambatan.”

Untukmu dan pasanganmu, hiduplah dalam kebersamaan, namun jangan hilangkan jati masing-masing, jangan berharap untuk selalu pada satu tipe, makanlah dengan makanan yang sama, namun jangan pada wadah yang sama. Kamu dan dia memang hidup bersama, namun harus ada nuansa keragaman di dalamnya. Dari keragaman itu kemudian menjadi penguat satu sama lain, ibarat tiang peyangga pada sebuah gedung, yang satu sama lain menguatkan bagunan yang sama. Masing-masing harus membangun idealisme, dalam rangka membuahi hubungan yang indah, baik dan saling melengkapi.

Jangan mencari pasangan yang sempurna, karena dirimu sendiri pun tidak sempurna. Hargailah perbedaanmu dengan pasanganmu, satu sama lain, agar saling melengkapi dan menutupi kekurangan masing-masing, mendukung kelebihannya masing-masing, demi tercipta susana yang baik dan “enjoy”. Bukti cintamu yang sebenarnya adalah meskipun banyak masalah di antara kamu dan pasanganmu, dan serumit apa pun masalah yang dihadapi, tetap saja dalam hatimu akan berkata “Aku tidak bisa hidup tanpanya”.

Salah satu tokoh nasional Indonesia, Ki Hajar Dewantara, mengutarakan syarat untuk menikah dalam bahasa Jawa  dalam beberapa poin, yang maknanya:

  1. Pastikan bahwa kamu menikah dengan manusia, karena banyak orang yang berfisik manusia namun jiwanya binatang ataupun robot,
  2. Menikah dengan orang yang hidup. Yang berarti harus mempunyai daya hidup, bukan orang yang pasrah dan pasif, karena nanti pincang.
  3. Jika kamu laki-laki, menikahlah dengan perempuan, begitupun sebaliknya. Supaya ada dimensi kelaki-lakian dan keperempuanan, supaya saling melengkapi satu sama lain.
  4. Menikahlah dengan orang yang dewasa, yang maknanya adalah sama-sama membangun kedewasaan, mengetahui kapasitas masing-masing pasangan. Dengan kata lain, hati-hatilah pada pernikahan dini yang belum matang.
  5. Menikahlah dengan dibarengi dengan perasaan sama-sama “MAU”

Dari beberapa makna syarat nikah di atas, maka bangunlah hubungan dengan kesadaran bahwa, adanya keberadaan antara kedua pasangan, bangunlah kasih sayang tanpa syarat dalam berhubungan. Sudah sepatutnya untuk tidak berkhianat dan berbuat semena-mena, juga klaim kebenaran masing-masing, bahkan saling berkompetisi untuk menjatuhkan satu sama lain.

Tumbuhkan dan buahi cara berpasangan dengan jalan bersama-sama dan berusaha untuk berkecukupan bukan dengan mengutamakan harta, kekuasaan, dan kedudukan, namun mengutamakan “RASA”.

Adapun wejangan al-Quran, yang dapat dilihat pada Q.S ar-Rum ayat 21.

وَمِنۡ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنۡ خَلَقَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا لِّتَسۡكُنُوٓاْ إِلَيۡهَا وَجَعَلَ بَيۡنَكُم مَّوَدَّةٗ وَرَحۡمَةًۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يَتَفَكَّرُونَ ٢١ 

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Q.S ar-Rum ayat 21)

Dari wejangan tersebut, dapat ditarik makna bahwa, dalam hal penciptaan manusia pastilah semua telah mempunyai pasangannya masing-masing, sebagai tempat untuk berdiam, tenang, tentram dan nyaman. Hal ini dengan tujuan membangun keluarga yang “sakinah”, yang dibarengi dengan perasaan “mawaddah” yakni rasa cinta yang mendalam hingga berefek pada “warrahmah”, yaitu, berkah bagi sekelilingnya. Dan ini semua hanya terletak pada orang-orang yang selalu berpikir.

Sekali lagi ditekankan bahwa, pernikahan bukanlah tujuan atau target akhir, namun sebuah perjalanan (journey) yang harus diperhatikan syarat-syarat atau peta dan dalam memilih pasangan dalam perjalananmu, untuk dapat mengetahui kemana arah dan target apa yang mau dicapai dalam pernikahan. Pahamilah bahwa dalam perjalanan itu terdapat sebuah kebahagiaan dan kesedihan, yang semua itu tergantung pada kedua pasangan, karena jika yang satu gagal, maka keduanya akan gagal, jadi bangunlah kesuksesan antara keduanya.

Menikah itu, seperti memasukan data di komputer, apa yang kita masukan maka itu yg keluar, maka masukanlah hal-hal yang baik, yakni kebaikan, keramahan, ketulusan dan lain sebagainya, maka itulah yang akan didapatkan dalam jalan menikah itu, “apa yang kamu tanam maka itu yang kamu panen”.

Ingatlah bahwa tidak ada yang sempurna, ingatlah bahwa yang kamu nikahi adalah orang yang pernah berdosa. Seburuk apa pun pasanganmu, maka terimalah dia, karena kita tidak akan tahu ke depannya seperti apa. Karena di balik itu semua jika dimaknai dengan baik, maka akan membuatmu dan dia menjadi lebih baik hingga melahirkan jalan berpasangan yang berkualitas. Menikah pasti ada kurang dan lebihnya, tidak selalu “perfect”.

Sebelum menikah pun berhati-hatilah dalam beberapa hal ini, sebagai ikhtiar dalam membangun hubungan untuk menikah, yakni:

  1. Mengkhianati Tuhan atau tidak menghargai pesan-pesan-Nya, karena hidup kita tidak akan berjaya dan menang.
  2. Jangan menghancurkan dan melucuti nilai-nilai kekeluargaan dan sosial hanya karena nafsu.
  3. Menabrak hal yang sudah jelas salah, karena itu akan menghantuimu secara terus- menerus
  4. Tidak mampu membedakakan cinta atas dasar ketergodaan sesaat dan cinta yang sejati. Maka berhati-hatilah.
  5. Mengorbankan kebahagiaan luar biasa yang nantinya kamu rasakan pada waktunya tiba.

Inilah beberapa hal yang dapat menjadi bahan pembelajaran bagi kita semua, baik di masa sekarang dan masa yang akan datang. Beberapa argumen di atas juga merupakan sebuah wejangan motivasi dari beberapa tokoh-tokoh filsuf dan negarawan bagi para pembaca agar dapat membantu dalam memilih pasangan untuk dinikahi, serta melihat kenyataan dalam jalan pernikahan yang sedang dijalani, maupun yang akan dijalani. Begitupun bagi penulis nantinya.

Wallahu a’lam bissawab

Wassalam


Like it? Share with your friends!

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
2
Cakep
Kesal Kesal
1
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
2
Tidak Suka
Suka Suka
5
Suka
Ngakak Ngakak
1
Ngakak
Wooow Wooow
1
Wooow
Keren Keren
1
Keren
Terkejut Terkejut
1
Terkejut
M. Sakti Garwan
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals