Misalnya, hal yang mereka anggap dan sorong-sorong agar saya ini punya kapabilitas untuk merancang peta kemungkinan solusinya, selain rentang masalah agama, ekspresi seni-seni, tirai dan gorden sejarah, kubah budaya, api-api dalam ring politik, juga ialah perihal yang tak kalah rumit seperti urusan falsafah bernegara, simpul kebangsaan atau permasalahan fundamental yang ada di dalamnya, yang jelas-jelas saya ini: nul-puthul. Bukan hanya saya tidak bisa apa-apa soal itu, sebab saya juga terlalu “prematur” untuk itu. Saya ini umurnya baru nyentuh 22. Saya jelas kalah umur secara telak versus orang yang lebih dewasa dari saya. Kalah umur.
Walau faktanya di berbagai aspek masalah, ternyata memang tersirat menyimpan betapa alangkah lucunya, betapa alangkah ndagel-nya, betapa alangkah guyonnya, terhadap korelasi berkait serius-tidaknya kita dengan Indonesia. Kita kebanyakan orang yang sebenarnya pintar, tapi nyatanya masih “kurang mumpuni”. Kita kebanyakan orang yang sesungguhnya cerdas, tapi faktanya masih “kurang ngatasi”. Kita kebanyakan orang yang semestinya berjiwa pemiimpin, tapi realitanya “kurang malati”.
Maka jangan heran kalau di berbagai sisi permasalahan tampak pula sejumlah ketimpangan samar. Bukti-bukti tak kasat mata yang mengisyaratkan bahwa “kadar kepakaran” seseorang ternyata belum juga tatas menshodaqohkan solusi-solusi dan pengaruh besar terhadap polemik yang ada. Seribu pakar ekonomi dan ahli-ahli strategi pasar kita pekerjakan, tapi pertumbuhan ekonomi kita lunglai, loyo, mendengkur. Seribu pengamat politik dan bejibun penasehat partai, tapi elit hari ini hilang akhlaknya hingga tiap hari dorong-dorong sana-sini kayak anak kecil. Sungguh negeri ini penuh nuansa remang dan pura-pura.
Tiap hari ilmu kedokteran makin canggih, tapi tambah hari tambah malah makin merebak ragam penyakit-penyakit baru. Rumornya ustadz dengan titel keulamaan tanda berkemajuannya ilmu, tapi kok tiap hari maksiat-maksiat tambah juga edan dan gila merajalela. Semakin hari semakin lahir psikolog-psikolog yang hebat dan canggih, namun orang gila dan sakit jiwa kok lucunya makin menjamur dan menjadi-jadi. Katanya berjibun saban hari muncul para pakar Pancasila termutakhir, tapi bullshit, kesenjangan kian tampak di mana-mana. Lucu… Oh, lucu.
Maka saya coba keluar dari lingkaran mainstream itu, dan mencoba sesuai batas paling mentok, paling tinggi, yang paling saya ambangi dari titik zenit kemampuan saya untuk selanjutnya kuasah mereka dengan berbagai lompatan-lompatan pendekatan persuasif.
Kupertanyailah mereka perihal berbagai macam hal-hal yang saling bersangkut-paut dengan yang mereka sodorkan di atas itu, atas dasar bukan karena keilmuan, sebab bukan hanya karena saya mempunyai volume berpikir yang sangat tidak kuat menampung segmentasi ilmu-ilmu itu: saya ini blas enggak cocok untuk maqom-maqom intelektualitas apapun. Bahwa saya seolah-olah sok mengurusi Indonesia, itu pasti bukan atas dasar keilmuan, tapi atas dasar rasa dan cinta saya kepada Indonesia.
Misalnya semacam urusan sosial analogis begini, kalau ada orang di jalan, tersenggol jatuh dari motornya, maka di detik dan momentum itu yang orang kecelakaan itu butuhkan apa? Helm? P3K? Atau potreat-potretan orang-orang pinggir jalan agar viral dan popularitas yang kecelakaan melonjak? Ya jelas tidak ada hal lain kecuali pertolongan pertama orang yang mau cekatan menolongnya. Jangan malah orang-orang termenung memikirkan aspal, lebih prefer menganalisa komposisi dan tekstur dari kerasnya permukaan jalan. Atau para orang lab tergerak asyik meneliti darah kecelakaan di TKP. Sementara yang kecelakaan sekarat.
Itu kalau orang. Kalau yang kecelakaan bukan orang bagaimana? Kalau yang kecelakaan adalah hal-hal dengan skala lebih besar bagaimana? Kalau yang kecelakaan adalah Perwujudan Kualitas Presiden bagaimana? Kalau yang kecelakaan adalah Tata Kelola Perpolitikan bagaimana? Kalau yang kecelakaan adalah Lunturnya Pernik Kebudayaan bagaimana? Kalau yang kecelakaan adalah Pudarnya Hangat Kerukunan bagaimana? Kalau yang kecelakaan adalah Hilangnya Akhlak Nasional bagaimana?Bagaimana bahkan jika Indonesianya yang kecelakaan, yang tergeletak, yang berdarah-darah di jalanan? Apa kita harus jadi juga seperti media-media yang pesta motretin berbagai macam yang sedang kecelakaan itu? Kita ini sering salah dan meleset konteks.
Indonesia butuh orang yang tak ketawa-ketawa, butuh orang yang serius memikirkannya, orang yang sungguh-sungguh menggenggamnya, orang yang bening dan lolos mekanisme simulasi “ilmu kejujuran” dari dirinya kepada Keseluruhan Indonesia. Tidak ada waktu dan tempat dari berabagai macam panggung yang ada, apakah politik, profesi, agama, budaya, modernitas, untuk hanya polah dan basa-basi di atas penderitaan Indonesia itu sendiri. Indonesia butuh orang yang sigap mengulurkan tangannya dari jatuhnya dia di aspal, memberdirikannya, cekatan memperban lukanya.
Misal juga ada pengemis yang kurus kerontang, pakaiannya lusuh dan yang lebih urgen dari itu: dia sangat kelaparan luar biasa kluntang-kluntung seharian di jalanan belum makan, maka yang dibutuhkan pengemis bukanlah para pakar ekonomi yang ngurusin permasalahan skala makro ekonomi nasional. Bukan rentetan kampanye para kandidat yang ngais-ngais profesi dan takhta agar memperoleh jabatan tinggi dengan mengumbar janji.
Kok “ayo… pilihlah saya, nanti saya akan tumpas-tuntas kemiskinan, akan saya tanam sejuta lapangan kerja ke penjuru negeri, saya akan programkan berbagai harumnya tunjangan-tunjangan kebutuhan ekonomi wong-wong cilik, saya mencintai kalian semua…” Pengemis tidak butuh retorika. Pengemis butuh orang yang saat itu juga memberi makan dia, menemaninya ngobrol tentang kondisinya, mendinginkan hawa panas kemelaratannya, mencarikan jalan keluar kehimpitan hidupnya.
Maka saya mengajak supaya kita semua bergandeng tangan, maju serentak, saling rangkul-merangkul dan sama-sama, yuuuukkk, mencari solusi-solusi paling mujarab untuk Indonesia. Saya haqqul yakin akan ada “versi Indonesia” terbaik lebih dari yang sekarang, meskipun sekarang sudah cukup baik. Carilah semacam peta harta karun yang di ujung finish petanya tanda “X” harta karun di dalamnya mengantongi berbagai jenis-jenis obat-obatan langka, pil, tablet, jamu untuk sekadar mengobati sakit mabuknya bangsa dan ringkihnya negeri yang telah opname puluhan tahun ini, bangsa yang bagaimanapun keadaannya, selalu sangat kita syukuri dan cintai.
Untuk ke arah sana maka kemudian saya pertanyailah mereka mengenai simulasi “ilmu kejujuran” itu dengan sejumlah pernak-pernik pertanyaan yang sarat kejujuran, jadi begini teman-teman, kalau kita ini masuk ke arena demokrasi, seperti yang sekarang ada. Sebenarnya siapa sih yang kita perjuangkan dari demokrasi itu? Suara? Kebebasan? Keuntungan pribadi? Rakyat? Pemerintah? Indonesia? Kedaulatan? Kebodohan? Atau kepelototan?
Kalau kita nyoblos rutin tiap lima tahun yang kita perjuangkan itu sebenarnya siapa dari coblas-coblosan itu? Diri kita sendiri? Ego politik praktis? Apakah fokusnya sesempit siapa sosok yang kita coblos? Kubu A atau Kubu B? Kanan atau Kiri? Ataukah Wong Cilik? Atau satuan-satuan fokus yang lebih luas, misalnya: Solusi komplikasi problematika Nasional? Revolusi Mental yang telat dan terseret-seret? Resolusi Akbar Bangsa? Penyelesaian masalah dalam tonggak bernegara? Atau tentang keutuhan jati diri Indonesia?
Pesta Demokrasi itu jejakan konteks yang dimaksud apa? Kok kata-katanya pakai dengan kata “Pesta”? Apakah hanya sesempit pesta nyoblos Lima tahunan? Atau pesta perebutan kekuasaan dan bagi-bagi kursi saja? Bagi-bagi kue? Atau pesta pemberian mandat, amanah rakyat, karena titik hasilnya bukan hanya tentang jabatan melainkan apa isi yang patut diemban di balik Jas Jabatan itu? Ataukah Pesta Demokrasi ternyata lebih rendah lagi muatan saripati makna dan intensinya? Apakah Pesta Demokrasi adalah Pesta saling hina, Pesta saling caci, Pesta saling fitnah, Pesta saling benci, apakah sungguh memang benar Pesta Demokrasi adalah pesta paling menipu di dunia?
Arsyad Ibad
Balaraja, 28 Agustus 2018 17:07
0 Comments