Agama Kemanusiaan: Penerapan Nilai-Nilai Islam Berbasis Kemanusiaan

Agama kemanusiaan sebagai bentuk manifestasi bagi setiap pemeluknya untuk saling berkasih sayang, santun, dan beradab dengan agama yang lainnya.3 min


Agama Kemanusiaan
Humanity is My Religion (sumber foto : facebook.com)

Agama yang diturunkan Tuhan di muka bumi idealnya merupakan agama yang selamat, bahagia, membawa kenyamanan dan ketenangan bagi setiap pemeluknya. Namun, untuk mewujudkan agama yang ideal itu dibutuhkan sikap kedewasaan dalam beragama bagi setiap pemeluknya. Tidak berhenti di situ saja, mereka yang telah bersikap dewasa dalam beragama pun akan mudah memahami pesan-pesan Ilahi yang diturunkan untuk umat-Nya.

Menurut pembaca #BijakMenyikapiPerbedaan, dewasa dalam beragama itu seperti apa, sih?

Menurut penulis nih, dewasa dalam beragama yang dimaksud ialah proses-proses seseorang menyakini agamanya sebagai produk Tuhan, serta memperlakukan orang lain sebagai penganut agama lainnya tanpa tujuan kepentingan-kepentingan tertentu. Hal ini menjadi dasar bagi seseorang untuk menjadikan agama sebagai alat untuk menebar kasih sayang dan kebahagian yang cukup mendalam bagi umat manusia.

Perlu dipahami, bahwa agama hadir di bumi idealnya tidak hanya mengakomodasi manusia yang berkuasa dalam aspek ekonomi, sosial, politik dan lainnya. Lebih dari itu, agama mengakomodasi hak-hak atas wong cilik yang selalu dikesampingkan dari berbagai aspek-aspek kehidupan diatas.

Agama sebagai penawar bagi manusia untuk menjalani kehidupannya. Tanpa agama, sepertinya adalah sebuah kemustahilan yang akan memunculkan kenestapaan. Hidup dan menjalankan perintah agama tentunya memunculkan ketenangan, kebahagiaan dan kenyamanan bagi pemeluknya. Akan tetapi, itu adalah bagian ekspresi keagamaan paling dasar. Lebih dari itu, bagaimana agama dapat diaktualisasikan sebagai sumber moral dan nilai-nilai yang terikat secara absolut tanpa mengesampingkan kemanusiaan?

Baca juga : Islam Sebagai Wujud Perdamaian

Dengan penghayatan keagamaan, seseorang akan mencapai tingkat kesalehan diri untuk dekat pada Tuhannya. Agama juga sebagai pengamalan yang tidak hanya sekedar penghayatan terhadap seabrek doktrin, dalil, postulat sekalipun.  Ada yang lebih transenden dibanding itu. Nah, apa itu?

Dalam Islam, dikenal istilah Hablumminallah dan Hablumminannaas. Istilah Hablumminannaas adalah relasi antara manusia yang satu dengan yang lainya. Ketika dimensi ini sudah terlaksana dengan baik sebagaimana mestinya, perbedaan antar umat beragama akan mudah diterima dan saling berlapang dada.

Dimensi lainnya adalah dimensi Hablumminallah. Dimensi ini mengatur manusia yang memiliki keterikatan batin (jiwa) dengan Tuhannya. Dimensi ini adalah salah satu puncak ketenangan bagi mereka yang dekat dengan Tuhan, bahkan sudah menjadikan agama sebagai kebutuhan yang tidak selalu terbatas oleh ruang dan waktu.

Misalnya saja dalam dunia sufi yang membutuhkan penyucian jiwa dan pengasingan diri dari hal-hal yang bersifat duniawi, sehingga menghantarkan manusia untuk mencapai kehadiran Tuhan dalam dirinya.

Saat ini, kita terus diajarkan tata cara beragama yang hanya terbatas pada spirit kesalehan diri dalam tatanan ritual peribadatan, sehingga kita sering melupakan tata cara menjadi manusia yang memuliakan manusia lain. Kita terus mempelajari tata cara wudu, tata cara mandi wajib , tata cara shalat dan lain sebagainya. Sedangkan rasa kemanusiaan kita? Kering kerontang. Apalagi hanya sekedar mengakui eksistensi agama orang lain.

Padahal, dalam tataran Indonesia, menjadi orang yang beragama Islam di Indonesia harus menerapkan dua aspek penting diatas. Hablumminallah adalah aspek penting yang harus diterapkan. Selain itu, hambumminannaas juga tidak kalah penting.

Keselarasan nilai-nilai Islam dengan keberagaman tentunya akan melahirkan harmoni pemersatu dan saling menghargai satu sama lain.

Pemahaman Islam inklusif menjadi pilihan yang tepat untuk mewujudkan dua dimensi keagamaan di atas. Banyaknya organisasi-organisasi Islam yang inklusif seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyyah dan lainnya menggambarkan wajah Islam inklusif di Indonesia. Namun, di sisi lain juga muncul organisasi-organisasi Islam ekstrem seperti HTI yang menggaungkan pergantian sistem pemerintahan.

Tentu saja, sebagai salah satu muslim di Indonesia, kita harus melakukan upaya-upaya agar Indonesia tetap utuh keberagamannya dan menjamin hak-hak seluruh warga negaranya. Oleh karena itu, dengan menolak pemahaman yang menganggu sistem berjalannya pemerintahan adalah salah satu langkah yang tepat.

Upaya itu tidak terlepas dari para agensi yang berperan sebagai panutan di komunitas atau kelompoknya masing-masing. Oleh karena itu, penting bagi para agensi ini untuk menerjemahkan teks-teks agama secara tepat sehingga memunculkan pemahaman yang inklusif dan sesuai dengan konteks Indonesia.

Sebagai negara yang memiliki enam agama resmi dan beratus-ratus jumlah kepercayaannya, Indonesia diikat dalam kesatuan Bhinneka Tunggal Ika. Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara plural yang dapat hidup rukun, tentram, aman dan damai ini. Tanpa ada saling membenci dan mendominasi antara kalangan mayoritas dan minoritas, begitu pun sebaliknya. Keberagaman di Indonesia diharapkan mempersatukan Indonesia tanpa adanya saling bentrok satu sama lain.

Corak keberagaman di Indonesia memberikan gambaran kepada kita bahwa kita tidak perlu saling klaim atau saling rebut kebenaran. Kita tidak perlu saling menyalahkan ketika berbeda mazhab ataupun pandangan politik. Hal demikian tidak lepas dari nilai-nilai Pancasila yang menjadi dasar negara kita. Indonesia dengan berbagai keberagamannya itu mampu saling percaya dan menempatkan agama sebagai sumber kemanusian bagi umat yang lain.

Ketika Islam diciptakan dalam bingkai kemanusiaan, Islam yang rahmatan lil ‘alamiin menjadi solusi yang tepat untuk menghindari perselisihan antar umat beragama. Misi agama kemanusiaan menghadirkan keseimbangan dan kesejukan dalam setiap aspek kehidupan. Atas dasar kemanusiaan, pada akhirnya membuat setiap umat beragama saling mengeratkan dan menguatkan satu sama lain.

Baca juga : Islam Rahmatan lil Alamin Sebagai Bentuk Islam Yang Substantif

_ _ _ _ _ _ _ _ _

Bagaimana pendapat Anda tentang artikel ini? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! 

Anda juga bisa mengirimkan naskah Anda tentang topik ini dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya  di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!


Like it? Share with your friends!

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
0
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
1
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
0
Wooow
Keren Keren
0
Keren
Terkejut Terkejut
0
Terkejut
Wahyu Hidayat

Master

Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Interdisciplinary Islamic Studies

2 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

  1. Tulisannya keren. Ciamik. Namun ada sedikit kesalahan dalam penggunaan kata “di” yang menunjukkan tempat saja pada paragraf ke 4 dan ke 11. Diatas seharusnya di atas. Dipisah. Selain itu, runtutan penjabaran poin pada paragraf 7 berlompat-lompat tidak konsisten. Itu terlihat jelas pada paparan di paragraf selanjutnya.
    Pada paragraf terakhir kalimat, “ketika Islam diciptakan dalam bingkai kemanusiaan”, agaknya menurut saya kurang tepat, terlebih lagi ditegaskan dengan gagasan besar Rahmatan lil ‘Alamin menjadi solusi yang tepat untuk menghindari perselisihan antar umat beragama. Mungkin akan lebih baik lagi, kalau kalimat “ketika Islam diciptakan dalam bingkai kemanusiaan” itu dirubah menjadi “ketika Islam dibenturkan dengan bingkai perbedaan/varinitas dalam aspek kemanusiaan”.
    Ah, ini hanya sekadar pandangan tumpul saya saja bebal. Bisa jadi pembaca yang lain berbeda pandangan. Terimakasih.

  2. Dewasa. Menurut saya, semakin dewasa seseorang semakin tahu diri, mawas diri, menyadari ketidak sempurnaan, tidak akan memaksakan penafsirannya kepada orang lain.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals