Selain masalah-masalah yang telah saya ungkap di bagian sebelumnya (Mengais metode belajar membaca Al-Qur’an [1]), ternyata ada beberapa kendala lainnya saat kita sebagai pengajar.
Kendala yang saya maksud tidak serta merta muncul secara alami, namun terkadang karena kurangnya ketegasan dalam menerapkan pakem dan pola yang diinginkan, pada peserta didik.
Membentuk attitude dalam belajar
Dalam proses belajar mengajar, pada hakikatnya kita berusaha membentuk pola pada peserta didik, yakni pola yang disesuaikan dengan pedoman yang kita yakini dan kita gunakan.
Pola itu berisi attitude yang harus dijalankan oleh peserta didik, yang dengan attitude ini diharapkan dapat menekankan fokus saat pembelajaran. Sedangkan attitude dalam membaca Al-Qur’an adalah apa yang dikatakan sebagai adab qira’at al-Qur’an.
Selain itu, attitude dalam sebah metode pembelajaran membaca Al-Qur’an yang perlu diperhatikan adalah proses yang saya sebut “membaca sambil menunjuk tulisannya”.
Sayangnya, hal itu kurang diperhatikan oleh seorang pengajar. Sehingga, apa yang terjadi pada siswa adalah proses ‘audio’ dan ‘memorizing’. Mereka memang mampu membaca namun prosesnya adalah dengan menirukan atau mengulang-ulang bacaan dari apa yang mereka dengar dari bacaan yang dibacakan oleh gurunya.
Apakah proses itu salah? Toh, hasilnya mereka kan bisa membaca. Secara hasil memang ada yang salah. Kenapa? karena pada akhirnya mereka sebenarnya tidak bisa membaca.
Ibaratnya, mereka hanya menjadi burung beo yang bisa mengucapkan salam karena terlatih dengan audio, tanpa tahu tulisan dan cara membaca tulisan itu.
Tulisan Arab yang khas
Kenapa dengan tulisan Arab (rasm Usmani yang telah disempurnakan) sehingga saya katakan ‘khas’.
Pertama, ada huruf yang ditulis dengan aturan menyambung yang harus diketahui. Ada huruf yang hanya bisa dirangkai ketika berada di tengah atau di belakang kata, sedangkan ketika di depan ia harus dipisah, sepeti huruf alif.
Kedua, ada harakat yang memiliki huruf bawaan, seperti harakat fathatain yang dalam semua huruf ia akan meyertakan alif.
Ketiga, harakat-harakat yang ada pada tulisan Arab memiliki pasangannya masing-masing pada huruf yang di-sukun, sehingga jika tepat dengan pasangannya huruf yang berharakat harus dibaca panjang (madd), seperti harakat fathah berpasangan dengan alif, kasrah dengan ya’ dan dhummah dengan huruf waw. Dengan begitu jika waw jatuh setelah harakat fathah atau kasrah maka ia tidak dipanjangkan cara bacanya.
Dengan melihat beberapa karakteristik khas tersebut, maka setiap kata yang ada dalam Al-Qur’an harus diperhatikan. Perhatian penuh adalah pada panjang dan pendek.
Mengapa demikian? pasalnya kekurangtelitian padanya akan menjadikan bacaan Al-Qura’n kacau balau.
Sebagaimana yang telah saya sebutkan di tulisan saya “Mengais metode belajar membaca Al-Qur’an [1]” bahwa ada beberapa kasus kesalahan ukur dalam panjang (madd), maka hal ini pun berkaitan dengan pembahasan saya sebelumnya tersebut.
Dalam karakteristik yang pertama memang tidak terlalu menjadi kendala. Namun dalam karakteristik yang kedua, seringkali terjadi kurang telitinya peserta didik dengan membaca fathatain yang diikuti oleh alif dengan bacaan panjang.
Dalam beberapa kasus lain, peserta didik cenderung tidak dapat mendeteksi ketika suatu penggalan kata tulisan Arab yang seharusnya dibaca panjang tetapi justru dipendekkan. Sebaliknya, ketika ada yang seharusnya dipanjangkan tetapi malah dibaca pendek. Dan ini karena kurang teliti dalam memahami karakteristik yang ketiga. Bersambung…
One Comment