Menyoal Tafsir Intoleran

"...jika kaum yang menganut teologi maut ini memegang kendali agama ini Semua akan dibabat habis tanpa rasa kasihan, penuh kesadisan dan tidak manusiawi..."3 min


4
9 shares, 4 points
Sumber gambar: nasionalterkini.com

Kita sangat bersyukur dan mengapresiasi dengan banyaknya lembaga dan komunitas yang secara konsisten mengkampanyekan isu-isu perdamaian. Mereka terdiri dari suku, ras, bahasa dan agama yang berbeda bersatu padu memikul tugas mulia tersebut. Dari banyaknya komunitas yang terlibat mengkampanyekan isu-isu ini juga tidak lepas dari tanggung jawab tokoh-tokoh agama.

Tokoh agama punya posisi yang sangat rawan dalam menempatkan dirinya. Mereka adalah pilar-pilar perdamaian begitupun sebaliknya dapat sebagai biang keladi terjadinya tindakan intoleran. Tokoh agama punya tugas yang sangat urgen dalam menafsirkan kitab suci di mana kitab suci tidak bisa dinafikan sebagai teks yang dapat membuat seseorang menjadi radikal ketika penafsirannya keliru.

Baca juga: Memahami Makna Tafsir dan Terjemah Al-Quran dengan Benar

Sejauh pembacaan penulis dalam melihat seruan dan upaya perdamaian dalam konteks relasi umat beragama di Indonesia kaitannya dengan penafsiran kitab suci terkesan memilah teks-teks yang hanya menyeru pada perdamaian. Dengan memilah-milah teks yang berbau perdamaian dan disuarakan secara massif sehingga kesan dari pihak-pihak yang intoleran menganggap bahwa kelompok yang mengatasnamakan dirinya toleran telah melenceng terhadap keyakinan yang sebenarnya.

Penulis pun beranggapan bahwa mereka yang terlihat toleran juga mengutip dalil pada gilirannya adalah untuk melegitimasi tindakan mereka. Bisa juga dianggap bahwa sebagian dari tokoh agama menghindari ayat-ayat yang memang secara tekstual terkesan intoleran.

Baca juga: Fenomena Penafsiran Al-Quran Parsial-Radikal

Paling tidak ada dua ayat yang sering menjadi legitimasi tindakan intoleran oleh kelompok radikal. Ayat ini jika dikaitkan pada gradasi pemahaman yang telah dijelaskan di atas merupakan ayat dengan level bawah dibandingkan dengan ayat-ayat yang mengijinkan untuk berperan yang merupakan dasar ideologi terorisme.

Ayat pertama bisa kita lihat pada surah al-Baqarah ayat 113:

Dan orang Yahudi berkata, “Orang Nasrani itu tidak memiliki sesuatu (pegangan),” dan orang-orang Nasrani (juga) berkata, “Orang-orang Yahudi tidak memiliki sesuatu (pegangan),” padahal mereka membaca Kitab. Demikian pula orang-orang yang tidak berilmu, berkata seperti ucapan mereka itu. Maka Allah akan mengadili mereka pada hari Kiamat, tentang apa yang mereka perselisihkan.

Ayat ini sering menjadi dalih untuk memojokkan agama Nasrani dan Yahudi sebagai agama yang tidak bisa dipercaya. Jika dilihat secara tekstual jelas bahwa ayat ini mengandung nilai intoleran terhadap agama lain. Namun pendekatan tekstual tidak cukup untuk melihat substansi dari ayat tersebut. Maka perlu adanya pendekatan yang lebih tinggi levelnya dibanding pendekatan tekstual yaitu kontekstual.

Konteks ayat ini berbicara konteks Madinah di mana Nabi berusaha membangun relasi yang kuat terhadap Yahudi dan Nasrani bukan konteks Makkah yang muatan ayatnya lebih mengarah pada aspek teologi. Ayat ini sebagai jawaban atas kebingungan Nabi menjawab fenomena perdebatan antara pemuka Nasrani Najran dengan pemuka Yahudi. Pemuka Nasrani Najran menyebut pemuka Yahudi pembohong di depan Nabi begitupun sebaliknya. Nabi tidak terburu-buru memberi komentar atas perselisihan mereka sampai turun ayat yang menjawab perselisihan tersebut.

Pada ayat sebelumnya al-Baqarah ayat 112 terdapat jawaban terhadap perselisihan tersebut.

(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

Ayat ini mengkonfirmasikan bahwa perselisihan mereka, Nasrani dan Yahudi terkait layaknya mereka untuk dipercaya bukan afirmasi bahwa mereka secara mutlak adalah pembohong secara keseluruhan. Ayat ini sangat pluralis terhadap keyakinan orang lain, apakah itu agama, ras, suku dan lainnya dengan mengatakan barang siapa yang berbuat baik maka baginya pahala pada sisi Tuhan. Sama sekali ayat ini tidak menyebutkan agama tertentu apalagi agama Islam meskipun ada kata “aslama” dan ini diperkuat dengan kata “man” (barang siapa) yang terdapat pada ayat tersebut yang bermakna tidak dibatasi pada keyakinan dan kelompok tertentu. Maka pandangan yang selalu menyudutkan agama lain berdasarkan penafsiran ini tentunya keliru.

Selain kekeliruan yang dilakukan oleh mereka yang intoleran juga terkesan terburu-buru dalam melihat teks. Padahal dalam penafsiran sangat dibutuhkan metodologi yang mapan terutama pada aspek kebahasaan. Dalam ilmu tafsir dikenal ayat-ayat mutasyabihat dan ayat-ayat yang mengandung ajakan perang dan tindakan kekerasan semuanya termasuk dalam kategori ayat-ayat mutasyabihat.

Nampak bagaimana polemik penafsiran pada ayat-ayat yang secara tekstual mengandung nilai intoleran menggambarkan bahwa ada gradasi pemahaman dalam memahami teks-teks suci. Pendekatan tekstual dalam penafsiran adalah level yang paling rendah dan level di atasnya adalah level kontekstual, bahkan saat ini sudah berkembang penafsiran secara interteks yang mencoba melihat substansi teks dengan mengambil informasi atau mengintegrasikan teks-teks suci dari agama lain. Pendekatan-pendekatan seperti ini harus selalu dikembangkan dan disuarakan secara massif agar gradasi pemahaman tekstual sedikit demi sedikit terputus.

Mengutip istilah “teologi maut” Buya Syafi’i Maarif dalam salah satu ceramahnya bahwa sangat berbahaya jika kaum yang menganut teologi maut ini memegang kendali agama ini. Semua akan dibabat habis tanpa rasa kasihan, penuh kesadisan dan tidak manusiawi, Maka dari itu harus kita lawan.

Melawan paham radikalisme dan teologi maut (terorisme) bukan hanya mengkampanyekan isu-isu perdamaian dan menyuarakan toleransi tapi memutus jaringan pemahaman ini dari paling dasar dengan bersama-sama pemuka agama, tokoh masyarakat dan aktivis perdamaian menafsir ulang kembali ayat-ayat yang secara tekstual terkesan intoleran dan bergerak secara massif menyuarakan tafsir-tafsir baru ini. Jika kaum radikal ini masih terang-terangan menyuarakan ideologi mereka selama itu pula kedamaian kita terancam.

 


Like it? Share with your friends!

4
9 shares, 4 points

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
1
Sedih
Cakep Cakep
2
Cakep
Kesal Kesal
1
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
4
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
1
Wooow
Keren Keren
3
Keren
Terkejut Terkejut
1
Terkejut
Abdul Gaffar Roneng (JAKFI)
Abd. Gaffar Roneng adalah mahasiswa asal Sidenreng Rappang Sul-sel. Saat ini sedang menyelesaikan S2 di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Selain kuliah, ia juga sedang menjabat ketua IKPM Sidenreng Rappang (Forum Komunikasi Wija nene' Mallomo).

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals