Ironis, terasa ngilu tatkala ajaran Tuhan dibombardir melalui buah pikir manusia. Penyamaran realita dengan istilah subjektif-objektif, rasio-empirik, das sollen dan das sein, akan terus bergulir seiring berjalannya zaman, tren, metodologi dan ataupun berbagai luapan dari para cendekiawan yang mengoceh di menara gading.
Muncul pula periodisasi teori pada ranah tesis, sintesis dan antitesis, seakan menimbulkan kesan adanya problematisasi dunia akademik, direncanakan sedemikian rapi oleh para aktor, agar terkesan relatif sepanjang waktu.
Deal, sejarah dapat membuktikan itu semua, berawal dari percaya pada mitos para dewa, kebijaksanaan para filosof, keemasan peradaban Islam, pencerahan belahan Eropa, tertanamnya mindset positivistik, dan sekarang inilah momentum yang tepat untuk menghadirkan kembali nilai-nilai spiritual quoutient (SQ) bagi kehidupan umat manusia.
Jelas sekali, momentum ini menimbulkan pro dan kontra dikalangan para akademisi, dimana satu kubu merasa pesimis dan menolaknya melalui kacamata sistim akademik positivistik, sedangkan kubu yang lain menyambutnya dengan penuh suka cita, bergelora dan sangat antusias untuk menerapkannya di setiap lini kehidupan, fatalis-fundamentalis.
Jika ditinjau dari gejolak perkembangan ilmu pengetahuan, baik itu di dunia Barat maupun dunia Timur, akan menuai skematisasi unik sekaligus menggelitik. Sebut saja ranah disiplin ilmu psikologi, berawal dari objek bahasan terhadap jiwa manusia bernuansa mistik-ketuhanan (Yunani klasik), yakni mengkaitkan berbagai gejala pada diri manusia dengan campur tangan para dewa.
Kemudian, pada perkembangan selanjutnya, dikarenakan wujud nyata para dewa tidak bisa ditafsirkan secara kasat mata, maka objek bahasan beralih pada keterkaitannya jiwa dengan fenomena alam (Yunani Kuno), yakni menghubungkan gejala manusia dengan lingkungan sekitar untuk dicarikan solusi atas problematisasi jiwa terhadap keberpengaruhan lingkungan.
Akan tetapi, pengaruh jawaban atas probem lingkungan pun belum bisa memuaskan para ilmuwan dalam mengkaji sebab terjadinya berbagai gejala pada diri manusia.
Singkat ceritanya di abad ke 21 ini, bahasan psikologi dalam kacamata dunia Barat sedang terfokus pada sisi positif manusia, daripada sisi negatif –yang nampak atau ditimbulkan dari gejala– yang telah lama diperbincangkan selama puluhan abad silam.
Baca juga: Disertasi Abdul Aziz dan Produksi Pengetahuan |
Tren psikologi masa sekarang inilah yang dinamakan psikologi positif, yakni cara pandang terhadap manusia pada sisi positifnya, seperti kesejahteraan, kecukupan hati, harapan dan optimisme, serta kebahagiaan (Marliani 2014).
Polemik Epistemologi
Menarik, seperti istilah “tidak ada hal baru di bawah kolong langit“. Artinya, baik itu sebuah ide, gagasan maupun konsep pemikiran seseorang tidak bisa terlepas dari keberpengaruhan para pemikir sebelumnya, sebagaimana disiplin ilmu psikologi di atas.
Lahirnya piskologi positif pun merupakan hasil antitesis (terpengaruh) terhadap berbagai macam konsep psikologi sebelumnya.
Jadi, kalau kita perhatikan, ternyata telah terjadi transformasi di dalam ilmu pengetahuan, khususnya pada metodologi yang dipakai masing-masing disiplin ilmu, aliran, dan ataupun tren penggunaan worldview (pandangan alam) sesuai zamannya.
Inilah yang menjadi point of view di balik kekacauan dunia akdemik, melahirkan chaos berupa truth claim (kalim kebenaran) dan segenap antek-anteknya, sampai merembet ranah akidah dan ibadah seseorang, “dilematisasi antara ilmu pengetahuan dan agama”.
Islamisasi ilmu pengetahuan
Perkembangan awal diskursus hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan dipelopori oleh Ismail Raji al-Faruqi melalui gagasan islamisasi ilmu pengetahuan. Seorang intelektual muslim dari Jaffa, Palestina, yang menyuarakan keberatan atas dampak negatif perkembangan sains kala itu, di mana paradigma sekuler sains modern telah berhasil mencerabut nilai-nilai teologis dari kehidupan.
Baginya, nilai teologis (ketauhidan) akan senantiasa terikat dengan dimensi apapun, tak terkecuali ranah ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, untuk mewujudkan proyek islamisasi ilmu pengetahuannya, dia berserta sekelompok tim menyusun metodologi baru sebagai pendekatan atas hubungan ilmu dan agama.
Metodologi tersebut berpijak pada prinsip keesaan (kesatuan) Tuhan, kesatuan ciptaan, kesatuan kebenaran dan pengetahuan, kesatuan hidup dan kesatuan manusia (Soleh 2011).
Adapun tujuan dan langkah kerja islamisasi ilmu pengetahuan diarahkan untuk memecahkan dikotomi antara ilmu dan agama, melalui penguasaan berbagai macam ilmu yang telah ada, lalu dihubungkan dengan ajaran agama, maka akan menghasilkan penyegaran ilmu pengetahuan yang telah diperbaharui melalui sudut pandang ajaran agama.
Islam sebagai ilmu
Dikarenakan proyek islamisasi ilmu pengetahuan membutuhkan waktu lama dan biaya yang tidak sedikit, maka perkembangan metodologi –hubungan ilmu dan agama– selanjutnya diarahkan pada ajaran agama itu sendiri.
Adalah Kuntowijoyo, intelektual muslim berkebangsaan Indonesia, mendeklarasikan metodologi baru yang berpijak pada Q.S. Ali Imran ayat 110:
كُنتُمۡ خَيۡرَ أُمَّةٍ أُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَتَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَتُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِۗ وَلَوۡ ءَامَنَ أَهۡلُ ٱلۡكِتَٰبِ لَكَانَ خَيۡرٗا لَّهُمۚ مِّنۡهُمُ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَأَكۡثَرُهُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”.
Melalui ayat tersebutlah, gagasan Islam sebagai ilmu melahirkan seperangkat metodologi unik sekaligus menggelitik. Adapun konsep yang terlahir dari ayat itu tercermin dalam humanisasi, liberasi dan transendensi ilmu.
Dengan kata lain, prosesi Islam sebagai ilmu berawal dari teks menuju ke konteks kehidupan. Praktisnya, wujud kehadiran Islam (al quran dan sunnah) sebagai worldview, kemudian metodologi pengilmuan Islam sebagai basis objektifikasi dan menuju pada yang integral, serta diselimuti etika paradigma Islam, maka akan nampak sekaligus dapat dirasakan timbulnya ajaran Islam di kehidupan sehari-hari (Kuntowijoyo 2004).
Integrasi dan interkoneksi
Setelah berjalannya waktu, konsep Islam sebagai ilmu dinilai mengaburkan makna (dimensi) ilmu dan ajaran agama. Meskipun ajaran agama Islam dijadikan fondasi dasar bagi perkembangan ilmu, namun proses penafsiran ajaran agama pun menuai perdebatan, hal inilah yang justru membahayakan dunia keilmuan dengan mengobjektivikasi ilmu.
Padahal, ilmu tidaklah statis dan final, akan tetapi berkembangan, dinamis, dan dapat diuji-cobakan (falsifikasi). Maka kemudian, muncullah konsep baru yang dinamakan integrasi dan interkoneksi ilmu.
Adalah Amin Abdullah, sebagai pengusung konsep tersebut dengan merujuk atas inspirasinya Ian G. Barbour dan Holmes Rolston terkait hubungan ilmu dan agama.
Adapun prinsip dasar integrasi dan interkoneksi (bercorak dialogis dan integratif) tergambarkan pada tiga kata kunci, yakni semipermeable (saling mengisi celah antar ilmu dan agama, baik klarifikatif, afirmatif maupun transformatif), intersubjective testability (memaknai ilmu dan ajaran agama dengan menggandeng berbagai disiplin ilmu), dan creative imagination (melahirkan konsep baru dengan daya kreativitas di luar kebiasaan) (M. Amin Abdullah dkk. 2014).
Baca juga: Paradigma Integrasi-Interkoneksi: Cuma Tinggal Simbol? |
Sinkronisasi Menjemput Tauhid
Itulah tiga metodologi ilmu: dua yang lampau (islamisasi ilmu pengetahuan dan Islam sebagai ilmu) dan sedang berkembang (integrasi dan interkoneksi ilmu) dalam dunia akademisi.
Sejatinya, jalan apapun yang ditempuh oleh para ilmuwan dalam ilmu pengetahuan, baik itu bertujuan untuk membuktikan kebenaran (islamisasi ilmu pengetahuan), menguji kebenaran (Islam sebagai ilmu), dan ataupun menemukan kebenaran (integrasi dan interkoneksi ilmu), akan bermuara pada sikap tunduk patuh (beriman) kepada Tuhan sebagai Yang Maha Benar, bertauhid (Q.S. al Baqarah ayat 260).
Syaratnya, dalam mengkaji ilmu haruslah secara radikal (mendalam) dan bersikap jujur terhadap ilmunya, tidak ada yang disembunyikan, manipulatif, ataupun dicampuradukan antara yang benar (al-haq) dengan yang salah (bathil), sebagaimana ciri orang-orang yang akal dan hatinya bersih (ulul albab) dalam Q.S. Ali Imran ayat 7:
هُوَ ٱلَّذِيٓ أَنزَلَ عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ مِنۡهُ ءَايَٰتٞ مُّحۡكَمَٰتٌ هُنَّ أُمُّ ٱلۡكِتَٰبِ وَأُخَرُ مُتَشَٰبِهَٰتٞۖ فَأَمَّا ٱلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمۡ زَيۡغٞ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَٰبَهَ مِنۡهُ ٱبۡتِغَآءَ ٱلۡفِتۡنَةِ وَٱبۡتِغَآءَ تَأۡوِيلِهِۦۖ وَمَا يَعۡلَمُ تَأۡوِيلَهُۥٓ إِلَّا ٱللَّهُۗ وَٱلرَّٰسِخُونَ فِي ٱلۡعِلۡمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِۦ كُلّٞ مِّنۡ عِندِ رَبِّنَاۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ
“Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”.
Adapun tunduk patuh kepada Tuhan Yang Maha Benar (bertauhid), sebagaimana ciri ulul albab dalam ayat di atas –dengan melalui berbagai macam jalan sinkronisasi metodologi– dapat tergambarkan melalui skema berikut:
Artinya, keniscayaan perbedaan jalan yang ditempuh oleh para ilmuwan, baik itu melalui jalan islamisasi ilmu, Islam sebagai ilmu, maupun jalan integrasi dan interkoneksi ilmu, jika diniatkan ikhlas karena Tuhan dan jujur dalam ilmunya, akan bermuara pada satu titik yang sama, tidak ada perbedaan walaupun berawal dari titik pijak yang berbeda, muara tersebut yakni tunduk patuh pada Tuhan sebagai pusatnya kebenaran (Huwa al-Haq).
Jadi, dengan menyambut baik berbagai macam metodologi yang ada, dengan niat ikhlas dan bersikap jujur, akan melahirkan tauhid akademik sebagai puncaknya ilmu pengetahuan. Adapun wujud tauhid akademik dalam aspek implementasinya tergambarkan ketika mampu menerjemahkan realita sebagaimana mestinya, dan tidak akan mungkin melahirkan produk pemikiran yang bertentangan dengan ajaran Tuhan. Tunjukilah kami jalan yang lurus []
Sumber Referensi
Kuntowijoyo. 2004. Islam sebagai ilmu: epistemologi, metodologi, dan etika. Cet. 1. Jakarta : Ujung Berung, Bandung: Teraju ; Didistribusikan oleh Mizan Media Utama.
M. Amin Abdullah, Abdul Munir Mulkhan, Machasin, Musa Asy’arie, Khoiruddin Nasution, Hamim Ilyas, dan Fahruddin Faiz. 2014. Praksis Paradigma Integrasi-Interkoneksi dan Transformasi Islamic Studies di UIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta: Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Marliani, Roeslany. 2014. Psikologi Umum. Kedua. Bandung: Pustaka Setia.
Soleh, Achmad Khudori. 2011. “Mencermati Konsep Islamisasi Ilmu Ismail R Faruqi.” Ulul Albab 12(1).
Editor : Sukma Wahyuni
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂
Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
One Comment