Ayat secara bahasa berarti tanda. Terkadang diartikan juga dengan pengajaran, urusan yang mengherankan, dan mukjizat, di samping juga digunakan untuk pengertian sekumpulan manusia. Secara istilah, seperti yang diungkapkan oleh Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman al-Suyuthi, “Batasan ayat adalah (sebagian) Al-Qur’an yang tersusun atas beberapa kata walau dalam bentuk takdir (perkiraan) yang mempunyai tempat permulaan dan tempat berhenti yang terhimpun dalam satu surat.
Untuk selanjutnya, sebagian kalangan membagi ayat kepada dua macam, yaitu ayat qauliyah dan ayat kauniyah. Ayat qauliyah adalah ayat-ayat yang difirmankan oleh Allah s.w.t. di dalam Al-Qur’an. Ayat-ayat ini menyentuh berbagai aspek, termasuk tentang cara mengenal Allah s.w.t. Adapun ayat kauniyah adalah ayat atau tanda yang wujud di sekeliling yang diciptakan oleh Allah s.w.t. Ayat-ayat ini adalah dalam bentuk benda, kejadian, peristiwa, dan sebagainya yang ada di dalam alam ini.
Baca juga: Membaca Alquran dan Alam
Namun, pada perkembangan berikutnya, terjadi sebuah pergeseran istilah. Bahwa ayat-ayat kauniyah tidak hanya berupa kejadian-kejadian yang terjadi di alam saja, melainkan ia juga terdapat di dalam ayat qauliyah. Dengan kata lain, ayat kauniyah merupakan bagian dari ayat qauliyah.
Selanjutnya, istilah ayat kauniyah diartikan sebagai ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung isyarat-isyarat ilmiah. Atau dengan kata lain, ayat kauniyah adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ayat-ayat inilah yang dalam penelitian Thanthawi Jauhari lebih kurang jumlahnya 750, dan menurut al-Ghazali jumlahnya 763.
Salah satu contoh ayat kauniyah itu adalah firman Allah s.w.t. dalam QS. Al-Anbiya’, 21:30,
أَوَ لَمۡ يَرَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓاْ أَنَّ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ كَانَتَا رَتۡقٗا فَفَتَقۡنَٰهُمَاۖ وَجَعَلۡنَا مِنَ ٱلۡمَآءِ كُلَّ شَيۡءٍ حَيٍّۚ أَفَلَا يُؤۡمِنُونَ ٣٠
Artinya: “Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman.” (QS. al-Anbiya’ / 21:30)
Mufassir klasik, dalam hal ini diwakili oleh Ibn Katsir, mengaitkan ayat ini dengan permasalahan tauhid atau aqidah. Bisa dikatakan bahwa tema pokok ayat ini adalah berkaitan dengan aqidah atau keyakinan. Ayat ini seakan-akan ingin berdialog dengan orang-orang yang mengingkari ketuhanan Allah swt. Makanya Allah swt. melontarkan pertanyaan, “Apakah orang-orang kafir itu tidak mengetahui bahwa dahulu bumi dan langit itu merupakan sesuatu yang padu dan menyatu?”
Baca juga: Filosofi Perdebatan Para Mufassir
Kemudian karena kebesaran dan kekuasaan-Nya, Ia jadikan langit dan bumi itu menjadi terpisah. Lalu masih pantaskah untuk menyandingkan Allah swt. Yang Maha Kuasa itu dengan sesembahan yang lain? Masih pantaskah Allah swt. Yang Maha Perkasa, yang telah menjadikan bumi dan langit itu terpisah, disekutukan dengan selain-Nya? Tentu hal ini hanya akan dapat dipahami oleh mereka yang mau berpikir tentang keagungan dan kebesaran Allah swt.
Mufassir terdahulu tak begitu tertarik untuk mendiskusikan terkait dengan menyatunya bumi dan langit, atau tentang proses pemisahan antara keduanya. Mereka hanya menjelaskan sebagaimana zahirnya ayat tanpa mengaitkannya dengan yang lain.
Seperti yang diungkapkan oleh Sa’id ibn Jubair, misalnya, “Bahkan, dahulu langit dan bumi saling bersatu padu. Lalu, ketika langit diangkat dan bumi dihamparkan, maka itulah pemisahan keduanya yang disebutkan Allah swt. dalam kitab-Nya.” Demikian juga pernyataan al-Hasan dan Qatadah, “Dahulu, keduanya menyatu, lalu keduanya dipisahkan dengan udara ini.”
Di era modern sekarang ini, ada juga sebagian kalangan yang mengaitkan ayat di atas dengan teori awal terbentuknya bumi. Teori itu disebut dengan teori big bang, yaitu sebuah teori yang menyatakan bahwa asal mula terbentuknya bumi ini adalah dari sebuah ledakan yang besar.
Sebagaimana yang ditemukan penjelasannya dalam tafsir ilmi Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, “Sekitar 13,7 milyar tahun yang lalu, semua materi dan energi yang kini ada di alam terkumpul dalam satu titik tak berdimensi yang berkerapatan tak terhingga. Tidak ada satu titik pun di alam semesta yang dianggap sebagai pusat ledakan. Dengan kata lain ledakan besar alam semesta tidak seperti ledakan bom yang meledak dari satu titik ke segenap penjuru. Hal ini karena pada hakikatnya seluruh alam turut serta dalam ledakan itu. Lebih tepatnya, seluruh alam semesta mengembang tiba-tiba secara serentak. Ketika itulah mulai terbentuknya materi, ruang, dan waktu.”
Lebih lanjut mengenai teori big bang, pencetusnya adalah Edwin P. Hubble (1889-1953). Ia menyatakan, melalui teropong bintang raksasa pada tahun 1929 menunjukkan adanya pemuaian alam semesta. Ini berarti bahwa alam semesta berekspansi bukannya statis seperti dugaan Einstein (1879-1955). Ekspansi itu, menurut fisikawan Rusia, George Gamow (1904-1968), melahirkan sekitar seratus miliar galaksi yang masing-masing rata-rata memiliki 100 miliar bintang.
Tetapi, sebelumnya, bila ditarik ke belakang, semuanya merupakan satu gumpalan yang terdiri dari neutron. Gumpalan itulah yang meledak dan yang dikenal dengan istilah big bang. Nah, inilah agaknya yang diisyaratkan oleh Al-Qur’an dengan memerintahkan orang-orang yang tidak percaya untuk mengamati dan mempelajari alam semesta yang tadinya padu itu, kemudian dipisahkan oleh-Nya. Pengamatan tersebut diharapkan dapat mengantarkan mereka kepada keimanan akan keesaan dan kemahakuasaan Allah swt.
Kira-kira demikian komentar M. Quraish Shihab ketika membicarakan teori awal pembentukan bumi dalam bukunya Mukjizat Al-Qur’an.
Baca juga: Bukti Ilmiah Penyembuhan dengan Al-Qur’an
Penafsiran dengan model dan bentuk yang terakhir inilah yang disebut sebagai tafsir ilmi. Yaitu menghubungkan QS. Al-Anbiya’, 21:30 dengan sebuah teori yang dikenal dengan teori big bang. Jika model penafsiran pertama mengaitkan ayat ini dengan keimanan dan keyakinan serta kekuasaan Allah swt., maka penafsiran dengan model dan bentuk kedua ini mengaitkan ayat dengan sebuah isyarat ilmiah, atau bisa dikatakan bahwa ayat tersebut dijadikan sebagai legitimasi terhadap sebuah teori dalam ilmu pengetahun.
Salah satu metode memahami ayat kauniyah itu adalah memahami ghayah dan wasilah ayat. Sekarang, marilah kita terapkan kaidah memahami ayat-ayat kauniyah dengan menggunakan kaidah yang disebut sebagai ghayah dan wasilah tersebut.
Pertama, mengenai ghayah. Di akhir ayat disebutkan افلا يؤمنون (Apakah mereka belum juga beriman?) Ini merupakan ghayah dari Q.S. al-Anbiya’, 21:30 tersebut. Allah swt. melalui ayat itu ingin mengajak semua makhluk-Nya untuk mengakui bahwa Allah swt. adalah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah dan diibadahi. Tidak ada Tuhan lain yang lebih Kuasa dan Perkasa selain dari pada-Nya.
Intinya, tujuan Allah swt. menurunkan ayat di atas adalah agar orang-orang yang telah beriman bertambah keimanannya, dan bagi yang masih ragu dan tenggelam dalam kekafiran agar beriman kepada-Nya. Al-Qur’an, melalui ayat di atas, bukan hanya mengajak orang-orang yang telah beriman saja untuk berdialog, melainkan juga kepada mereka yang masih kafir dan tidak percaya akan Allah s.w.t. Dari sisi ini dapat diketahui bahwa salah satu kemukizatan Al-Qur’an adalah dapat berdialog dengan siapa pun dan kapan pun, atau dalam istilahnya, “Al-Qur’an itu shalih fi kulli zaman wa makan.”
Keimanan-lah yang menjadi tujuan pokok ayat tersebut. Jadi, ghayah (tujuan) dari ayat tersebut adalah pengakuan akan adanya Allah swt.
Tujuan pokok dari ayat tersebut adalah mengarah kepada keimanan. Lalu caranya bagaimana untuk mencapai keimanan itu? Bagaimana cara agar makhluk itu beriman kepada Allah swt.? Maka di dalam ayat di atas disebutkan, “bahwa dahulu langit itu menyatu kemudian Kami pisahkan, dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup,” Nah, ini lah yang kedua, disebut sebagai wasilah.
Jadi untuk mencapai tujuan pokok tadi, yaitu keimanan, maka Allah swt. menunjukkan bukti-bukti kekuasaan-Nya serta menampakkan bahwa dia adalah Penguasa yang sesungguhnya. Maka penunjukan bukti-bukti itu lah yang disebut sebagai wasilah. Jadi, seakan-akan melalui ayat ini Allah swt. mengatakan, Hai orang-orang kafir, apakah kalian masih belum beriman kepada Ku setelah aku perlihatkan tanda-tanda kekuasaan Ku? Ini tentu ketika berdialog dengan orang-orang kafir. Lain lagi misalnya ketika berdialog dengan orang-orang yang telah beriman, “Hai orang-orang yang beriman, apakah masih belum bertambah keyakinan dan keimananmu kepada Ku setelah aku tampakkan tanda-tanda kekuasaan Ku?”
Jadi, ghayah dan wasilah merupakan penggabungan dua model penafsiran yang diwakili oleh mufassir klasik dan kontemporer. Jika mufassir klasik lebih menekankan pada aspek ghayah ayat, maka mufassir kontempoerer lebih menitikbertakan terhadap aspek wasilah-nya. Agaknya, metode ini merupakan metode yang bijak dalam memahami ayat-ayat kauniyah, karena mengkomparasikan dua model penafsiran mufassir klasik dan kontemporer.
Artikel lainnya: Terjemahan Al-Quran Saja Tidak Cukup
4 Comments