Ada pertanyaan menarik dari Syams at Tabris kepada Jalalluddin Rumi QS, kala itu sedang di majelis ilmu. “Lebih utama mana Nabi Muhammad atau Bayazid Bustami?” kata Syams. Sontok suasana menjadi riuh. “Bagaimana mungkin Seorang wali yang mengikuti titah nabinya, harus dibandingkan dengan Nabi yang menjadi panutannya? Pun manifestasinya berbeda,” kata Rumi.
“Tidakkah kau ingat bagaimana Bayazid Bustami memohon kepada Tuhan agar menjadi sebesar alam semesta, agar memenuhi Neraka. Sedangkan Nabi Muhammad yang sudah jelas diberi kelapangan oleh Tuhan, selalu memohon ampunan saja?” Mendengar jawaban itu Rumi menarik diri dari kondisi intelektualnya. Ia mencoba melebur dengan sedalam-dalamnya pengalaman spiritualnya.
Mengetahui jawaban yang harus dilontarkan adalah meningkatkan pemahaman di atas pengertian nalar – sain positif, maka Rumi menjawab dengan pernyataan, “Bayazid memahami penerimaan pancaran Ilahiah yang terbatas dan menurutnya cukup, sehingga tidak mengharapkan lebih. Baginya sudah memasuki wilayah ekstasi. Hamparan lautan memang tidak bertepi hanya sejauh itulah yang sanggup diembannya. Di sisi lain, Nabi Muhammad diberkati dengan Rahasia “Bukankah Kami telah melapangkan dadmu (Muhammad)?” QS Al Insyirah :1, dengan kata lain Nabi Muhammad dikelilingi oleh manifes Ilahiah, dan – walaupun terbuka hatinya tetap seja terasa kurang. Semakin ia tenggak menimunan semakin dahaga yang ia rasakan.”
Nabi Muhammad memiliki dimensi yang luas. Berbagai klasifikasi dari peneliti dan sarjana muslim atau orientalis sekalipun. Purna masa kegelapan menjadi sublimasi fungsi dari Nabi Muhammad. Di satu sisi sebagai manusia biasa. Di sisi lain adalah wujud dari praktik kitab suci. Uli an Nuha, Uli al Abshar. Uli al Amr. Uli al Abror. Uli al Albab. Setiap tindak tanduknya menjadi uswah bagi setiap umat.
Relevansinya adalah Nabi Muhammad sebagai utusan. Memiliki sikap yang bernilai etis dan ilmu pengetahuan. Menjadi role model bagi setiap personal. Sejarah adanya Piagam Madinah menjadi bukti atas uswah itu. Dengan kata lain setiap ranah dalam kehidupan memiliki nilai. Yang terangkum darinya.
Perjumpaan Rumi dengan At Tabris adalah wujud atas penekanan nilai. Muhammad sebagai Nabi yang maksum. Pun Nabi Muhammad sebagai manusia dengan segala kekurangan dan kelebihan. Pengabdiannya kepada Tuhan. Karena cinta pasti dibarengi dengan pengabdian yang luhur. Para pujangga berkata: setiap apa yang dinamakan cinta pasti ada pengorbanannya. Nabi Muhammad sebagai manusia beribadah kepada Tuhan di setiap malamnya. Lelakunya sampai lututnya bengkak. Bukan karena mengharap surga. Tetapi karena cintanya kepada Tuhan.
Sebagaimana uswath hasanah: Nabi Muhammad memberi sudut pandang pengetahuan. Komparasi antara etika dan pengetahuan melahirkan akal budi luhur. Saling menghormati adalah rasa cinta kemanusiaan. Sehingga pelajaran terpenting khususnya bagi saya adalah menghilangkan rasa enggan. Untuk mengikuti Nabi perlu adanya kesadaran. Kesadaran sebagai hamba Tuhan. Kesadaran sebagai manusia. Yang mana manusia: memiliki flesibilitas batasan-batasan.
Bentuk ibadah formal terbagi atas tiga dasar. Karena rasa takut maka hamba mengabdi. Karena terpaku pada surga dan neraka hamba mengabdi. Karena cinta maka hamba mengabdi. Yang mana ke semuannya memiliki konsekuensi masing-masing. Begitu juga dalam konteks pengabdian yang sesungguhnya. Tuhan tidak pernah menilai pakaian. Karena ada segumpal darah yang menjadi sorotan.
Ketidaktahuan hamba adalah dasar semangat cinta. Tulus untuk mengabdi kepada-Nya. Bukan perihal tawar menawar dengan timbal balik dari Tuhan. Karena untuk belajar bersyukur saja kadang masih terengah-engah. Tuhan tiada terpengaruh karena ketaatan atau kedurhakaan hamba. Tetapi karena cinta: Tuhan pun memberikan kasih dan sayang-Nya.
Dan tulisan ini menjadi bagian dari tahapan belajar bagi saya. Sebagai hamba. Sebagai manusia. Untuk membangun kesadaran di dalam diri saya.
Baca juga: Manifesto Intelektual Sufi (Bagian 2)
Baca juga: Manifesto Intelektual Sufi (Bagian 3)
Baca juga: Manifesto Intelektual Sufi (Bagian 4)
Baca juga: Manifesto Intelektual Sufi (Bagian 5)
DI2019
0 Comments