Dampak Pandemi Covid-19: Antara Objektivitas dan Rekonstruksi Behavior

Lebih tepatnya, zona nyaman pragmatis sistemik telah mengobjekifkan sang subjek, mematikan rasionalitas sebagai identitas kemanusiaan. 7 min


7
Gambar: detiknews

Merebaknya pandemi Corona atau yang lebih familiar disebut dengan istilah Covid-19 di seluruh belahan bumi termasuk Indonesia, telah mendekonstruksi tatanan kehidupan yang telah ada. Hampir semua sektor kehidupan umat manusia yang telah ditetapkan dan mapan mengalami degradasi yang berarti, bahkan tak diprediksikan sebelumnya.

Umat manusia yang hobinya berlalu-lalang dengan terpaksa harus dirumahkan. Berduyun-duyun para pemilik profesi yang melibatkan banyak orang dihimbau untuk diliburkan sementara waktu. Terkecuali perusahaan-perusahan besar penyokong tumbuh-kembang ekonomi tetap aktif, meskipun meme “bagi karyawan yang masih hidup silakan masuk kerja” terus gencar berkeliaran direpost di media sosial.

Tidak hanya perusahaan, pihak pengamanan masyarakat, sebut saja polisi, tentara dan satuan polisi pamong praja serta lain sebagainya kian gencar memberi himbauan untuk melakukan isolasi diri yang ketat demi keamanan bersama. Sementara apotek dan rumah sakit beserta jajarannya, kini menjadi basecamp para pahlawan di garda depan. Paramedis menjadi andalan semua pihak, meskipun di satu sisi stok Alat Pelindung Diri (APD) semakin langka.

Namun tetap saja, warga sipil tidak hanya bediam diri dan berperan sebagai penonton, uluran kasih dari pelbagai kalangan relawan terus silih berganti berdatangan. Persamaan persepsi dan upaya penanggulangan menjadi kunci atas persoalan. Social (physical) distancing dan lock down (red; istilah keren dari Pembatasan Sosial Berskala  Besar, PSBB) menjadi upaya yang terus dihimbau dan digalakkan.

Dalam upaya tersebut, satuan jajaran lembaga pendidikan, menjadi pihak yang bertanggungjawab untuk menjaga kesehatan semua pihak yang berkecimpung di dalamnya. Sebagai konsekuensinya, libur panjang pun diberlakukan. Namun, libur dalam konteks ini tidak benar-benar libur secara total, melainkan keberlangsungannya bersemayam dalam kampanye work from home (WFH, kerja dari rumah).

Hampir semua anak didik; siswa/i, santriwan/ti ataupun mahasiswa/i bertapa di dalam rumah. Begitu halnya dengan para pendidik; dewan guru, dewan asatid dan reng-rengan para dosen, semuanya dirumahkan. Hal ini digadang-gadang sebagai upaya yang lebih efektif meminimalisir penularan virus.

Virus yang menjadi biang keresahan dan kekhawatiran itu pun nyatanya belum benar-benar sirna terbumihanguskan. Keresahan akan virus itu pun lambat-laun sedikit terlupakan dengan adanya berjubel tugas dan proses pembelajaran pengganti via daring. Kemutakhiran teknologi menjadi jalan alternatif untuk merawat upaya mencerdaskan kehidupan generasi muda bangsa Indonesia.

Baca juga: Aktivis Milenial, Corona dan Kampus Abad 21

Kehadiran gadget-gadget pun mulai diperhitungkan sebagai instrumen penting dalam dunia pendidikan. Laptop, smartphone, internet dan kuota paket data (WiFi) menjadi media penting yang harus dimiliki oleh dua pihak yang sedang transaksi pengetahuan. Anak didik dan guru sama-sama dituntut untuk mampu memanfaatkan teknologi secara maksimal.

Namun yang menjadi pertanyaan mendasar dalam implementasi upaya alternatif ini adalah; apakah setiap orang benar-benar memiliki gadget yang mendukung program inisiatif ini? Misalnya saja memiliki android yang telah berkapasitas besar untuk mendownload dan  menggunakan aplikasi ruang belajar virtual tertentu. Entah itu Google room, Zoom, Edmodo, ruang belajar dan lain sebagainya.

Selain itu, apakah benar semua guru dan anak didik telah memahami dengan baik tentang bagaimana cara belajar melalui media virtual? Sebab, bagaimanapun move on dari proses pembelajaran dengan  model yang telah berlaku melalui tatap muka langsung dalam suatu ruangan, bukanlah hal gampang, sebab telah menjadi rutinitas.

Berkumpul dalam satu titik, bertatap muka dan berinteraksi secara langsung sebagai sebuah rutinitas telah menjadi suatu kesadaran interpersonal. Kesadaran interpersonal yang terus terngiang-ngiang. Kesadaran konservatif yang bersifat eksklusif terhadap sesuatu hal yang baru, sedikit banyak kerap menyisipkan rasa tabu, enggan diganggu gugat dan beranjak dari posisi awal.

Sebutkan saja kontruksi behavior itu dengan zona nyaman sistemik yang telah terkondisikan dengan baik. Mungkin dengan laga bisik-bisik, para Freudian akan menyebutkan keadaan itu sebagai kesadaran alam bawah sadar yang dengan bebal terulang-ulang, hingga akhirnya mengejawantahkan diri sebagai zona nyaman.

Sebagai analogi, profesi guru misalnya. Bagaimana mungkin akan sangat mudah merombak kembali kebiasaan manajemen diri seorang guru yang telah mapan. Kita bayangkan saja, setiap hari ia harus memperhatikan betul manajemen waktu yang telah ditetapkan; bahkan merenunginya sebelum tidur, ia mempersiapkan setiap agenda apa saja yang harus digelutinya di hari esok dengan ketat. Mulai dari bangun tidur, prepare materi guna transaksi pengetahuan di dalam kelas, menghitung berapa alokasi waktu mengajar yang telah terjadwalkan, cek lock (mengisi absensi kehadiran), mengerjakan tugas harian lainnya, mengurusi tunjangan profesi guna kenaikan pangkat, mengurusi urusan rumah tangga, bersosial dan lain sebagainya. Belum lagi nanti kalau mendadak ada pekerjaan lembur.

Bukankah semua itu nampak terjadwalkan dengan disiplin dan begitu ketat? Bahkan tidak menutup kemungkinan akan ada hal lain yang harus dikorbankan. Misalnya waktu kebersamaan dengan keluarga di rumah berkurang, sehingga berdampak pada memudarnya ikatan di antara masing-masing anggota keluarga. Atau mungkin momentum khusus untuk bergabung menjadi bagian dari kesadaran diri dalam bergaul dengan tetangga sekitar yang harus terkesampingkan.

Kedisiplinan dan keteraturan yang menjadi behavior itulah kemudian spontanitas harus diberhentikan, digantikan seiring dengan diberlakukannya kebijakan work from home.

Guru tidak lagi harus memegang spidol bergandeng white board, bercakap-cakap di depan kelas, menenteng buku LKS, menata media demonstrasi dan memperhatikan kondisi pembelajaran di dalam ruangan serta lain sebagainya.

Kini yang berlaku hanya bertatap muka secara virtual. Proses pembelajaran dan berkomunikasi dalam upaya transaksi pengetahuan berlangsung dalam dimensi ruang yang berbeda. Perbedaan dimensi ruang yang diam-diam merenggut kehadiran common sense of emotional di antara masing-masing interpersonal.

Baca juga: ‘Uzlah dan Corona: Sampai Kapan Kita Harus Mengisolasi Diri?

Terenggutnya common sense of emotional interpersonal dari kebiasaan hadir dalam ruangan itu diperparah dengan social (physical) distancing dan karantina yang tak berkesudahan. Alhasil, psikis masing-masing personal sedikit demi sedikit terguncang, sementara  belonging ness (love needs) terus meronta-ronta menahan dahaga, kehausan.

Percaya atau tidak, setiap manusia yang hidup sudah pasti membutuhkan perhatian, kasih sayang, cinta dan bentuk pengejawantahan lainnya dari common sense. Tidak terpenuhinya needs belonging dalam setiap diri pribadi ini, selanjutnya berpotensi pada maraknya tindakan amoral dan menjadikan media sosial sebagai objek pelampiasan.

Selain mendekonstruksi tatanan moral melalui pembatasan sosial dari zona behavior, nyatanya tidak terpenuhinya love needs berakibat fatal pada estem needs: tidak tercapainya prestise, terabaikannya penghargaan, status, ketenaran, apresiasi, dominasi, menjadi penting, kehormatan, percaya diri, kemandirian, kompetensi, penguasaan dan kekuatan. Semuanya tidak menjadi penting, akibat kebobrokan psikis. Toh, harapan-harapan yang mendarah daging telah tersembelih oleh realitas yang mengejutkan.

Ironisnya, level itu akan memberanguskan meta needs (self actualization needs) di dalam diri setiap personal. Di mana segenap kebutuhan yang memiliki potensi yang menjadi ciri khas kemanusiaan tidak lagi diperhatikan. Kebutuhan untuk mencapai tujuan, terus maju, menjadi lebih baik, kreatif, realisasi diri dan perkembangan diri sama sekali tercampakkan, tidak lagi dibutuhkan. Sembari membawa obor kehidupan, pemuja akut Abraham Harold Maslow dengan tegas memungkinkan dirinya untuk berargumen demikian.

Betapapun kondisi bumi pertiwi akhir-akhir ini kian menegangkan dan belum terbiasakan, tugas dan tanggungjawab mencerdaskan generasi bangsa tidak hanya bertumpu pada peran seorang guru, melainkan harus bermitra dengan para bapak dan ibu (wali murid).

Sembari terus mengupayakan, diam-diam guru secara sadar harus mengakui pula bahwa inisiatif ini memiliki sisi yang saling bertolak belakang. Menyadari bahwa implementasi ruang pembelajaran virtual ini akan diiringi oleh pelbagai kendala yang melulu digelisahkan. Baik itu dari faktor usia, gagal paham atas teknologi (gaptek), keterjangkauan geografis dan kurangnya kuota internet yang mendukung.

Faktor usia sangat berdampak besar terhadap kemandirian belajar siswa, termasuk pula memahami bagaimana cara belajar efektif dengan menggunakan ruang virtual. Dalam konteks belajar model online ini, anak didik yang terkategorikan berada di jenjang pendidikan usia dini, taman kanak-kanak dan sekolah dasar kelas 1-2,  setidaknya harus ada yang dapat membantu sekaligus mengawasi.

Terlebih lagi, kalau anak didik tersebut penggemar berat games online seperti mobile legend, PUBG dan lain sebagainya. Sudah barang tentu, tingkat kefokusan dalam belajar via daring ini sangat mempengaruhi tingkat pemahaman tentang materi pelajaran.

Terkait hal itu, dapat disebutkan pula bahwa faktor usia dapat berpengaruh pada intensitas pemahaman personal atas penggunaan teknologi. Usia dini dan usia lanjut sangat dimungkinkan berada pada posisi yang rentan mengalami gagal paham atas teknologi (gaptek).

Anak didik yang berusia dini, labil dan pecandu gaming, fokusnya sangat mudah teralihkan, sehingga selama proses pembelajaran perlu pengawasan orang ketiga yang lebih dewasa (orang tua).

Sementara itu, gagal paham atas operasional teknologi  juga berlaku pada guru yang berusia lanjut, sehingga dibutuhkan tutor yang baik, telaten dan penuh kesabaran. Kecanggungan atas teknologi ini berlaku bagi guru yang memang belum terbiasa menggunakan gadget dalam pengerjaan tugas-tugasnya. Terlebih lagi tidak memiliki gadget yang mendukung, baru akhir tahun lalu saja memiliki gadget atau mungkin memang tidak ada minat untuk memperbaharui diri dari ketidakmampuannya.

Sebab, bagaimanapun pengopersian gadget adalah pengetahuan terapan yang dapat dipelajari secara mandiri, tekun berkonsultasi atau bahkan melihat private guide (tutorial) di YouTube.

Selain faktor usia dan gaptek, keterjangkauan geografis juga mempengaruhi pembelajaran virtual. Mengapa demikian? Sebab ruang belajar virtual ini mengandalkan keterjangkauan jaringan internet. Bagi mereka yang memiliki tempat tinggal yang darurat sinyal untuk online, tidak menutup kemungkinan susah untuk secara kontinyu aktif mengikuti ruang pembelajaran via daring.

Hal ini berlaku kepada siapa pun tanpa memilah-milah; baik guru maupun bagi anak didik. Ada kemungkinan, semakin kosmopolitan (dekat dengan kawasan peradaban) maka akan semakin mudah anda mengakses internet. Asalkan dengan catatan, kuota data internet  dapat diandalkan.

Kuantitas kuota data internet yang dapat diandalkan ini yang kemudian menjadi perhatian serius dan persoalan baru yang harus dipecahkan. Entah pendidik ataupun anak didik sekalipun harus berada dalam kondisi yang benar-benar prima dalam urusan kuota data internet.

Akhir-akhir ini, peran penting kuota data mengejawantahkan diri sebagai kebutuhan primer yang harus tercukupi. Hadirnya, hampir bersaing dengan kebutuhan makan dan minuman sehari-hari. Bagaimanapun, transaksi pengetahuan ini membutuhkan bahan bakar kasat mata yang disebut kuota. Masih mending kalau anda memiliki WiFi secara pribadi di rumah, alamat berdiam diri menjadi betah.

Seolah-olah angin segar yang berhembus di tengah-tengah terik mentari, kabar baiknya hampir semua provider kartu seluler memberikan dispensasi kuota internet gratis  untuk meneruskan kebijakan yang diambil dunia pendidikan. Tidak hanya demikian, bahkan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim memperbolehkan para pemegang Kartu Indonesia Pintar (KIP) untuk digunakan membeli paket data internet.

Baca juga: Gebrakan Nadiem: Peran Guru di Era Baru Pendidikan Nasional

Meski diberondong dengan pelbagai sokongan, namun  tetap saja pembelajaran virtual via daring adalah hal yang masih canggung dan belum terbiasa dilakukan. Alhasil, yang demikian sebatas memberi kesan pada proses pembelajaran yang kurang maksimal, bahkan bisa jadi terperosok pada jurang ketidakpahaman karena adanya miskomunikasi antara communicator; pendidik dan anak didik. Belum lagi, apabila mempertimbangkan jaringan internet yang acap kali tersendat karena aspek geografis.

Menilik hal demikian, bejibun alibi menjadi senjata ampuh bagi para korban yang terobjektifkan dalam zona nyaman secara sistematik. Sementara mereka yang positif thinking merasa yakin, bahwa di balik diberlakukannya work from home terdapat hikmah dan pembelajaran guna mendewasakan kita dalam menjalani kehidupan.

Sebab, bagaimana pun rangkaian kegetiran hidup yang sedang kita jalani di dunia ini, tidak lain adalah fakta yang harus diterima dan dipahami dengan penuh kesadaran. Suka-duka adalah bagian dari rotasi roda kehidupan.

Dalam konteks ini, ada benarnya kata Socrates: It is not living that matters, but living rightly. Caci-maki dan kutukan terhadap keadaan bukan solusi yang menjanjikan kebahagiaan, justru tindakan yang demikian hanya menunjukkan pudarnya hakikat manusia sebagai hayawan al-natiq.

Lebih tepatnya, zona nyaman pragmatis sistemik telah mengobjekifkan sang subjek, mematikan rasionalitas sebagai identitas kemanusiaan.

Padahal berabad-abad yang lalu Imam Syafi’i telah menegaskan: “Berusahalah dalam hidup ini agar membenci perilaku salah, tetapi jangan pernah engkau membenci orang yang melakukan kesalahan. Engkau harus marah terhadap perbuatan maksiat, tetapi berlapang dadalah kepada pelaku kemaksiatan. Engkau boleh mengkritik pendapatnya tetapi tetap menghormati orang yang berpendapat. Karena tugas kita dalam kehidupan ini adalah menghilangkan penyakit bukan membunuh orang yang sakit”.

Mengapa demikian? Bagaimanapun work from home adalah solusi alternatif menyelamatkan hidup khalayak -tanda mendayagunakan akal- sekaligus mampu merekatkan kembali tali kasih di antara masing-masing anggota keluarga.

Rentang waktu di kala pandemi Covid-19 ini adalah saat yang tepat untuk memaksimalkan diri beradaptasi dengan fasilitas teknologi yang ada, mengupgrade skill dan mengambil setiap kesempatan yang sama sekali baru sekaligus perhatian masing-masing kita akan lebih banyak dicurahkan kepada anggota keluarga. Kerapuhan sosial-humanistik, kini seharusnya menjadi momentum yang benar-benar laten untuk diobati dan terkoreksi secara kompleks.

Selain itu, yang terpenting sekarang, semua kegiatan di rumah dapat diatasi secara gotong royong, di mana setiap anggota keluarga dapat mencicipi peran dalam bekerja, berganti peran. Bukankah bekerja sembari ditemani oleh orang-orang tercinta lebih membahagiakan? []

_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]

Jadi, bagaimana pendapat Anda tentang artikel ini? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! 

Anda juga bisa mengirimkan naskah Anda tentang topik ini dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannyadi sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.iddi sini!


Like it? Share with your friends!

7
Roni Ramlan, M.Ag
Tim Redaksi Artikula.id

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals