Pendahuluan
Isu yang dihembuskan oleh Ariel Muzicant, Wakil President Kongres Yahudi Eropa, yang tertuang dalam paper terbaru dengan judul “An End to Antisemitism! A Catalogue of Policies to Combat Antisemitis” (akhir untuk anti-semitisisme! sebuah katalog kebijakan untuk melawan anti-semitis).
Mereka mengungkapkan bahwa Al-Qur’an dan Injil harus direvisi, dalam poin yang bermuatan doktrin anti-semitis. Dokumen-dokumen Islam dan Kristen yang mendiskrimasikan Yahudi harus dieliminasi dan disingkirkan. Dan mereka berargumen bahwa kasus-kasus kriminal terhadap pengikut Yahudi disebabkan oleh doktrin dalam Kitab Suci tersebut.
Tapi benarkah Al-Qur’an memuat diskriminasi terhadap kaum Yahudi? Tulisan ini mencoba menjawab dan menjelaskan tuduhan-tuduhan di atas. Al-Qur’an sebagai sebuah teks, memiliki sifat kesejarahan dan kebudayaan yang khas.
Ia merupakan kitab suci yang aktif merespon sejarah, budaya dan lingkungan masyarakat. Ayat-ayat tertentu turun dengan latar belakang hal yang terjadi saat itu (asbab an-nuzul mikro).
Bahkan situasi sosial-politik, kondisi psikologis hingga fisik masyarakat saat itu menjadi latar historis yang khusus ketika turunnya suatu ayat (asbab an-nuzul makro). Keduanya harus dipertimbangkan dalam upaya memahami makna dan maksud ayat.
Siapa itu Yahudi
Secara bahasa kata Yahudi berasal dari bahasa Arab dengan asal kata Yahud. Akar katanya adalah hāda-yahūdu yang berarti raja’a- yarji’u (kembali) , kemudian kata tersebut berkembang menjadi at-Tahwid , yang berarti berjalan merangkak ataupun merayap. Adapun makna al-Hawdu itu sendiri umumnya di artikan dengan taubat.
Kata Yahud seringkali digunakan dengan tambahan huruf “I” di belakang (Yahudi), yang menunjukkan pembangsaan atau bangsa. Akan tetapi di dalam Al-Qur’an sendiri kataYahud terkadang diungkapkan dengan (1) Al-Yahud, seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 113, dan (2)Yahudiy, seperti dalam surat Ali Imran ayat 67.
Agama Yahudi dikenal sebagai agama banyak Nabi. Bani Israel mengenal banyak Nabi, semenjak zaman Ibrahim memperingatkan kaumnya supaya tidak menyembah berhala dan harus keluar dari negeri mereka Khaldera, pergi ke Kanaan, bahaya dan kesulitan yang menimpa kaum Israel mulai kelihatan timbul.
Dari saat itu dan seterusnya, bahaya dan kesengsaraan itu semakin meningkat terus, maka tidak heran, Israel akhirnya mempunyai banyak Nabi. Nabi-nabi inilah yang mengajarkan kepada mereka, apa sebabnya mereka ditimpa malapetaka, mereka juga menyerukan supaya orang kembali ke jalan yang benar, meningalkan kejahatan dan hidup dijalan Tuhan dan kebaikan.
Para Nabi ini adalah orang bijaksana, mereka tahu bahwa “dari yang baik pasti datang yang baik”. Maka sebab itu, raja yang zalim tidak senang pada merek, begitu juga para imam dan pendeta kepada mereka.
Sedangkan bangsa Yahudi yaitu suku bangsa yang merupakan anak keturunan dari salah satu putera Nabi Yakub yang bernama Yehuda. Suku bangsa ini terbagi menjadi dua:
- Seorang anak yang terlahir dari ayat dan ibu bangsa Yahudi disebut Yahudi asli.
- Seorang anak yang terlahir dari ayah bangsa Yahudi dan Ibu dari bangsa lain disebut Yahudi campuran.
Jika ditarik kesimpulan, maka bisa jadi orang yang tidak keturunan bangsa Yahudi memeluk agama Yahudi, sementara orang yang memiliki darah bangsa Yahudi bisa jadi tidak beragama Yahudi. Berangkat dari pemilahan definisi di atas maka dalam Al-Qur’an sendiri membedakan antara pengungkapan Yahudi sebagai agama dan Yahudi sebagai etnis atau bangsa.
Yahudi dalam Al-Qur’an
Perlu diketahui bahwa ungkapan tekstual yang digunakan oleh Al-Qur’an untuk menyebut Yahudi sebagai bangsa ataupun sebagai agama, akan mencakup paling tidak lima terma yakni Yahud, Hud, Hadu, Bani Israil dan Ahl al-Kitab.
Sedangkan terdapat juga ayat-ayat yang berisi tentang Yahudi namun sama sekali tidak menggunakan diantara lima terma tersebut, bagian ini juga termasuk dalam pembahasan ayat-ayat tentang Yahudi dalam Al-Qur’an.
Terma dan ayat yang berkaitan dengan Yahudi tersebut akan dikaji secara tematik dengan cara ayat-ayat tersebut dikategorisasikan berdasarkan tema kasus dalam ayat terkait. Ada beberapa episode ayat Al-Qur’an terkait Yahudi, di antaranya sebaimana dalam uraian berikut
Kaum Yahudi Diberi Kesempatan untuk Berbuat Baik dan Beriman
Pada ayat-ayat yang memuat kata Bani Israil, Al-Qur’an cukup banyak memberikan “pujian” terhadap mereka. Hal ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an masih terbuka terhadap kaum Yahudi masa Nabi Muhammad.
Mereka memiliki kebanggaan terhadap nabi-nabi yang mulia, seperti nabi Ibrahim, Ishaq, Nabi Musa, Nabi Isa dan lainnya yang merupakan nenek moyang Bani Israil.
Dengan cara mengisahkan kembali sejarah nenek moyang mereka, Bani Israil, dimaksudkan agar mereka dapat berpikir dan mengambil contoh. Selain itu, dengan mengisahkannya, juga bertujuan untuk memberikan bukti bahwa Nabi Muhammad benar-benar seorang utusan Allah, yang mana tidak mungkin ada orang pada masa itu—selain ahli kitab—yang mengetahui kisah tersebut dari Taurat.
Akan tetapi pada kenyataannya, kaum Yahudi pada masa Nabi Muhammad telah banyak mengarang cerita dengan mengatakan—dalam perselisihan dengan Nasrani—bahwa Nabi-nabi terdahulu beragama Yahudi.
Kemudian dengan tegas Al-Qur’an menegaskan—sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah: 135 dan 140—bahwa Nabi-nabi tersebut tidaklah seperti yang mereka tuduhkan, namun mereka bertauhid dan ber-millah yang hanif.
Dan juga pelanyelewengan lainnya, seperti mengatakan tangan Allah terbelenggu, Allah memiliki anak, menyekutukan Allah dan lainnya. Mereka juga suka sekali berdebat dan tak jarang terjadi perdebatan mereka dengan kaum Nasrani Najran.
Kaum Yahudi Menyembunyikan Informasi tentang Nabi Muhammad dalam Taurat
Sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an bahwa mereka menyembunyikan informasi tentang Nabi Muhammad. Meskipun pada awalnya, sebelum Nabi Muhammad menerima nubuwwah, mereka selalu bertawassul dengan diri beliau.
Mereka menghentikan membanggakan Nabi Muhammad dengan sifat-sifat mulianya dan mulai menentangnya ketika Nabi Muhammad dan pengikutnya hidup di Madinah.
Jika Berpegang pada Taurat, Kaum Yahudi Seharusnya Mengimani Nabi Muhammad
Telah jelas di informasikan dalam Al-Qur’an bahwa kaum Yahudi telah mengetahui informasi tanda dan sifat Nabi Muhammad dari Taurat. Sebagai ahli kitab seharusnya telah dengan jelas melihat tanda-tanda tersbut.
Akan tetapi sebagian besar mereka menyembunyikan dan mengubah informasi Taurat tentang Nabi Muhammad. Hal tersebut adalah realitas sejarah yang benar-benar terjadi pada masa itu.
Tafsir-tafsir menjelaskan ayat ini dengan makna yang memandang bahwa seharusnya pemeluk agama-agama umat terdahulu berfusi kedalam ajaran yang dibawa Nabi Muhammad.
“Syariat-syariat yang dibawa Nabi Muhammad” dalam penjelasan Nabi Muhammad memberikan pemahaman bahwa syariat agama terdahulu seharusnya telah selesai dengan disempurnakan dengan syariat yang datang melalui Nabi Muhammad.
Hal ini bukanlah sebuah paksaan terhadap mereka untuk memeluk agama Islam, akan tetapi misi Al-Qur’an sebagai penjelasan terhadap mereka terungkapkan dalam ayat ini. Dengan begitu, ayat ini merupakan simbul pluralitas dalam dakwah Islam yang ramah.
Jika kaum Yahudi berpegang pada Taurat dengan sebenar-benarnya, maka sesuai ajaran Taurat mereka seharusnya beriman kepada Nabi Muhammad. Karena Nabi Isa sendiri telah menyatakan bahwa akan ada nabi setelahnya yang bernama Ahmad.
Adapun tanda dan sifat nabi yang dimaksud oleh Nabi Isa telah tertulis dalam Taurat itu sendiri. Dengan demikian, jika kaum Yahudi tidak mau memeluk Islam, maka mereka tidaklah dapat dikatakan sebagai orang yang berpegang pada ajaran kitab Taurat.
Namun ada sebagian mereka yang telah meyakini benarnya tanda dan sifat tersebut pada diri Nabi Muhammad. Dalam penjelasan Ibnu Katsir bahwa sebagian mereka telah mayakini Nabi Muhamad sebagai utusan yang dimaksud oleh Taurat, akan tetapi mereka takut untuk mengakui dan masuk Islam karena ancaman pemuka Yahudi saat itu.
Kaum Yahudi Bersikap Menentang terhadap Nabi Muhammad
Surat Al-Baqarah ayat 120 menunjukkan sifat keras kepala orang Yahudi dan Nasrani, juga kesombongan mereka hingga tidak mau mengakui kebenaran yang telah nyata dijelaskan dalam kitab mereka. Nabi Muhammad dihibur melalui ayat tersebut agar tidak perlu bersedih hati akan hal itu.
Mengingat mengenai sudut pandang kebenaran, bahwa kebenaran yang diyakini oleh masing-masing individu atau golongan akan membentuk fanatisme dan truth claim.
Sikap “merasa yang paling benar”, yang merupakan secara turun temurun sudah merupakan sifat dan watak manusia, cenderung menggunakan sudat pandang subjektif. Berbeda jika kebenaran itu dipandang dengan mempertimbangkan secara objektif fakta dan bukti yang ditemui.
Kaum Mukmin Mengambil Sikap terhadap Kaum Yahudi
Sebagai konsekuensi logis dalam hubungan sisio-religius antara Yahudi Madinah dan orang Mukmin, orang Mukmin mengambil sikap terhadap kaum Yahudi. Anjuran Al-Qur’an dalam Al-Maidah ayat 51 yang menyerukan kepada kaum mukmin agar menghindari mengambil pemimpin dari Yahudi dan Nasrani bukanlah tanpa sabab musabab.
Fakta dan kebenaran yang telah diungkapkan tentang Nabi Muhammad didustakan oleh mereka. Kesempatan yang diberikan oleh Nabi Muhammad supaya mereka berubah dan mau menerima dakwah pun ditentang. Tuduhan mereka yang mengada-ada juga mereka lakukan.
Dengan kondisi seperti itu, sikap protektif yang disarankan oleh Al-Qur’an adalah bahwa jika memang mereka tidak mau menerima dan dengan sombong menolak kebenaran, maka jangan hiraukan mereka.
Biarkan mereka dengan kesesatan mereka. Bahkan Allah mengingatkan lagi kepada Nabi Muhammad—dengan maksud menenangkannya—bahwa telah banyak umat-umat sebelum meraka yang telah Allah binasakan.
Jawaban terhadap Tuduhan Yahudi
Dari ayat-ayat yang terhimpun terkait Yahudi dan terkolompokkan dalam episode-episode kasus tematik sebagaimana di atas. Setidaknya kita bisa menyimpulkan bahwa tuduhan yang dikemukakan dari hasil kongres Yahudi tersebut tidak dapat dibenarkan, dengan analisis-analisis beriktut:
Sejarah yang Terhimpun dalam Ayat Al-Qur’an tentang Bani Israil dan Yahudi merupakan Realitas yang Terbukti
Al-Qur’an memanglah bukan kitab sejarah, akan tetapi ia memuat sejarah umat terdahulu. Satu-persatu kandungan sejarah itu dibuktikan oleh para sejarawan. Sikap-sikap Bani Israil yang tergambar dalam Al-Qur’an bukanlah tuduhan semata.
Dengan melihat fakta sejarah yang terbukti maka tidaklah dapat dikatakan bahwa Al-Qur’an mendiskreditkan bangsa dan kaum tertentu. Tentu saja semangat Al-Qur’an bukanlah untuk menjelek-jelekkan kaum tersebut. Namun sebagaimana sejarah itu sendiri selalu memiliki sisi baik dan buruk, maka tujuan diungkapkannya adalah sebagai pelajaran (ibrah) bagi kaum setelahnya.
Al-Qur’an telah menunjukkan Sikap Bersahabat terhadap Yahudi
Sejarah Nabi Muhammad dalam membina masyarakat Madinah yang mau hidup saling bekerja sama dengan mereka, membangun dan menjaga hubungan baik sebagai masyarakat yang majemuk merupakan bukti bahwa Islam bersikap terbuka terhadap keberagaman keyakinan.
Bahkan Nabi Muhammad dan kaum mukmin melakukan peperangan pertama melawan kaum musyrik Makkah, setelah bersabar selama sepuluh tahun, dinyatakan oleh Al-Qur’an bahwa peperangan tersebut dilakukan dalam semangat melindungi kaum agama lain sebagaimana disebutkan dalam Al-Hajj ayat 39-40.
Dalam ayat-ayat awal yang diturunkan di Madinah, Al-Qur’an cenderung memberi kesempatan terhadap Yahudi sebagaimana dalam surat Al-Baqarah ayat 62. Jika mereka mau mengikuti syariat Nabi Muhammad maka sebenarnya mereka telah mengikuti petunjuk kitab mereka, Taurat.
Namun jika mereka tidak mau masuk Islam maka Nabi Muhammad tetap mempersilakan mereka hidup di Madinah dengan status sebagai dzimmy.
Kritik Al-Qur’an terhadap Yahudi Bersifat Universal dan Menekankan Prinsip Moral
Jika kita lihat pesan keseluruhan Al-Qur’an maka ia lebih mengedepankan misi keadilan dan moralitas, dimana nabi Muhammad sendiri menyatakan bahwa diutusnya adalah untuk kesempurnaan akhlaq manusia.
Penyebutan tokoh dan subjek yang dimuat dalam ayat “kezhaliman” bukanlah untuk mendiskreditkan ataupun menyudutkannya, akan tetapi yang diangkat adalah pelajaran dari peristiwa atau kisah itu.
Apa yang dijelaskan oleh Al-Qur’an yang dianggap sebagai sikap anti terhadap Yahudi, karena tidak berusaha melihat keseluruhan pesan Al-Qur’an. Ketika Al-Qur’an menyebutkan Bani Israil atau ahl al-kitab sebagai pelaku dalam mengubah isi Taurat misalnya, maka sasarannya adalah perilaku merubah kitab suci bukanlah sesuatu yang dapat dibenarkan.
Atau ketika Al-Qur’an memperingatkan dengan menyebutkan bahwa pendahulu Yahudi pernah melakukan kejahatan dengan membunuh para nabi, maka sebenarnya yang ditekankan adalah tentang buruknya pembunuhan. Maka sebenarnya pesan utamanya adalah bukan tentang siapa yang melakukan tetapi apa yag dilakukan.
Yahudi yang Menjadi Sasaran Kritik Al-Qur’an Bersififat Partikular untuk Yahudi Madinah Zaman Nabi Muhammad
Jika Al-Qur’an “terpaksa” menuduh kaum Yahudi dan menganjurkan kepada kaum mukmin untuk bersikap anti terhadap mereka, maka itu merupakan sikap yang diambil setelah pengalaman-pengalaman kaum mukmin bersama mereka di Madinah.
Artinya sikap anti tersebut tidaklah diberlakukan dengan semena-semena tanpa alasan. Selama Nabi Muhammad bersinggungan dengan mereka di Madinah, justru sikap menentang dan kesombongan untuk menerima kebenaran ditunjukkan oleh mereka.
Kesalahan dan tindakan sewenang-wenang juga pernah mereka perbuat, seperti melakukan pembunuhan terhadap seorang wanita untuk merampas hartanya. Selain itu sebagian mereka, dalam hal ini Yahudi Bani Nadhir, diusir dari Madinah karena sikap-sikap yang tidak dapat ditolerir oleh Nabi Muhammad.
Bahkan kemudian mereka berkomplot dengan kaum musyrik Makkah dalam mengadakan pemberontakan melawan Madinah sendiri dalam perang Ahzab.
Sikap yang diungkapkan Al-Qur’an terhadap Yahudi tidak dapat dituduh sebagai sinisme dan pendiskreditan Yahudi secara umum. Masih ada kaum Yahudi saat itu yang mau menerima dan berlaku baik terhadap Nabi Muhammad sesuai pesan Taurat.
Jika dalam konsteks saat ini, maka kaum muslim yang cenderung mendeskriminasi Yahudi, sebagai bentuk respon ayat-ayat tersebut, tidaklah sesuai dengan semangat dan pesan utama Al-Qur’an yang egaliter dan menjunjung kebebasan dalam beragama.
Kesimpulan
Bahwa Al-Qur’an tidak serta-merta menyudutkan Yahudi secara keseluruhan, dengan melihat bahwa: secara tematik sebagai berikut:
(1)kaum Yahudi diberi kesempatan untuk berbuat baik dan beriman,—namun justru— (2)kaum Yahudi menyembunyikan informasi tentang Nabi Muhammad dalam Taurat, (3)jika berpegang pada Taurat, kaum Yahudi seharusnya mengimani Nabi Muhammad,—tetapi— (4)kaum Yahudi bersikap menentang terhadap nabi Muhammad—maka—(5)kaum mukmin mengambil sikap terhadap kaum Yahudi.
Apa yang dituduhkan bahwa Al-Qur’an anti-semitis tidaklah benar, mengingat bahwa sejarah yang terhimpun dalam ayat Al-Qur’an tentang Bani Israil dan Yahudi merupakan realitas yang terbukti, Al-Qur’an telah menunjukkan sikap bersahabat terhadap Yahudi, kritik Al-Qur’an terhadap Yahudi bersifat universal dan menekankan prinsip moral, Yahudi yang menjadi sasaran kritik Al-Qur’an bersifat partikular untuk Yahudi Madinah zaman Nabi Muhammad.
Maka tidaklah bijak mengaharap dan menganjurkan agar Al-Qur’an direvisi atas ayat yang dianggap anti-semitis dikarenakan Al-Qur’an itu muatan pesan secara keseluruhan dan bukan partisi-partisi untuk mengecam umat tertentu.
0 Comments