Buku ini menelusuri salah satu konsep kunci dalam al-Qur’an yang hari-hari ini makin sering diteriakkan dengan suara keras dan disertai tangan terkepal, jihad. Konsep ini memang lebih sering diasosiasikan dengan aktivisme fisik dan angkat senjata.
Konsep ini umumnya juga dikaitkan dengan syahid dalam arti martir sebagai imbalan bagi pelaku jihad. Oleh beberapa kalangan, keduanya menjadi doktin yang sepaket untuk menggerakkan orang melalukan tindakan teror. Dari tindakan ini, Islam kemudian dilihat dan dipahami sebagai agama pedang.
Konseptualisasi jihad yang didominasi oleh sifat kombatif ini memang banyak dijumpai dalam literatur-literatur fikih pra modern dan terus direpitisi oleh para sarjana selanjutnya hingga kini. Tema jihad selalu diletakkan dalam konteks keamanan negara dan hubungan internasional saja. Pembahasannya juga dicampuradukan dengan qital.
Tapi apakah konstruksi ini merupakan rancangan Al-Quran sejak awal kelahirannya? Inilah salah satu persoalan yang hendak dijawab oleh Asma Asfaruddin. Melalui pelacakan secara diakronis, Asma menelusuri pergeseran-pergeseran makna jihad mulai awal hingga kemudian mengkristal dalam bentuknya yang banyak dipahami saat ini.
Dengan menelaah sejumlah literatur dari generasi awal hingga modern, Asma menemukan data-data sebaliknya. Jihad memiliki makna non-kombatif. Dan itu banyak berkembang terutama di kalangan muslim awal. Pergeseran-pergeseran terjadi seiring dengan perkembangan situasi sosial dan politik di dunia Islam.
Ada banyak faktor pemicunya, beberapa di antaranya, Asma menengarahi, adalah bangkitnya Kerajaan Umayyah dan Abbasiyah beserta misi-misi imperialnya, konsolidasi kelas ulama yang berkuasa serta narasi klasik tentang jihad sebagai peperangan militer yang turut mempengaruhi lahirnya rumusan jihad sebagai sesuatu yang monolitik.
Wacana dominan itu bukan tanpa kritik. Sejumlah wacana tandingan juga banyak bermunculan yang sekaligus menjadi bukti bahwa wacana jihad tidak tunggal. Wacana tandingan tersebut tampaknya dimaksudkan untuk mengembalikan luasnya spektrum makna semantik dari konsep jihad yang banyak direduksi oleh kekuasaan. Wacana tandingan itu adalah lahirnya genre kitab-kitab fadhail.
Temuan Asma tentang kitab fadhail sebagai literatur tandingan ini saya kira menarik. Ia memberi konteks baru bagi sesuatu yang selama ini banyak dipinggirkan dan dianggap tidak ilmiah. Ada banyak anggapan bahwa kitab-kitab fadhail lahir dari situasi intelektual yang jumud sehingga yang lebih ditekankan hanyalah aspek ritual semata.
Namun dari pembacaan Asma terlihat adanya motivasi lain. Pembahasan panjang lebar tentang sabar dalam kitab Fadhail al-Sabr karya Ibn Abi ad-Dunya, misalnya, bukan tanpa alasan. Sabar adalah juga konsep kunci dalam al-Qur’an yang tidak disinggung dalam medan semantik jihad. Padahal ada banyak ayat yang mengaitkan jihad dan sabar seperti dalam QS. 16: 110 dan QS. 47:31.
Hilangnya konsep sabar dalam diskursus jihad ini, juga dorongan eksternal inilah yang menampilkan konsep jihad yang militeristik, reduktif, dan sangar.
Buku yang pada tahun 2015 menerima penghargaan Jayezeh Jayani World Book Prize dari Presiden Iran, Hassan Rouhani ini memberikan panaroma yang luas dan menarik mengenai jihad dan syahid. Kita dibawa melancong menyusuri diskusi yang detail dari para mufasir serta konteks yang melatarbelakanginya. Pertarungan wacana antara fukaha yang pro kombatif dan kontra memperkaya wacana kita tentang kajian ini.
Kehadiran buku ini tak pelak memberikan perspektif yang lebih komprehensif mengenai tema jihad. Dengan begitu kita tidak memaknainya secara serampangan. Bagi para pengkaji al-Qur’an dan hadis, buku ini menjadi contoh yang baik penerapan kajian sinkronik dan diakronik dalam mengkaji sebuah kasus.
Judul buku: Tafsir Dekonstruksi Jihad dan Syahid
Penulis: Asma Afsaruddin
Penerit: Mizan,
Cet I : Oktober 2018
Tebal buku: 488 halaman
ISBN : 978-602-441-079-7
0 Comments