Hukum Allah ada yang disebut dengan hukum fikih. Setidaknya ada tiga hukum fikih, yaitu hukum taklifi, hukum wadh’i, dan takhyiri. Hukum taklifi berkaitan dengan wajib, nadb (sunnah), mubah, makruh dan haram. Sedangkan hukum wadh’i berkaitan dengan sebab, syarat, mani’. Adapun hukum takhyiri berkaitan dengan kebolehan seorang hamba untuk melakukan sesuatu atau meninggalkan, tetapi ini berkaitan dengan sesuatu yang mubah, sebab yang haram tidak bisa dijadikan pilihan, ia wajib ditinggalkan, ketiga hukum ini kemudian disebut dengan hukum syariat.
Selain dari ketiga hukum formal (hukum syariah) di atas, di dunia ini ada hukum lain yang disebut dengan sunnatullah. Sunnatullah adalah tradisi, atau kebiasaan Allah dalam mengatur semesta. M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menjelaskan, dari segi bahasa sunnatullah terdiri dari kata “sunnah” dan “Allah”. Kata sunnah berarti kebiasaan, yaitu kebiasaan-kebiasaan Allah dalam memperlakukan masyarakat. (Tafsir Al-Misbah Vol.13. hlm. 205). Dalam KBBI sunnatullah juga dikategorikan dan termasuk dalam hukum alam yang berjalan tetap dan otomatis.
Baca juga: Hakikat Mu’jizat dan Hukum Alam
Antara hukum syariat dan sunnatullah ini boleh jadi sering terkesan berlawanan. Sebab hukum syariat mengehendaki idealitas, sedangkan sunnatullah menghendaki keselarasan, kecocokan, dan proporsionalitas. Yang baik menurut syariat adalah yang melakukan kewajiban dan anjuran, meninggalkan sesuatu yang dibenci dan diharamkan. Tetapi tidak dengan sunnatullah, yang baik menurut sunnatullah adalah yang sesuai peruntukannya, terlepas dari baik dan buruknya.
Orang yang mendirikan salat dan senantiasa berzikir itu adalah tujuan syariat, yang meninggalkan akan mendapat hukuman dan celaan. Tetapi sunnatullah menghendaki adanya orang-orang yang meninggalkan salat dan lalai. Sebab selama masih ada orang-orang muslim yang masih meninggalkan salat dan lalai, selama itu para pendakwah akan memiliki tugas, yaitu mengajak orang untuk salat dan berzikir. Jika seluruh muslim di setiap zaman tidak ada yang meninggalkan salat dan selalu pandai berzikir, mestilah tugas pendakwah akan berkurang drastis bahkan hilang.
Contoh lain, boros adalah perbuatan tercela dalam pandangan syariat, bahkan secara tegas Al-Qur’an menyebutkan orang yang mubadzir adalah saudaranya syaitan. Tetapi secara sunnatullah, sifat boros itu disukai pedagang, suksesnya pedangang atau pebisnis karena memanfaatkan sifat boros manusia. Pedagang yang sukses adalah yang mampu membuat orang membeli barang yang tidak dibutuhkan, sebanyak dan sesering mungkin. Bagi pedagang, peribahasa “orang mubadzir adalah teman syaithan” sangat tidak diharapkan dari pelanggannya. Artinya, dalam konteks ini terjadi pertemuan dua hukum Allah, hukum syariat dan sunnatullah, hukum boros di satu sisi, dan hukum sunnah rezeki di sisi lain.
Baca artikel lainnya: Membaca Alquran dan Alam
Secara syariat, orang yang baik adalah yang jauh dari perbuatan haram. Pencuri, misalnya, akan selalu menjadi buruk hingga ia meninggalkan perbuatan buruknya tersebut. Tetapi secara sunnatullah, pencuri yang baik itu adalah yang pandai mencuri, karena pencuri yang tidak bisa mencuri itu aib bagi profesinya, bukankah aneh apabila ada pencuri yang malas atau tidak mau mencuri? Disisi lain, adanya pencuri merupakan ladang rezeki dan prestasi bagi berbagai pihak keamanan. Bukankah dianggap hebat apabila ada satpam yang berhasil menangkap pencuri?
Dari dua sisi hukum Tuhan di dunia ini, syariat dan sunnatullah, kita menajadi mengerti bahwa dunia ini tidak berjalan dengan sistem ideal sempit seukuran pikiran manusia. Positif dan negatif adalah hukum Tuhan, keduanya menjadi ujian bagi orang yang beriman.
Bagi yang memahami hukum syariat hendaknya menjaga diri agar tidak terjerumus dalam perbuatan haram, mengajak sebanyak-banyak orang untuk juga menjauhinya, tetapi jangan bermimpi dunia akan bersih dari orang yang melakukan perbuatan haram. Dengan memahami dua hukum ini akan menjadikan kita sosok mukmin tidak bosan dalam berbuat baik, dan tidak pula membuat kita putus asa jika masih banyak orang yang berbuat buruk (QS. Al-An’am : 33-35). []
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂
Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
Baca juga: Ghayah dan Wasilah: Upaya Memahami Ayat Kauniyah
takdir, qada dan qadar apakah memiliki komponen dari sunnatullah?