Perbincangan mengenai bencana alam memang tidak seramai dengan berita-berita yang kemudian akhir-akhir ini berbicara mengenai hukum suatu perkara yang bertalian erat dengan agama, semisal Natal dan Tahun Baru. Olehnya itu, kabar tentang bencana alam tampak samar kendati sebenarnya tetap ada. Semisal gempa bumi dan banjir yang melanda beberapa daerah di Nusantara beberapa waktu lalu.
Mengakhiri tahun 2017 data sementara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), tercatat 2.341 kejadian bencana. Rincian tersebut sebagaimana yang dilangsir dalam Liputan6 terdiri dari banjir (787), puting beliung (716), tanah longsor (614), kebakaran hutan dan lahan (96), banjir dan tanah longsor (76), kekeringan (19), gemba bumi (20), gelombang pasang danabrasi (11) dan letusan gunung api (2).
Data ini sesungguhnya mengajak kita untuk merenung, mengintrofeksi diri untuk lebih bijaksana lagi dalam menghadapi alam.
Jika coba dilihat secara umum, degradasi lingkungan hidup terjadi karena dua faktor, yakni penyebab langsung dan tidak langsung. Faktor penyebab tidak langsung ini pada kenyataanya lebih dominan terhadap kerusakan lingkungan. Dalam hal ini manusia tidak memiliki peran, seperti gempa bumi, gunung meletus, tsunami, dan lain sebagainya.
Sedangkan faktor langsung adalah ulah manusia yang kemudian mengeksploitasi alam karena desakan kebutuhan, keserakahan atau karena kekurangsadaran tentang pentingnya lingkungan dalam kehidupan manusia, seperti menebang pohon dengan illegal, membuang sampah dengan sembarangan, membendung sungai hingga menciut, dan masih banyak hal lain yang memengaruhi rusaknya keseimbangan alam.
Namun, jika dianalisis lebih lanjut tentang ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara mengenai alam raya, maka kita temukan bahwa alam raya ini diciptakan dan diatur oleh Allah atas asas keseimbangan. Sehingga mustahil baginya untuk keluar atau menyimpang dari ketetapan yang telah ditentukan. Inilah yang kemudian al-Qur’an sebut dengan takdir.
Lebih lanjut al-Quran menegaskan bahwa dibalik keteraturan alam raya tersebut, pada dasarnya dia ditundukkan untuk memenuhi kebetuhan dan keinginan manusia. Salah satu contoh riil mungkin ketika al-Qur’an berbicara mengenai hujan, pasti disertai dengan manfaatnya. Dan memang tidak ada satu ayat pun yang secara tegas mengatakan hujan membawa banjir.
Hal tersebut karena hujan merupakan kejadian alamiah biasa sebagaimana musim kemarau, justru hasilnya malah akan menyuburkan tanah. Begitu juga dengan kejadian alam lainnya seperti matahari dan lautan yang ditundukkan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Olehnya itu, jika terjadi kerusakan atau penyimpangan yang terjadi dengan alam, atau apa yang kita persepsikan sebagai fenomena alam, maka dapat dipastikan bahwa hal tersebut adalah bagian dari campur tangan atau ulah manusia, langsung atau tidak langsung.
Sebab jika bencana alam kita katakan sebagai fenomena alam yang terjadi secara alamiah, justru ini malah tidak sesuai dengan ketentuan Allah yang sejak awal telah ditundukkan untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Sama halnya ketika kita hendak mengatakan Bencana alam adalah bagian dari “takdir Tuhan”, maka hal ini akan kontardiktif dengan sifat Allah yang rahman dan rahim. Sebab Allah tidak akan menurunkan bencana, apalagi dengan skala yang besar tanpa adanya kesalahan dari manusia itu sendiri. Hal tersebut dalam al-Qur’an kemudian disebut secara eksplisit bima kasabat aidinnas (tidaklah kerusakan di muka bumi ini kecuali karena ulah manusia).
Bentuk pelanggaran-pelanggaran yang kemudian dilakukan manusia bisa saja tidak lahir dari perusakan langsung yang membuat keseimbangan alam rusak, melainkan lahir dari pelanggaran non-fisik, seperti kemusyrikan, kemunafikan, kefasikan dan segala bentuk maksiat yang dilakukan oleh masyarakat setempat.
Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa terjadinya bencana pada hakikatnya adalah sebagai akibat dari rusaknya mentalitas dan moralitas manusia yang pada akhirnya melahirkan tindakan-tindakan menyimpang seperti pencemaran sungai dengan sampah, penebangan pohon, atau hal-hal yang tidak terkait langsung dengan alam seperti tindakan korupsi, arogansi kekuasaan, suap, dan banyak contoh lainnya.
Jika prilaku menyimpang tersebut berlangsung secara masif dan membudaya, maka disinilah Allah akan meresponnya dengan bencana alam. Terbukti, hancurnya peradaban masa lalu misalnya setelah mencapai puncak kejayaan, seperti kaum Tsamud dan ‘Ad yang mengingkari Allah sebagai Tuhan, begitu juga mengingkari Nabinya adalah bukti nyata bahwa Allah menurunkan bencana kepada siapa yang telah melampaui batas dalam berakhlak dan beragama.
Terakhir, Manusia memang diberi kebebasan untuk mengembangkan sumber daya Alam, tapi bukan berarti mereka bebas untuk mengeksploitasi alam. Kita semestinya bersahabat dengan alam, karena kita memang tidak mampu melawan keganasan alam.
Bentuk persahabatan itulah yang nantinya diaplikasikan dengan kepedulian dan kecintaan terhadap alam serta menanamkan sifat kecintaan kepada Allah dan sesama manusia dengan menjauhi sekian banyak prilaku menyimpang. Karena terjadinya bencana alam perspektif al-Qur’an adalah kelanjutan dari kehendak Allah swt. untuk mengembalikan perjalanan alam raya kepada awal mula penciptaannya yang berjalan di atas asas keseimbangan. Atau paling tidak hal tersebut dapat kita pahami sebagai wujud kasih sayang Allah dalam rupa yang tidak biasanya.
Dengan demikian kehadiran manusia sebagai khalifah di bumi, harus disadari bahwa mereka adalah satu kesatuan dengan makrokosmos. Semoga mengawali tahun baru ini, kita bisa semakin dekat dan bersahabat dengan alam. Sekian. Wassalam.
Baca juga: Meratapi Langgarku yang Kian Rapuh (Sebuah Refleksi Akhir Tahun)
Begitu sangat dan serta