Dialektika Tafsir “bi Al-Ma’tsur” dan “bi Ar-Ra’y” (Kajian Al-Âshil dan Ad-Dâkhil)

Pada akhirnya karena mentahnya "kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah" akan sulit dinikmati dan diaplikasikan.6 min


3

Usaha-usaha untuk memahami dan mengungkap kandungan dan pesan Al-Qur’an tidak dapat terlepas dari perkembangan zaman, yang menuntut cara pandang yang lebih cair untuk menemukan makna yang lebih dapat diterima dalam gerak zaman yang menyebar. Dalam perkembangannya ulama membagi metode penafsiran Al-Qur’an kedalam dua model; (1) tafsir bi al-ma’tsur dan (2)tafsir bi ar- ra’yi.

1. Al-Ma’tsur:  Tafsir pada Masa Nabi Muhammad Hidup

Tafsir bi al-ma’tsur dalam terminologi ulama tafsir dan ilmu tafsir, seabagaimana yang diungkapkan Fahd ar-Rumi, adalah penafsiran ayat dengan metode; (1) tafsir Al-Qu’ran dengan Al-Qur’an, (2) tafsir Al-Qur’an dengan hadis, (3) tafsir dengan perkataan Sahabat Nabi, dan ada juga yang menambah dengan perkataan tabi’in (generasi setelah sahabat).

Keberadaan tafsir Al-Qur’an dengan ma’tsur, baik tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, tafsir Al-Qur’an dengan hadis, tafsir Al-Qur’an dengan perkataan sahabat, merupakan istilah untuk sebuah metode yang telah terbentuk pada jenis tafsir dan ilmu tafsir periode ulama mutaqaddimin (klasik).

Pembukuan karya tafsir pertama merupakan perwujudan metode tafsir ini. Selama masa klasik tersebut diskursus tafsir dan ilmu tafsir berkelindan pada bagaimana Al-Qur’an mendapatkan anotasi-anotasi, dengan proses penjelasan ayat dengan sesama ayat, atau hadis, atau perkataan sahabat sebagai penjelasnya.

Penafsiran tersebutlah yang seringkali dikatakan sebagai penafiran asal yang murni (al-âshil). Namun pada gilirannya, ia mendapatkan kritik bahwa ia tidak dapat dikatakan ‘murni’. Pasalnya terjadinya pencocokan ayat dengan ayat, ayat dengan hadis, atau dengan perkataan sahabat sebagai penafsiran, sebagaimana yang dilakukan oleh para penafsir periode klasik, yang merupakan sebuah usaha yang telah tercampuri oleh pendapat dan ‘praduga’ (ra’yu) sang penafsir.

Pada proses pencocokan itu terjadi pemilahan yang melibatkan subjektifitas penafsir, meminjam bahasa Gadamer, bahwa dalam proses itu telah terjadi asimilasi horizon antara horizon teks dan horizon penafsir. Dengan demikian apa yang dikatakan sebagai tafsir bi al-ma’tsur oleh para ulama, sebagaimana diatas, cenderung pada al-ma’tsur secara umum.

Dengan kategori kritis dapat dikatakan, yang layak disebut sebagai al-ma’tsur dalam tafsir Al-Qur’an adalah penjelasan Nabi Muhammad atas suatu ayat, atau penjelasan dan ijtihad sahabat, yang terjadinya penjelasan itu saat Nabi Muhammad masih hidup. Hal ini disandarkan pada legitimasi oleh ayat 3-4 surat an-Najm, “wa mâ yanthiqu an al-hawâ, in huwa illâ wahyun yûhâ” (tidaklah Nabi Muhammad memikirkan (sesuatu) dengan hawa (nafsu) nya, melainkan ia adalah wahyu yang diilhamkan kepadanya).

Tradisi sahabat dalam menerima penjelasan Nabi Muhammad atas suatu ayat yang terjadi di pengajian-pengajian yang diikutinya juga dapat dikatakan sebagai sumber al-ma’tsur yang otentik. Misalnya sahabat Abdullah ibn Abbas yang menuliskan catatan pinggir, sebagai anotasi, atas ayat yang ditulisnya di media tulis yang ada pada masa itu. Meskipun kemudian Nabi memperingkatkan agar tidak menulis perkataannya selain ayat Al-Qur’an.

Nabi Muhammad sebagai penafsir utama, sedangkan Nabi Muhammad menjadi pemutus perkara para sahabat yang hidup bersamanya. Maka apa yang layak disebutkan sebagai tafsir bi al-ma’tsur terbatas pada hal ini. Sedangkan ulama mutaqaddimin yang karya tafsirnya dikategorikan sebagai tafsir bi al-ma’tsur (dalam hal metodenya menjelaskan ayat dengan ayat, atau hadis, atau qaul sahabat), dengan kategori lebih ketat, maka ia (1) haruslah bersih dari riwayat-riwayat yang yang latar waktunya adalah setelah Nabi Muhammad wafat, (2) selain itu harus bersih dari hadis-hadis yang tidak berkenaan secara langsung dengan penjelasan Nabi Muhammad tentang suatu ayat.

Dapat dicontohkan, misalnya, ketika Ath-Thabari menafsirkan surat an-Nisa’ ayat 34, “ar-rijâlu qawwâmun ala an-nisâ’…”, di sana Ibnu Jarir mencantumkan beberapa riwayat yang berkenaan langsung dengan tafsir atas ayat. Namun dia mengawalinya dengan mencantumkan pendapat Abu Ja’far yang bermuatan tafsir atas ayat tesebut. Pada intinya penafsiran Ath-Thabari bukanlah tafsir bi  al-ma’tsur dalam pengertian ‘anti analisis’. Dia menggunakan pendapat orang lain, atau dapat dikatakan ia menggunakan analisa (ra’yu) untuk mengungkap maksud ayat. Di sana bahkan Abu Ja’far menjelaskan aspek kriteria mengenai ar-rijâl yang ideal.

Dengan demikian, penggunaan al-ma’tsur dalam tafsir ulama muataqaddimin lebih sebagai komponen pendukung analisa. Meskipun pada tatarannya, menurut ar-Rumi, ra’yu akan terbagi kedalam al-mahmûdan al-madzmûm. Namun dalam dialektika antara bi al-ma’tsur dan bi ar’ra’yi dalam tafsir dan dikotomi antara keduanya menjadi rancu dengan melihat kanyataan pada karya tafsir yang ada.

Maka yang menjadi persoalan dalam kajian al-ma’tsur, apakah yang dimaksud dengan al-ma’tsur  adalah (1) penafsiran yang telah diberikan Nabi dan para sahabat; atau (2) penafsiran Al-Qur’an berdasarkan bahan-bahan yang diwarisi dari Nabi berupa Al-Qur’an dan sunnah, serta pendapat sahabat yang menurut Al-Hakim sama nilainya dengan hadis marfu‘.

Dalam hal yang pertama, sebagaimana yang telah diuraikan diatas, al-ma’tsur  menjadi sifat bagi tafsir, sedangkan dalam hal yang kedua ia menjadi sifat dari sumber-sumber yang digunakan di dalam penafsiran. Kedua permasalahan ini mempunyai implikasi yang besar dalam penafsiran.

Jika yang pertama diterima, maka tafsir bi al-ma’tsur  ialah sesuatu yang telah baku dan tidak dapat dikembangkan lagi. Dalam hal ini, tugas seorang mufassir hanya meneliti sanadnya, apakah sahih atau tidak. Jika ternyata sahih, maka penafsiran tersebut diterima, sebaliknya apabila tidak sahih, maka penafsiran itu ditolak.

Apabila pengertian yang kedua diterima, maka tafsir bi al-Ma’tsur  dapat dikembangkan sesuai dengan tuntunan zaman karena dalam pengertian yang kedua itu masih terbuka bagi mufassir  untuk mengembangkan pemikiran dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an.

Kedua pemahaman diatas tidaklah bertentangan, karena yang pertama merupakan al ma’tsur dalam pengertian sempit, sementara yang kedua adalah pengertian yang lebih luas. Walaupun pengertian yang kedua memberikan peluang bagi ulama untuk berijtihad dalam penafsiran, namun tidak sampai kepada wilayah tafsir bi ar-ra’yi.

Dengan kata lain, dalam tafsir bi al-ma’tsu tetap menjadikan riwayat sebagai dasar; sedangkan tafsir bi ar-ra’yi berangkat dari pemikiran (ijtihad), kemudian dicari argumen berupa ayat-ayat Al-Qur’an, sunnah Nabi, dan sebagainya untuk mendukung penafsiran tersebut.

Namun perlu diingat bahwa penafsiran Nabi itu terdiri atas dua kategori : (1) sudah terperinci. Ini biasanya menyangkut masalah ibadah seperti kewajiban salat, zakat, puasa, haji, dan sebagainya. Semua ini sudah terinci dan tidak dapat dikembangkan lagi.Artinya apa yang telah digariskan oleh Nabi Muhammad berkenaan dengan masalah-masalah ibadah tidak perlu ditafsirklan lagi, tapi cukup kita laksanakan sesuai dengan ketentuan tersebut dan tak boleh diubah sedikit pun; dan (2) dalam garis besarnya, atau boleh disebut pedoman dasar yang dapat dikembangkan oleh generasi selanjutnya. Ini biasanya berhubungan dengan masalah-masalah muamalat seperti hukum, urusan kenegaraan, kekeluargaan, dan sebagainya.

Dalam lapangan inilah diperlukan ijtihad supaya pedoman-pedoman yang telah digariskan oleh Nabi Muhammad dapat diaktualisasikan dan diterapkan di tengah masyarakat sesuai dengan tuntunan zaman. Dengan demikian, Al-Qur’an akan selalu shâlih li kulli zamân wa makân serta mampu membimbing umat kejalan yang benar. Disinilah diperlukan tafsir bi ar-ra’yi yang berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis dan bukan hanya berdasarkan hasil pemikiran semata.

2. Kemunculan Tafsir bi ar-Ra’yi

Terlepas dari pergulatan batasan al-ma’tsur dan ar-ra’yu di atas, kegiatan ‘menalar’ ayat Al-Qur’an yang dilakukan oleh Nabi Muhammad dan sahabatnya telah banyak diriwayatkan. Artinya secara asali apa yang dilakukan Nabi Muhammad dan juga para sahabat, dengan manafsirkan Al-Qur’an menjadi titik awal berangkatnya tradisi tafsir bi ar-ra’yi yang muncul di kalangan mufassir yang hidup setelah mereka.

Namun dengan berlandas pada surat an-Najm ayat 3-4, bahwa perkataan Nabi adalah sebagai bagian wahyu yang diberikan oleh Allah, maka penalaran Nabi atas suatu ayat dengan ra’yu-nya tidak pantas disebut sebagai tafsir bi ar-ra’yi. Sedangkan klasifikasi bi ar-ra’yi ini dapat kita berlakukan pada ijtihad para sahabat yang terjadinya pada masa Nabi Muhammad hidup, di mana ijtihad mereka merupakan embrio lahirnya penggunaan ra’yu dalam memahami dan menafsirkan ayat Al-Qur’an.

Terdapat beberapa hadis yang menggambarkan bagaimana Nabi Muhammad memberikan kesempatan kepada para sahabat (yang mampu) untuk melakukan ijtihad, di mana ijthad merupakan salah satu bentuk penafsiran dengan ra’yu yang metodenya berangkat dari Al-Qur’an dan sunnah. Diantara hadisnya adalah:

“Dari Amr bin Ash bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Ketika seorang hakim hendak memutuskan hukum, lalu berijtihad, kemudian benar, ia mendapatkan dua pahala. Jika ia hendak memutuskan hukum, lalu berijtihad kemudian ternyata salah, ia dapat satu pahala.” (HR. Muslim)

Ibnu Hamzah Ad-Dimasyqi menyebutkan bahwa hadis tersebut muncul ketika ada dua orang yang sedang berseteru. Lalu Rasulullah saw. memerintahkan Amr bin Ash untuk menjadi hakim. Amr bin Ash menolak karena masih ada Rasulullah saw. yang menurutnya pasti benar keputusannya. Ia menilai keputusannya mungkin salah, dan jika salah tentu tidak artinya. Rasulullah saw. menegaskan bahwa usaha seorang hakim mencari keputusan yang tepat tidak akan sia-sia. Ketika ia telah berusaha keras mencari keputusan yang benar, ia akan mendapatkan pahala. Terlepas dari salah atau benar keputusan yang dibuatnya.

Selain itu terdapat peristiwa Nabi Muhammad melarang penerapan “hukum Allah” saat perang dan memerintahkan agar diterapkan “hukum” Sa’ad bin Mu’adz dalam hadis berikut:

“Dari Ibnu Buraidah dari ayahnya bahwa ketika memberi perintah kepada komandan perangnya Rasulullah saw., “Jika kamu berhasil mengepung benteng musuh, lalu musuh ingin dihukumi berdasarkan hukum Allah, jangan hukumi berdasarkan hukum Allah. Tetapi hukumi berdasar keputusanmu sendiri. Karena, engkau tidak tahu apakah kamu sudah benar dalam menerapkan hukum Allah.” (HR. Al-Thahawi No. 3575).

Terdapat juga peristiwa yang sangat populer mengenai sahabat Muadz bin Jabal yang diutus Nabi Muhammad ke Yaman dalam hadis berikut:

“Dari orang-orang Himsh murid dari Mu’adz bahwa Rasulullah saw. mengutusnya ke Yaman. Rasulullah saw. bertanya, “Bagaimana caramu memberi keputusan, ketika ada permasalahan hukum?” Mu’adz menjawab, “Aku akan memutuskan berdasar kitabullah.” Rasulullah bertanya, “Jika engkau tak menemukan dasar dalam kitabullah?” Mu’adz berkata, “Aku akan menghukumi berdasarkan sunnah Rasulullah saw.” Rasul berkata, “Jika kau tidak menemukan dalam sunnah Rasul?” Mu’adz menjawab, “Aku akan memutuskan berdasarkan pendapatku” Rasulullah saw. menepuk-nepuk dada Mu’adz sambil berkata, “Segala puji bagi Allah yang menuntun utusan Rasulullah kepada apa yang diridai Rasulullah” (HR. Al-Baihaqi No. 3250).

Hadis-hadis tersebut menunjukkan bagaimana ra’yu diposisikan sebagai alat penting dalam penggalian hukum yang tentunya landasannya adalah Al-Qur’an dan hadis. Pada kesmpatan yang lain para sahabat juga pernah melakukan ijtihad dalam beberapa kasus, yang terjadi pada masa Nabi Muhammad hidup, baik dalam keadaan sedang bersama Rasulullah ataupun di lain keadaan.

Dalam hal metode yang ditempuh oleh para sahabat dalam memfungsikan ra’yu-nya untuk menafsirkan Al-Qur’an, sudah barang tentu sebagai langkah pertama, para sahabat akan merujuk kepada Al-Qur’an dan sekiranya jelas hukum yang terdapat di dalam Al-Qur’an maka mereka akan menerimanya tanpa ada bantahan. Jika tidak ada nash di dalam Al-Qur’an, maka mereka akan mengembalikan pada hadis, bila tidak ditemukan juga maka sahabat konfirmasikan dan berkonsultasi dengan sesama sahabat untuk menetapkan hukum.

Umar ibn al-Khattab misalnya, yang merupakan sahabat yang begitu masyhur dalam menggunakan metode “maslahah”. Bahkan terdapat juga dikalangan para sahabat yang memilih untuk tidak meriwayatkan hadis. Mereka lebih cenderung menggunakan pandangan mereka sendiri(ra’yu).

Menurut Amir Syarifuddin, ijtihad dalam bentuk memberikan penjelasan terhadap nash yang telah ada, baik nash Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Suatu ketentuan hukum yang sudah ada dalam nash masih memerlukan ijtihad dan menimbulkan penafsiran yang berbeda di kalangan sahabat.

Dengan demikian, bisakah kita kembali pada Al-Quran dan Hadis atau Sunnah secara murni, jika para sahabat pada masa Nabi Muhammad ketika masih hidup pun telah bergeliat berijtihad dan menakar wahyu dan menalar sabda Nabi? Pada akhirnya karena mentahnya “kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah” akan sulit dinikmati dan diaplikasikan. []

_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]

Jadi, bagaimana pendapat Anda tentang artikel ini? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! 

Anda juga bisa mengirimkan naskah Anda tentang topik ini dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannyadi sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.iddi sini!


Like it? Share with your friends!

3
Muhammad Maghfur Amin
Alumni S1 jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Guru MI Narrative Quran (MINAN), Lamongan. Saat ini menempuh S2 di UIN Sunan Ampel Surabaya pada jurusan yang sama (Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir).

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals